BAGIAN DUA: BATANG
LOGIKA
DAN
PEMAHAMAN
KATA-KATA
Pekan IV
Dari Metafisika ke Logika
28. Apakah Logika Itu?
Hari ini kita memulai bagian kedua dari empat bagian utama matakuliah kita. Di Bagian Satu, akar-akar pohon filsafat memberi kita wawasan penting mengenai metafisika, yang pada awalnya ditemukan oleh Sokrates, lalu diungkap dengan jauh lebih lengkap oleh Kant. Seperti akar pohon yang hampir seluruhnya terpendam di tanah sehingga kita tidak bisa melihatnya, sebagaimana adanya (sekurang-kurangnya tidak tanpa menumbangkan pohon), landasan metafisis pengetahuan kita pun terdiri atas sesuatu yang pada dasarnya tak dapat diketahui oleh benak manusia. Dengan dilengkapi dengan wawasan ini, sekarang kita bisa menarik diri dari kedalaman metafisika yang kelam dan naik ke bagian pohon filsafat yang membiarkan diri untuk diamati dengan lebih mudah.
Seperti yang kita perhatikan di Kuliah 1, “logika” filosofis itu bagaikan batang pohon. Namun, apakah logika itu? Saya ingin kalian turut menjawab pertanyaan ini untuk beberapa saat. Saya menduga, sebelum kalian mengikuti matakuliah ini kebanyakan dari kalian lebih memiliki pandangan mengenai hakikat logika daripada mengenai hakikat filsafat pada umumnya. Jadi, saya harap pertanyaan diskusi ini akan agak lebih mudah daripada yang kita hadapi di Kuliah 1. Siapa yang mau mengajukan jawaban pertama? Apakah logika itu?
Mahasiswa
H. “Saya pikir
logika itu seperti sains: sama-sama diharapkan untuk mengajarkan kita
fakta-fakta di dunia ini, sehingga kita tidak harus bersandar pada pendapat
kita belaka.”
Logika memang berkaitan dengan sesuatu yang mempermudah kita dalam melihat hal-hal di balik opini kita sendiri. Akan tetapi, saya rasa saya tak mungkin sepakat dengan anda bila anda hubungkan logika sedemikian dekat dengan fakta-fakta ilmiah. Namun demikian, saya senang anda mengatakannya, karena pandangan yang keliru mengenai logika ini banyak dianut oleh mahasiswa yang baru belajar filsafat. Logika sebetulnya sama sekali tidak mengajarkan kita fakta-fakta baru! Sesungguhnya, logika lebih menyerupai metafisika daripada fisika bila sampai pada persoalan pengajaran fakta-fakta baru. Metafisika, sekurang-kurangnya bagi Kant, tidak menambah pengetahuan sama sekali, tetapi mencegah kekeliruan, seperti halnya akar-akar pohon tidak mengandung buah, namun perlu dipelihara untuk memastikan agar buahnya sehat. Begitu pula batangnya, logika. Alasan mengkaji metafisika dan logika bukanlah agar kita bisa lebih mengetahui, melainkan supaya kita dapat belajar mengungkapkan dengan lebih jelas dan cermat pengetahuan yang kita peroleh dari sumber-sumber lain. Kalau tidak, kita bisa mendapati diri membudidayakan wawasan yang terlihat manis di luar, tetapi busuk ketika kita “gigit”. Jadi, apakah logika itu?
Mahasiswa I. “Logika adalah proses berpikir selangkah demi selangkah, seperti yang selalu dipakai oleh ilmuwan yang baik.”
Saya rasa pandangan anda benar bahwa berpikir ilmiah harus logis; berpikir “selangkah demi selangkah”, yang mensyaratkan langkah-langkah yang harus diikuti menurut suatu tatanan tertentu, tentu saja merupakan salah satu ciri utama segala hal yang logis. Kata “tatanan” (order) menyiratkan pertalian tertentu yang ada antara langkah-langkah berlainan yang kita ikuti dalam proses berpikir kita. Saya menganggap itulah maksud anda kala mengatakan “selangkah demi selangkah”. Namun jawaban anda memperlihatkan bahwa anda salah paham terhadap pertanyaan saya. Apakah kalian menyadarinya? Jika dalam Pengantar Sejarah seorang mahasiswa menanyai saya “Apakah sejarah itu?”, maka memadaikah jawaban saya kepadanya bila mengatakan “Sejarah adalah sesuatu mengenai masa lalu yang penting”? Adakah di antara kalian yang sedang mempelajari sejarah saat ini yang bisa memberi tahu saya apakah pemerian saya tentang apa yang sedang anda pelajati itu akurat ataukah tidak?
Mahasiswa J. “Kami belajar banyak mengenai peristiwa-peristiwa signifikan yang terjadi di masa lalu.”
Itukah tepatnya yang anda pelajari? Di semua matakuliah, para mahasiswa pasti mempelajari hal-hal penting mengenai masa lalu tanpa benar-benar mengkaji sejarah. Contohnya, di kuliah-kuliah terdahulu kita sudah mempelajari metafisika dengan menelaah ide-ide filsuf masa lalu, tetapi pengambilan pendekatan historis tidak berarti kita mengkaji sejarah begitu saja. Hal lain apa yang kalian pelajari di matakuliah sejarah?
Mahasiswa J. “Sebagian pengajar menyajikan berbagai teori tentang bagaimana perubahan historis pada aktualnya berlangsung, umpamanya perdebatan apakah sejarah itu seperti garis ataukah lingkaran. Juga, kita diharapkan untuk tidak sekadar mempelajari fakta-fakta masa lalu, tetapi mengapa fakta-fakta itu signifikan, dan bagaimana kita bisa menafsirkannya dengan cara sebaik-baiknya.”
Bagus sekali! Nah, seperti halnya semua disiplin akademik mengajarkan sesuatu mengenai masa lalu tanpa perlu mengajarkan sejarah, semua disiplin akademik—atau paling tidak, mestinya—pun bersifat logis, namun tidak mengajarkan logika. Tidak hanya matakuliah sains; sejarah, ekonomi, politik, agama, musik, dan seni pun biasanya juga diajarkan dengan cara logis, tertata (namun tentu saja terdapat berbagai tipe tatanan). Jadi, permintaan saya sekarang, katakan apa yang menjadikan logika itu sendiri khas sebagai disiplin akademik! Bila kita alihkan perhatian kita ke logika, apa yang akan kita telaah?
Mahasiswa K. “Prinsip pemikiran yang tertata?”
Ya! Bahkan itu
bisa dipakai sebagai landasan definisi umum logika. Logika sebagai disiplin
akademik berbeda dengan disiplin lain dengan kenyataan bahwa logikawan tidak
sekadar menggunakan
pemikiran yang tertata; mereka berpikir dengan cara yang tertata mengenai berpikir secara tertata. Barangkali
definisi yang dipandang paling umum adalah “ilmu tentang hukum pikir”.
Definisi
tersebut mengingatkan saya pada istilah khas yang dimanfaatkan oleh Kant dalam
memaparkan pola-pola yang terpasang tetap pada benak manusia. Ia menyamakan filsuf yang
baik dengan arsitek
yang membangun sistem-sistem (bangunan-bangunan konseptual) menurut rencana
yang ditetapkan sebelumnya. Struktur “arsitektonik” akal itu sendiri
menyediakan seperangkat pola yang telah tersusun yang menurut Kant harus
dipakai oleh para filsuf sebagai alat untuk menyajikan ide-ide filsosofis
mereka dengan cara yang lebih tertata. Kant sendiri tidak pernah mencurahkan banyak
waktu untuk menjelaskan hakikat pola-pola tersebut; namun di Bagian Dua ini,
cukup banyak perhatian kita yang akan tercurah pada tugas itu. Seperti yang
akan kita saksikan, melalui logikalah kita dengan sebaik-baiknya mengakui suatu ide
dan penataan bagian-bagiannya, yang Kant anggap sebagai prasyarat untuk
memahami suatu sistem filsafat.
Tentu saja,
pemberian definisi sederhana logika itu bukanlah satu-satunya cara untuk
menjawab pertanyaan kita. Adakah yang mempunyai ide lain tentang apakah logika itu?
Mahasiswa L. “Saya ingat, pada salah satu kuliah awal kita
anda membicarakan kata Yunani logos. Apakah kata tersebut berkaitan dengan apa yang
kita nyana akan kita pelajari selama beberapa pekan mendatang ini?
Barangkali
anda juga ingat bahwa, ketika saya menyebut logos pada Kuliah 3, saya berusaha menyoroti beberapa
kebermaknaan mitos
bagi filsafat. Istilah logos kadang-kadang dapat mengacu pada mitos itu sendiri, makna yang
tersembunyi, sesuatu yang tidak diketahui. Akan tetapi, saya pikir yang terbaik
adalah menafsirkan bahwa istilah itu mengacu pada upaya pertama untuk mengungkap makna ini dalam kata-kata. Karena “logos” berarti “kata”, kita bisa menyatakan
bahwa dalam pengertian ini istilah “logis” mengacu pada penggunaan kata-kata sedemikian
sehingga kata-kata membawa beberapa makna. Seperti yang akan kita lihat di kuliah-kuliah
pekan ini, ada dua tipe logika: tipe pertama benar-benar mengabaikan segala
makna yang tersembunyi (yakni mitologis), sedangkan tipe kedua hampir seluruhnya berfokus pada
penyingkapan makna-makna semacam itu seterang-terangnya.
Kata-kata
biasanya membawa makna bilamana berkombinasi dengan kata-kata lain. Istilah khas yang dipakai
dalam logika untuk menunjukkan kalimat yang mengemukakan hubungan
maknawi antara dua kata atau
lebih adalah “proposisi”. Untuk contoh, pelajaran kita di Kuliah 5 bahwa bagi
Aristoteles “substansi adalah forma plus bahan” bisa dipandang sebagai
proposisi sederhana, yang menunjukkan pertalian tertentu antara tiga konsep:
“substansi”, “forma”, dan “bahan”. Dalam kuliah mendatang saya akan
memperkenalkan beberapa istilah khas yang akan memungkinkan kita untuk mengacu
pada nama-nama tipe hubungan proporsional terpenting.
Mengapa perlu
dipelajari bagaimana kata-kata mendapatkan maknanya? Bila kita mengetahui arti
suatu kata, mengapa kita perlu mempelajari dan mendalami hukum-hukum yang
menentukan bagaimana makna-makna itu muncul? Pertanyaan ini mestinya mudah
untuk kalian jawab, karena saya telah menyebutkan alasannya pada awal kuliah
ini.
Mahasiswa M. “Jika kita tidak mengetahui hukum-hukumnya, maka
bisa-bisa kita melakukan kekeliruan tanpa menyadarinya. Mempelajari hukum-hukum
tersebut akan menolong kita untuk berpikir dan berkata dengan sebenar-benarnya.
Orang yang logis tidak akan mengatakan hal-hal yang salah.”
Ya,
menghindari kekeliruan merupakan jawaban yang saya setujui. Namun sekali lagi,
kita jangan mengira sesuatu niscaya benar hanya lantaran logis. Barangkali anda akan terkejut mendapati
bahwa sesungguhnya logika itu tidak mempedulikan kebenaran kata-kata yang kita pakai, tetapi hanya
mengenai nilai
kebenarannya. Seperti yang akan kita lihat, sesuatu ternyata bisa salah total,
sekalipun diungkapkan dengan cara yang logis (atau sahih); bisa pula sesuatu
ternyata benar sepenuhnya, walau kebenaran itu dinyatakan dengan cara yang
tidak logis. Jenis kekeliruan yang kita elakkan dengan bantuan logika itu tidak
disebut “kesalahan” (falsehood), tetapi “kesesatan” (fallacy).
Kesesatan adalah kekeliruan susunan argumen yang kita gunakan untuk menarik
kesimpulan berdasarkan bukti. Kesesatan terpenting yang perlu anda pelajari
adalah yang bertalian erat dengan sesuatu yang disebut masalah
mengacu-diri. Karena saya
sangat sering menjumpai kesesatan ini yang dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa
di lembar mawas mereka, di sini saya mengingatkan anda akan bahaya-bahayanya di
permulaan kuliah logika kita. Istilah “mengacu-diri” merujuk pada proposisi apa
pun yang mengacu pada proposisi itu sendiri. Kebanyakan proposisi tersebut
tidak mengandung masalah logika. Umpamanya, jika kata “ini” dalam kalimat
“Kalimat ini benar” mengacu pada kalimat itu sendiri (yakni kalimat di dalam tanda kutip),
kita tidak kesulitan untuk memahami bagaimana ini bisa benar. Namun bila kita
mengubah kalimat itu sedikit saja, hingga terbaca “Kalimat ini salah”, maka timbul masalah besar selekas kita
anggap kata “ini” mengacu pada kalimat tersebut. Masalahnya adalah bahwa bila
proposisi tersebut memiliki nilai kebenaran positif (yaitu jika kita hendak
mengklaim bahwa proposisi tersebut benar), maka ini mengisyaratkan bahwa kita
mempercayai bahwa kalimat tersebut salah, karena itulah yang dikatakan oleh kalimat itu mengenai kalimat itu
sendiri. Padahal, jika kita menerima bahwa proposisi itu salah, maka (menurut
tuntutan kalimat itu) pastilah salah pernyataan bahwa kalimat tersebut salah.
Dengan kata lain, bila itu benar, maka itu salah, dan jika itu salah, maka itu
benar! Ini mengakibatkan sesuatu yang kadang-kadang disebut “lingkaran
syetan”—yakni daur implikasi tak berujung-pangkal yang memustahilkan penentuan
makna proposisi tersebut.
Masalah
tersebut sering muncul samar-samar di lembar mawas mahasiswa. Yang paling lazim
adalah yang terdapat di lembar-lembar mengenai topik-topik seperti “Apakah
Kebenaran Itu?” atau “Bagaimana Saya Mengetahui Benar-Salah Perbuatan?” atau
“Apa Standar Keindahan?”. Mahasiswa-mahasiswa secara khas biasanya
memperhatikan fakta bahwa budaya-budaya yang berlainan (dan terkadang bahkan
orang-orang yang berbeda di kebudayaan yang sama) mempunyai pandangan yang
beragam tentang persoalan-persoalan tersebut. Lantas, mereka menyimpulkan:
“tidak ada jawaban yang pasti”. Namun penarikan kesimpulan sedemikian itu
menyesatkan, karena gagal dalam tes mengacu-diri. Hal ini menjadi jelas segera
seusai kita akui bahwa proposisi tersebut memberikan suatu jawaban
pasti terhadap pertanyaan yang
ada—yakni jawaban yang akan mengakhiri pembahasan (sebagaimana yang dilakukan oleh semua jawaban
yang sungguh-sungguh pasti) dengan bersikeras bahwa pencarian jawaban-pasti itu
berada di jalan buntu. Karena [kalimat] “tidak ada jawaban yang pasti” itu
sendiri merupakan jawaban yang
pasti, kalimat tersebut itu sendiri memberikan contoh-balik kebenaran yang
diklaim: jika proposisi “tidak ada jawaban yang pasti” ditetapkan benar, maka
proposisi tersebut pasti salah, karena menggambarkan bahwa sekurang-kurangnya
pasti ada satu jawaban yang pasti!
Kesesatan itu bisa dikoreksi dengan dua cara.
Pertama, kita dapat mengakui bahwa proposisi yang dibicarakan merupakan
pengecualian terhadap aturan tersebut. Dalam hal ini, pada dasarnya kita
menerima kehadiran mitos. Dengan kata lain, kita bisa mengatakan: “Satu-satunya
jawaban yang pasti terhadap pertanyaan ini adalah bahwa tidak ada jawaban yang
pasti (kecuali yang ini).” Melakukannya berarti membenarkan mitos;[1]
namun masalah mengacu-diri menggambarkan bahwa tidak semua mitos bisa kita
singkirkan. Kadang-kadang, daripada menganggap diri tidak memiliki mitos sama
sekali, lebih baik kita sadar akan mitos-mitos kita (praduga-praduga kita yang
tak bisa dibela) saja. Untuk menyatakan simpulan dengan cara yang lebih akurat
dan maknawi, pilihan kedua adalah semacam: “terdapat terlalu banyak jawaban yang pasti”. Hal ini bersesuaian
dengan jenis bukti yang secara khas terdapat pada lembar-lembar mawas mahasiswa,
yang mempertimbangkan argumen pendahulu yang telah memperbandingkan beberapa jawaban
pasti, yang bersaingan, atas
pertanyaan apa pun. Bahkan, sebagian besar (kalau tidak semua) pertanyaan
filosofis mempunyai karakteristik penting tersebut. Pertanyaan-pertanyaan itu bukan
tidak memiliki jawaban; kalau
tidak punya, pembahasannya sia-sia belaka. Pertanyaan-pertanyaan itu justru
berpotensi besar untuk mempunyai jawaban-jawaban yang baik sampai-sampai tidak
memungkinkan kita untuk memastikan jawaban mana yang terbaik. Tentu saja,
pilihan kedua ini tidak lepas dari yang pertama, karena sebetulnya kita
menyatakan: “Jawaban terbaik adalah bahwa ada banyak jawaban yang baik, tetapi tidak ada jawaban yang terbaik (kecuali yang ini).”
Mengenali
kesesatan tersebut dan tipe-tipe kesesatan lainnya bisa menjadi keterampilan
yang sangat bermanfaat, walau anda tidak perlu bersusah-payah menghafal
nama-nama Latin asing yang sering dikemukakan. Beberapa kesesatan umum yang
harus anda perhatikan tatkala menulis lembar mawas adalah: berargumen ad
hoc (dari contoh tunggal), ad
antiquitatem (dari tradisi), ad
novutatem (dari kebaruan), ad
baculum (dengan memanfaatkan
kekuatan), atau ad hominem (dengan memanfaatkan kelemahan pribadi pihak lawan atau pihak lain yang
menerima simpulan yang sama); dengan mengalihkan “tanggung jawab pembuktian”
(yakni mengklaim pandangan diri sendiri benar selama tidak ada yang
membuktikannya salah); dengan mengecoh (yaitu menggunakan satu kata dengan dua
cara yang berbeda tanpa menunjukkan perbedaannya); menyerang “versi pandangan
lawan yang lemah, yang mudah dibuktikan kesalahannya); “mengundang pertanyaan”
dengan menganggap benar hal yang ingin anda buktikan—dan masih banyak lagi,
nyaris tak terbatas. Akan tetapi, sebagian filsuf terlalu gemar menjuluki sesat
segala jenis kekeliruan berlogika, sehingga pencarian mereka terhadap kesesatan
menjadi kesesatan sendiri. Ini terjadi manakala mereka menganggap bahwa
penemuan suatu kesesatan merupakan alasan yang mencukupi untuk menyalahkan atau
meremehkan simpulan argumennya, dan karenanya mereka menolak untuk
mempertimbangkannya lebih lanjut. Memperlakukan kesasatan dengan cara itu sama
dengan melakukan sesuatu yang saya sebut (dengan sengaja bereksperimen dengan
sedikit mengacu-diri) “kesesatan perihal kesesatan” (the fallacy
fallacy)! dengan kata lain,
sesatlah penyimpulan dari fakta bahwa bila suatu argumen mengandung kesesatan,
maka simpulannya pasti tidak benar.
Hal itu bisa
saya gambarkan dengan sebuah contoh sederhana. Jika saya katakan “Sejarah dan
filsafat tidak mempunyai kesamaan sama sekali; anda sejarahwan dan saya filsuf;
karena itu, kita tidak mempunyai minat yang sama”, maka argumen saya
menyesatkan. Walaupun dua pernyataan (yang disebut “premis”) pertama keduanya
benar, keduanya tidak mesti menyiratkan pernyataan ketiga, karena anda dan saya
barangkali memiliki suatu kesamaan yang tidak berkaitan dengan sejarah atau filsafat. Di sisi lain, meskipun satu
atau dua premis tersebut salah, simpulannya mungkin benar: sejarah dan filsafat
mungkin bertalian erat dalam hal-hal tertentu, atau anda mungkin mengkaji
kimia, bukan sejarah; namun kita barangkali tidak memiliki minat yang sama.
Logika pada hakikatnya tidak mampu memberi tahu kita apakah salah satu atau
kedua skenario itu pada kenyataannya benar; yang bisa dilakukan hanyalah
memberi tahu kita kondisi tertentu [sedemikian rupa sehingga] kebenaran klaim
tertentu bisa diperagakan. Oleh sebab itu, sesatlah asumsi bahwa simpulan argumen saya niscaya tidak
benar karena argumen saya mengandung kesesatan.
Para logikawan
terkadang memahami hal itu dengan mengatakan logika lebih terkait dengan
“kebenaran formal” daripada “kebenaran material”. Kebenaran material proposisi adalah fakta eksternal khas
yang menyebabkan proposisi itu benar atau salah. Jadi, jika kita ingin
memperagakan kebenaran material pernyataan “Kapur tulis ini putih”, maka jalan
terbaiknya bagi saya hanyalah memegangnya seperti ini, sehingga kalian semua
bisa melihat bahwa
ini putih. Proposisi itu benar bila ternyata kapur tulis di tangan saya ini
pada kenyataannya memang putih. Sebaliknya, kebenaran formal proposisi adalah ungkapan internal
umum. Dengan “internal” saya bermaksud bahwa, tanpa keluar dari proposisi itu
sendiri, kita dapat menentukan nilai kebenaran formalnya. Sebagai contoh, mari
kita ambil proposisi kompleks “Jika kapur tulis ini sepenuhnya putih, maka ini
bukan biru”. Dalam hal ini, kita dapat mengatakan bahwa, tanpa melihat kapur
tulis sama sekali, kita mengetahui bahwa jika proposisi pertama benar, maka benar
pula proposisi kedua.
Kebenaran
formal proposisi tidak bergantung sama sekali pada makna khas kata-kata yang
dipakai dalam proposisi itu. Namun bagaimanapun, kita mengetahui nilai
kebenaran setiap bagiannya.
Karena alasan ini, logikawan acapkali mendapatkan manfaat dari penggantian
kata-kata dalam suatu proposisi dengan simbol-simbol. Karena simbol itu hanya melambangkan
sifat umum atau formal setiap kata, simbol itu mempermudah kita dalam melihat
lebih jauh isi khasnya dan melihat struktur logis yang melandasi proposisi.
Jadi, tujuan ideal sebagian logikawan adalah mengembangkan logika simbolik
lengkap yang bisa berfungsi, secara agak ironis, sebagai bahasa tanpa
kata (yakni logika tanpa logoi). Contohnya, proposisi “Jika ... maka
...” tersebut di atas bisa diungkapkan dengan menggantikan “kapur tulis ini”
dengan “a”, “sepenuhnya putih” dengan “w”, “tidak” dengan “-”, dan “biru”
dengan “-w” (yakni “tidak putih”), sehingga struktur formal proposisi itu
menjadi jelas: proposisi “Jika a adalah w, maka a adalah –(-w)” selalu merupakan proposisi yang benar, apa pun
kata-kata yang kita pakai untuk menggantikan simbol-simbol itu.
Begitu
banyaknya simbol-simbol dalam buku-buku-ajar logika, mungkin lebih daripada
yang lain, menakutkan bagi mahasiswa-mahasiswa pemula sampai-sampai mereka lari
dari logika. Namun seperti bahasa baru yang mana saja, selekas kita pelajari
cara pakai simbol-simbol itu, berlalulah kecanggungan dan kebingungan awal.
Dalam matakuliah ini, saya akan memperkenalkan kepada kalian simbol-simbol
logika beberapa gelintir saja. Akan tetapi, dengan mempertimbangkan
pandangan-pandangan anda yang berwawasan luas mengenai hakikat logika, saya
banyak berharap agar sebagian dari kalian akan cukup tertarik untuk benar-benar
membaca sendiri lebih lanjut bacaan-bacaan di bidang logika simbolik.
Kepentingan saya di delapan kuliah mendatang adalah membantu anda dalam
memperdalam wawasan anda ke dalam logika itu sendiri pada aktualnya.
11. Dua Jenis Logika
Saya mau
memulai kuliah ini dengan melihat contoh khas tentang bagaimana logika bisa
membantu kita dalam melihat hubungan formal antara kata-kata dan dalam melihat nilai kebenaran proposisi yang tersusun oleh kata-kata
[yang saling berhubungan secara formal] itu.[2]
Nilai kebenaran proposisi,
sebagaimana paparan saya di kuliah yang lalu, sangat berbeda dengan kebenaran
material aktualnya. Ini mengacu
pada kebenaran atau kesesatan proposisi yang akan dimiliki dalam segala perangkat kondisi yang ada.
Jadi, kita bisa menemukan nilai kebenaran tanpa mengetahui sama sekali isi aktualnya, asalkan kita tahu jenis proposisinya. Salah satu cara
melakukannya adalah menyusun sesuatu yang disebut “tabel kebenaran” proposisi.
Mari kita ambil contoh proposisi: “Jika anda membaca Bacaan Anjuran, maka anda
akan berhasil di pengujian akhir.” (Pada aktualnya, saya lebih suka tidak
memberi uji tulis—atau nilai apa pun mengenai materinya—karena hampir mustahil
menilai seberapa banyak filsafat hakiki yang anda serap hanya dengan memberlakukan tes konvensional.
Matakuliah ini tidak bermaksud mengajari anda mengenai filsafat—yang bisa diuji dengan
mudah—tetapi mengajari anda berfilsafat. Namun demikian, universitas menghajatkan dosen
untuk “menilai” mahasiswa mereka; jadi, mari kita manfaatkan logika untuk mengingatkan
kita sendiri tentang salah satu cara yang baik untuk mengupayakan nilai yang
tinggi, bila anda membaca Bacaan Anjuran sebagai bagian dari matakuliah yang
dinilai.)
Langkah
pertama dalam menyusun tabel kebenaran adalah mereduksi proposisi yang dibicarakan
ke bentuk logisnya yang tersederhana. Dalam hal ini, kita dapat menggantikan
“anda membaca Bacaan Anjuran” dengan p dan “anda akan berhasil di pengujian akhir”
dengan q, yang
memberi kita proposisi “Jika p, maka q”. Ini
bisa diungkapkan seluruhnya dengan simbol-simbol sebagai “p ? q”, yang di sini tanda anak panah berarti
“menyiratkan” (yang secara logis sama dengan “Jika..., maka...”). Langkah kedua
adalah menggantikan setiap variabel dengan semua kemungkinan kombinasi, yakni
“B” (“benar”) dan “S” (“salah”), dan, terhadap setiap kombinasi, menentukan
apakah proposisi hasilnya benar ataukah salah. Lalu huruf yang tepat (B atau S)
dituliskan di kolom terkanan, seperti di Gambar IV.1a. Jika benar bahwa “anda
membaca Bacaan Anjuran”, maka, sebagaimana suratan tabel kebenarannya,
proposisinya secara logis akan benar hanya jika anda lulus uji. Sebaliknya,
jika pernyataan p salah, maka proposisinya secara logis akan benar, tidak peduli apakah q benar ataukah salah. Alasan hasil yang agak
mengejutkan ini bisa dilihat dengan lebih terang jika kita mengubah proposisi
tersebut menjadi proposisi ekuivalennya, “... atau ...”. Jika p betul-betul menyiratkan q, maka q benar atau p salah. Karena kebenaran p menyiratkan kebenaran q, kesalahan q menyiratkan kesalahan p. Itu berarti “p ? q” sama dengan “-p v q” (yakni –p atau q). Dengan menyusun satu tabel kebenaran baru,
seperti dalam Gambar IV.1b, kini kita dapati bahwa baris kedua adalah
satu-satunya yang kedua pilihannya salah; tiga proposisi lainnya masing-masing mempunyai
sekurang-kurangnya satu opsi yang benar, sehingga keseluruhan proposisi ini
bisa dinilai benar. (Perhatikan bahwa kolom pertama di Gambar IV.1a mengandung
nilai yang berlawanan dengan yang terdapat pada Gambar IV.1b, karena yang
pertama merupakan fungsi p, sedangkan yang kedua merupakan fungsi –p.)
p ? q nilai -p v q nilai
kebenaran kebenaran
B B B S B B
B S S S S S
S B B B B B
S S B B S B
(a) “Jika ..., maka ...” (b) “... atau ...”
Kesadaran akan
nilai kebenaran berbagai tipe proposisi bisa menjauhkan kita dari ketololan
penggunaan argumen yang berupaya membuktikan sesuatu dengan memprasyaratkan p
yang salah. Karena keseluruhan
proposisi tersebut pada formalnya benar tanpa mempedulikan kebenaran atau kesalahan q, kita dapat
memakai argumen semacam ini untuk “membuktikan” kebenaran sesuatu yang
sebetulnya salah. Contohnya, bila saya ingin membuat saya sendiri terlihat
sebagai dosen favorit kalian, maka saya dapat berargumen: “Jika anda Gubernur
Hong Kong, maka saya dosen favorit anda!”. Karena premisnya salah (karena tak
satu pun dari kalian Gubernur), proposisi tersebut benar entah saya sebetulnya dosen favorit kalian entah
bukan! Itu sama saja dengan
mengatakan: “Anda bukan Gubernur Hongkong atau saya dosen favorit anda”. Jadi, bila
menghadapi proposisi yang p-nya salah, pastikan selalu ingat bahwa sesatlah penyimpulan dari nilai
kebenaran proposisi keseluruhannya bahwa q sebetulnya benar.
Nah, mari kita
bayangkan bahwa anda betul-betul membaca Bacaan Anjuran untuk kelas ini, tetapi anda gagal total dalam
pengujian. Jika
proposisi tersebut yang bentuknya terurai di Gambar IV.1a sebetulnya benar,
maka anda bisa sampai pada argumen dari logika saja bahwa anda akan lulus matakuliah ini.
Sebagai misal, anda dapat mengingatkan saya bahwa proposisi yang saya nyatakan
di awal kuliah ini setara dengan proposisi lain: “Anda tidak membaca Bacaan
Anjuran atau lulus ujian anda”. Nilai kebenaran proposisi ini, seperti yang
tampak di Gambar IV.1b, mensyaratkan bahwa supaya ini benar, sekurang-kurangnya
satu dari dua bagian harus
benar. Karenanya, jika -p (“anda tidak membaca Bacaan Anjuran”) salah, dan jika proposisi orisinal
saya benar, maka seperti yang ditunjukkan pada tabel kebenaran, q (“lulus ujian anda”) pasti benar. Jadi, jangan sekali-kali
mengatakan logika terlalu abstrak untuk memiliki nilai praktis!
Pada
prinsipnya, tabel-tabel semacam itu bisa disusun untuk proposisi apa
pun, walau akan menjadi sangat
tidak praktis untuk proposisi yang mengandung banyak unsur diskrit. Demi maksud
kita, contoh-contoh sederhana itu cukup memadai. Di beberapa kuliah mendatang
kita akan menjumpai beberapa pola yang agak mirip dengan yang terpakai di
tabel-tabel kebenaran semacam itu. Namun sekarang sampai jam kuliah ini
berakhir, saya ingin berfokus pada satu perbedaan yang menurut saya terpenting
dalam logika: yakni perbedaan antara “analisis” dan “sintesis”. Saya tidak akan
mengemukakan definisinya yang universal, tetapi akan menjelaskan bagaimana
keduanya bisa diterapkan pada tiga pembedaan inti: yaitu pembedaan antara
metode-metode argumentasi, tipe-tipe proposisi, dan jenis-jenis logika.
Pembedaan metode
argumentasi antara yang
analitik dan yang sintetik biasanya lebih dikenal sebagai pembedaan antara
“deduksi” dan “induksi”. Deduksi adalah argumentasi yang berawal dengan penempatan dua proposisi atau
lebih, yang disebut “premis”, yang memprasyaratkan kebenaran [premis] yang
bersangkutan. Lalu suatu simpulan ditarik yang disyaratkan menuruti
premis-premis itu dengan niscaya. Itulah pola dasar deduksi dengan tiga langkah, yang disebut “silogisme”.
Yang paling umum di antara semua itu adalah silogisme “kategoris”. Contoh-baku
tipe silogisme itu adalah yang dipakai oleh Sokrates untuk meyakinkan
kawan-kawannya agar tidak mengkhawatirkan kematiannya yang menjelang, karena
kematian tak terelakkan. Silogisme tersebut kelihatannya seperti berikut ini:
Semua manusia adalah fana.
Sokrates adalah manusia.
Q Sokrates adalah fana. (Simbol “Q” berarti “karena itu”.)
Dalam hal ini, proposisi pertama (atau “premis mayor”) mengajukan asumsi
universal; proposisi kedua (atau “premis minor”) mengajukan batu ujian
tertentu; dan proposisi ketiga, tentu saja, menarik kesimpulan (“kategoris”)
yang niscaya, yang disebut juga “inferensi”. Satu-satunya jalan pembuktian
kesalahan simpulan adalah [pembuktian] bahwa salah satu premisnya salah,
kecuali tentu saja bila hubungan formal antara sebutan-sebutan (terms) di dalam proposisi-proposisi itu berada
di jalan yang menyesatkan.
Salah satu
cara yang baik untuk menguji apakah sebutan-sebutan dalam suatu deduksi
mengandung kesesatan ataukah tidak adalah mengubah proposisi-proposisi itu
menjadi serangkaian simbol-simbol logis yang bersesuaian. Dalam contoh di atas,
yang biasanya dikenal sebagai “implikasi universal” (lantaran pemakaian kata
“semua”), kata-kata itu secara khas diubah menjadi simbol-simbol seperti
berikut ini:
Semua m adalah f.
S adalah m.
Q S adalah f.
Selama mengenai logika formal, kesahihan silogisme itu masih sama persis, entah “m”
menunjuk pada manusia entah pada monyet, entah “f” menunjuk pada fana entah
pada fasih,[3]
dan entah “S” menunjuk pada “Sokrates” entah pada Sinterklas! Namun ingat:
pembuktian kesahihan argumen masih bermasalah perihal apakah premis-premis itu
pada aktualnya benar ataukah tidak. (Kata-kata lain, yaitu “semua”, “adalah”, dan sebagainya
pun bisa diubah menjadi simbol-simbol—tetapi saya tidak ingin membuat anda
takut terhadap logika pada tahap dini ini!)
Salah satu
bantuan penting lain bagi siapa saja yang hendak merambah struktur formal
segala argumen deduktif telah tersedia lebih dari duaribu tahun yang lalu oleh
Aristoteles, pendiri logika formal. Ia menyusun suatu sistem yang
sedikit-banyak lengkap perihal semua kemungkinan bentuk argumen deduktif.
Sampai awal abad keduapuluh, kurang-lebih semua filsuf menghargai bahwa sistem
tersebut memberi catatan yang tak tertandingi tentang semua proposisi-dasar
logika-formal. Tiada keraguan, hal itu membuat Aristoteles memperoleh
penghargaan atas pengajuan sebuah kontribusi yang diakui paling universal dan bertahan
paling lama yang pernah dibuat untuk filsafat. Akan tetapi, demi maksud kita,
tidak perlu dipelajari [di sini] semua rincian sistem Aristoteles, terutama
karena ide-idenya tergantikan dalam banyak hal selama seabad ini.
Yang lebih
signifikan di sini adalah bahwa deduksi bukan satu-satunya bentuk argumen
filosofis yang tenar. Metode analitik ini didampingi oleh metode sintetik yang
sama-sama signifikan. Metode yang belakangan ini, yang disebut induksi, menghajatkan kita untuk berawal dengan
memanfaatkan berbagai fakta material yang, dengan diambil bersamaan, menunjuk
pada simpulan yang diinginkan. Dengan kata lain, berlawanan dengan kebutuhan
pengaturan deduksi yang sahih, induksi selalu melibatkan dugaan. Artinya,
dengan meminjam peristilahan Kant (lihat Kuliah 7), kita dapat menyatakan bahwa
deduksi masih sepenuhnya berada di dalam dunia konsep, sedangkan induksi perlu juga
memanfaatkan intuisi. Barangkali sebuah contoh akan turut menerangi perbedaan itu.
Mari kita
misalkan bahwa kita ingin membuktikan bahwa proposisi “Matahari selalu terbit
di timur” adalah benar. Untuk mereduksi kebenaran pernyataan itu, kita perlu mendapatkan
sekurang-kurangnya dua asumsi yang benar yang, dengan diambil bersamaan,
mengharuskan penyimpulan semacam itu. Untuk contoh, kita bisa memilih yang
berikut ini:
Semua planet berputar mengelilingi suatu bintang dengan cara sedemikian rupa sehingga bintang itu pada penampakannya selalu terbit di cakrawala timur planet yang bersangkutan.
Bumi adalah planet dan matahari adalah bintang.
Q Matahari selalu terbit di timur.
Di sisi lain, agar sampai pada simpulan yang sama dengan itu dengan induksi, kita perlu berargumen dengan cara
seperti berikut ini:
Ayahku berkata bahwa di hari pertama ia lihat matahari terbit, terbitnya di timur.
Ibuku berkata bahwa matahari terbit di timur pada hari kelahiranku.
Pada hari pertama aku lihat matahari terbit seingatku, terbitnya di timur.
Pekan lalu, aku bangun awal dan melihat matahari terbit di timur.
Kemarin aku mengalami hal yang sama.
Aku belum pernah mendengar orang berkata bahwa ia pernah melihat matahari terbit di utara, selatan, atau pun barat.
Q Matahari selalu terbit di timur.
Di Kuliah 21 kita akan sampai pada persoalan apakah dengan induksi kita
mampu mencapai kebenaran yang niscaya ataukah tidak mampu. Namun saat ini saya
hanya mencoba melukiskan perbedaan antara induksi dan deduksi.
Istilah
“analisis” dan “sintesis”, sebagai label pembedaan metode argumentasi antara
yang deduktif dan induktif, setidak-tidaknya sama tuanya dengan Euklides. Dalam
Elements-nya,
Euklides menerangkan sejelas-jelasnya bahwa dua metode ini sebaiknya tidak
dipahami sebagai saling terpisah, tetapi saling melengkapi. Metodenya memperlihatkan ketepatan
teorema-teorema geometrisnya dengan mula-mula menggunakan metode argumentasi
analitik (deduktif), dan kemudian mendukung simpulannya dengan penalaran
sintetik (induktif). Dengan mengikuti arahannya, kita dapat menggambarkan
“arah-arah” berkebalikan yang diikuti oleh dua metode ini sebagaimana anak
panah yang menunjukkan jalan-jalan yang berseberangan.
Kunci:
C = simpulan
A = asumsi
E = bukti empiris
(a) Deduksi (b) Induksi
Proses praktis penyusunan deduksi (berlawanan dengan bentuk tertulisnya) berawal dengan perumusan suatu simpulan, lalu
pembuktiannya dengan pencarian dua, atau lebih, asumsi yang benar yang bisa
berfungsi sebagai landasannya, sedangkan proses induksi berawal dengan
pengumpulan potongan-potongan bukti empiris, lalu ini digunakan sebagai landasan untuk
menarik kesimpulan.
Seperti yang
saya sebut tadi, istilah “analitik” dan “sintetik” telah dipakai oleh
filsuf-filsuf dengan berbagai cara yang cukup berlainan. Dalam waktu yang lama,
cara yang pada umumnya diterima pemakaiannya untuk menunjukkan dua metode
argumentasi adalah cara penggunaan istilah-istilah ala Euklides. Namun Kant
mengembangkan cara-baru penggunaan istilah-istilah tersebut, yang dengan
demikian menunjukkan dua tipe proposisi yang berlainan. Menurut Kant, proposisi adalah analitik jika subyeknya “terkandung di dalam”
predikatnya, sedangkan yang sintetik adalah yang subyeknya berada “di luar”
predikatnya. Jadi, sebagai misal, [proposisi] “Merah adalah warna” adalah
analitik, karena konsep “merah” telah termasuk sebagai salah satu unsur konsep
“warna”. Secara demikian, [proposisi] “Kapur tulis ini putih” adalah sintetik,
karena anda tidak akan tahu bahwa benda yang saya pegang di tangan saya ini
kapur tulis jika saya hanya memberitahu anda bahwa kapur tulis ini putih.
Dengan memakai dua contoh itu, kita dapat menggambarkan deskripsi-awal Kant
tentang perbedaan tersebut dengan alat yang berupa dua peta yang tampak di
Gambar IV.3.
warna benda putih
kapur tulis
putih
merah
kapur tulis
(a) “Merah adalah warna.” (b) “Kapur tulis ini putih.”
Kant juga
memberi beberapa pedoman lain yang lebih ketat untuk menentukan apakah suatu
proposisi adalah analitik ataukah sintetik. Kebenaran proposisi analitik selalu
bisa diketahui melalui logika saja; jadi, jika makna kata-kata sudah kita
ketahui, proposisi ini tidak informatif. Proposisi analitik
menjelaskan-sendiri. Yang harus saya lakukan hanyalah mengatakan “merah” dan
kalian semua yang memahami makna kata ini akan segera tahu bahwa saya membicarakan warna. Jadi, seperti penyimpulan deduktif yang
baik, kebenaran proposisi analitik bersifat konseptual murni dan, karenanya, niscaya. Sebaliknya, kebenaran proposisi sintetik
mensyaratkan pemanfaatan sesuatu yang lebih dari sekadar konsep. Seperti
argumen induktif, pada proposisi sintetik terdapat pemanfaatan intuisi—yaitu
keadaan faktual obyek. Akibatnya, proposisi sintetik selalu informatif, dan
kebenaran simpulannya tergantung pada keadaan obyek yang terus-menerus eksis. Bila saya beritahu anda bahwa
sepotong kapur tulis yang tersembunyi di genggaman tangan saya ini putih, kebenaran pernyataan saya tergantung
pada apakah saya agak mengelabui anda dengan menyulapnya ke saku saya, atau
menggantinya dengan sepotong kapur tulis biru dan sebagainya, ataukah tidak.
Saya harap
anda akan menguji-coba beberapa proposisi sederhana anda sendiri untuk mengetes
penangkapan anda terhadap perbedaan antara proposisi analitik dan sintetik itu.
Dewasa ini sebagian filsuf mengira bahwa terdapat begitu banyak proposisi yang
sulit untuk dinyatakan sebagai analitik atau sebagai sintetik sehingga
keseluruhan pembedaannya sia-sia. Akan tetapi, saya yakin “kawasan abu-abu”
sedemikian itu hanya menimbulkan masalah bila kita lalai untuk melihat konteks proposisi, atau bila kita lalai untuk
menerapkan setiap pedoman Kant dengan kehati-hatian yang memadai. Namun
bagaimanapun, itu bukan persoalan yang bisa kita pecahkan di kuliah pengantar
semacam ini.
Alih-alih,
saya hanya menyebut di sini bahwa Kant mengkombinasikan pembedaan antara
proposisi (atau “penimbangan”, seperti yang juga ia sebut) analitik dan
sintetik dengan suatu pembedaan lain, antara jenis pengetahuan “apriori” dan
“aposteriori”. “Apriori” mengacu pada sesuatu yang bisa diketahui kebenarannya
tanpa memanfaatkan pengalaman; sebaliknya, sesuatu adalah “aposteriori” jika
peragaan kebenarannya mensyaratkan pemanfaatan pengalaman. Itu menghasilkan empat
kemungkinan jenis pengetahuan, dua di antaranya non-kontroversial: pengetahuan
analitik apriori yang secara sederhana adalah pengetahuan logis, dan pengetahuan sintetik aposteriori
yang secara sederhana adalah pengetahuan empiris. Kant yakin, tidak ada pengetahuan analitik
aposteriori; namun bagaimanapun, saya kemukakan bahwa istilah ini pada
aktualnya memerikan suatu kategori epistemologis yang amat penting, walau
sering disepelekan. Saya telah mempertahankan pandangan ini secara
panjang-lebar di tempat lain (lihat APK dan KSP 129-140), sehingga di sini saya hanya akan
menegaskan bahwa mengklasifikasikan keyakinan hipotetis mengenai alam dengan
cara ini bisa menjadi pekerjaan yang penting sekali untuk menyelamatkan
penampakan, baik supaya tidak
dipahami dengan bangga sebagai realitas hakiki atau pun supaya tidak dibuang
lantaran diakui sebagai penampakan belaka. Kelompok pengetahuan sintetik apriori banyak
menarik perhatian Kant; ia menyatakan bahwa semua pengetahuan transendental bertipe ini. Karenanya, ia mengatakan
bahwa pertanyaan “Bagaimana penimbangan sintetik itu apriori?” merupakan
pertanyaan sentral semua filsafat Kritis. Walaupun kita tak punya waktu untuk
membahas seluk-beluk klasifikasi logika yang berlainan itu, anda sebaiknya
berusaha memahami kesalingterkaitannya, seperti yang tampak di peta berikut
ini:
keyakinan hipotesis
(analitik aposteriori)
pengetahuan empiris pengetahuan transendental
(sintetik aposteriori) (sintetik apriori)
pengetahuan logis
(analitik apriori)
Saya hendak
mengakhiri jam kuliah ini dengan memperkenalkan cara ketiga perihal penggunaan istilah “analitik” dan
“sintetik”. Sepengetahuan saya, kalian tidak akan menemukan penggunaan
istilah-istilah itu secara ini di buku-ajar logika mana pun. Padahal ini
merupakan tambahan yang berfaedah terhadap cara pakainya di masa lalu. Saya
rasa pemakaian istilah-istilah itu
sangat bermanfaat untuk memperbedakan antara dua jenis logika. “Logika analitik” adalah seluruh tubuh
logika yang didasarkan pada prinsip-prinsip penalaran yang disusun oleh
Aristoteles. Prinsipnya yang paling mendasar adalah hukum yang [biasanya]
disebut “hukum kontradiksi”. Akan tetapi, karena alasan yang akan menjadi jelas
nanti, saya sarankan kita menyebutnya “hukum non-kontradiksi”, terutama karena prinsip ini memberi
tahu kita bagaimana kita bisa menghindari kontradiksi-diri. Aristoteles menyatakan hukum
ini di Categories
dengan mengatakan bahwa suatu benda tidak mungkin “sesuatu” dan sekaligus
“bukan sesuatu itu” dalam hal yang sama pada waktu yang sama. Dengan kata lain,
mustahil bagi suatu benda untuk menjadi hitam dan sekaligus putih, “A” dan
sekaligus “-A”, dan sebagainya. Ungkapan simbolik tersederhana hukum ini
adalah:
“A bukan –A”
atau “A ? -A”
Pengaruh besar hukum ini terhadap filsafat selama duaribu tigaratus tahun
ini sangat menonjol. Padanya didasarkan hampir semua argumen yang telah
diajukan oleh filsuf-filsuf Barat. Lagipula, kita takkan mampu berkomunikasi
satu sama lain tanpa mengasumsikan bahwa bila kita menggunakan suatu kata, kita
ingin penyimak kita memikirkan benda yang diacu oleh kata itu, dan bukan lawannya!
Deduksi dan
proposisi analitik adalah dua aspek dari logika analitik. Di kedua kasus itu,
seperti yang telah kita perhatikan, keduanya dipasangkan dengan fungsi sintetik
komplementernya: induksi dan proposisi sintetik. Hal ini mencuatkan pertanyaan
yang amat penting: Ada jugakah bentuk komplementer logika itu sendiri, yang setara dan berlawanan dengan logika
analitik, yang darinya fungsi logis non-analitis ini dan lain-lain timbul? Jika
ya, adakah hukum
yang mengatur logika alternatif ini? Melalui dua pertanyaan itu, saya harap
kalian semua memikirkannya sendiri antara sekarang dan saat jam kuliah
mendatang. Lalu saya hendak memulai kuliah mendatang dengan menawarkan jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan itu.
12. Logika Sintetik
Pada akhir
kuliah yang lalu, saya meminta anda memikirkan dua pertanyaan: Mesti kita sebut
apakah lawan dari logika “analitik” tradisional? Pada hukum apakah logika semacam itu akan
didasarkan? Barangsiapa di antara kalian yang telah membaca kerangka kuliah
untuk matakuliah ini (lihat “Daftar Kuliah”) akan mudah menduga bahwa istilah
yang saya pikir terbaik untuk memerikan jenis logika yang mengatur
fungsi-fungsi seperti induksi dan proposisi sintetik adalah “logika sintetik”.
Namun anda mungkin telah mengalami sedikit-banyak kesulitan untuk memikirkan hukum yang terletak berdampingan dengan “hukum
non-kontradiksi” Aristoteles. Jadi, mari kita mulai kuliah ini dengan
menetapkan hukum semacam itu.
Menemukan
hukum dasar logika sintetik tidak harus menjadi tugas sulit; logika analitik
dan sintetik selalu berfungsi dengan cara yang berlawanan, sehingga yang harus kita lakukan
hanyalah menentukan lawan dari hukum “A?-A” yang terkenal dari Aristoteles. Ada
dua cara untuk melakukan ini. Kita bisa mengubah “?” menjadi “=” atau mengubah
“-A” menjadi “A”. Dengan cara ini, kita melahirkan dua hukum berikut ini:
“A = –A” atau
“A ? A”
Saya sarankan, kita sebut hukum baru yang pertama itu “hukum kontradiksi”, karena memperlihatkan bentuk bawaan
kontradiktif yang diikuti dengan apa saja yang berfungsi dengan cara
“sintetik”. Adapun hukum baru yang kedua pada aktualnya merupakan lawan dari
suatu hukum analitik yang agak membosankan, yang biasanya disebut “hukum
identitas”. Ini memberi kita empat serangkai hukum dasar logika:
kontradiksi
(A=-A)
logika
sintetik
non-identitas identitas
(A?A) (A=A)
logika
analitik
non-kontradiksi
(A?-A)
Tentu saja,
hukum-hukum logika sintetik memerlukan beberapa penjelasan. Bagaimana mungkin kontradiksi atau pun non-identitas menjadi landasan penyusunan proposisi
yang maknawi? Komputer, misalnya, takkan berfungsi jika diprogram dengan
menggunakan logika sintetik dan bukan logika analitik. Mengusahakannya adalah
laksana mencoba menghidupkan komputer tatkala direndam di dalam air: [sistem]
keseluruhannya akan korsleting! Lantas, logika sintetik membicarakan apa, sih?
Apa artinya sesekali membuat pernyataan “Hitam adalah bukan hitam”, misalnya? Untungnya,
kendati begitu banyak kemajuan yang kita saksikan di bidang teknologi komputer
selama 1990-an, pemikiran manusia masih mengungguli pemikiran dari komputer terbaik. Walau dengan operasi analitik komputer kecil pun [yakni kalkulator]
bisa berpikir lebih cepat dan cermat daripada otak manusia yang paling maju,
komputer tidak mampu melaksanakan operasi yang pada dasarnya sintetik. Untuk
mengetahui bagaimana logika sintetik dapat memiliki aplikasi yang maknawi, mari
kita lihat beberapa contoh.
Di samping
Confucius, salah seorang filsuf Cina kuno yang paling berpengaruh ialah Chuang
Tzu (± 369-286 S.M.). Sepengetahuan kita, ia tidak banyak menulis; namun yang
ia tulis tersaji dengan baik di koleksi 33 esai singkatnya. Esai yang paling
menarik adalah yang memanfaatkan logika sintetik hampir di semua halaman.
Bahkan judulnya, “Pembahasan tentang Penyetaraan Segala Hal”, menyiratkan bahwa
salah satu tujuan utama Chuang Tzu adalah mendorong kita untuk secepatnya lari
dari cara pikir “hitam-putih” kita sehari-hari, dengan memberi kita isyarat
tentang seperti apakah dunia ini terlihat jika kita mulai mensintesis (“menyetarakan”) segala macam hal yang
berlawanan. Salah satu alineanya secara khas merupakan kutipan yang berharga
sepenuhnya:
Everything has its "that", everything has its "this". From the point of view of "that" you cannot see it, but through understanding you can know it. So I say, "that" comes out of "this" and "this" depends on "that"--which is to say that "this" and "that" give birth to each other. But where there is birth there must be death; where there is death there must be birth. Where there is acceptability there must be unacceptability. Where there is recognition of right there must be recognition of wrong; where there is recognition of wrong there must be recognition of right. (CTBW 34-35)
(Segala sesuatu mempunyai “itu”-nya, segala sesuatu mempunyai “ini”-nya. Dari sudut pandang “itu” anda tidak dapat melihatnya, tetapi melalui pemahaman anda bisa mengetahuinya. Jadi, saya katakan, “itu” berasal dari “ini” dan “ini” bergantung pada “itu”—dengan kata lain, “ini” dan “itu” satu sama lain saling melahirkan. Namun setiap kelahiran pasti ada kematian; setiap ada kematian pasti ada kelahiran. Setiap ada keberterimaan pasti ada ketidakberterimaan. Setiap ada pengakuan kebenaran pasti ada pengakuan kesalahan; setiap ada pengakuan kesalahan pasti ada pengakuan kebenaran.) (CTBW 34-35)
Sejauh ini,
Chuang Tzu hanya menunjukkan kebutuhan universal manusia untuk berpikir secara
analitis. Ia memperhatikan, dengan cukup tepat, bahwa dalam hal-hal sedemikian
itu, lawanan-lawanan itu pada aktualnya bergantung satu sama lain demi keberadaan masing-masing. Namun, ia
lalu melanjutkan:
Therefore the sage does not proceed in such a way, but illuminates all in the light of heaven. He too recognizes a "this", but a "this" which is also a "that", a "that" which is also a "this". His "that" has both a right and a wrong in it; his "this" too has both a right and a wrong in it. So, in fact, does he still have a "this" and a "that"? Or does he in fact no longer have a "this" and a "that"? A state in which "this" and "that" no longer find their opposites is called the hinge of the Way [i.e., of Tao]. When the hinge is fitted into the socket, it can respond endlessly. Its right then is a single endlessness and its wrong too is a single endlessness. So I say, the best thing to use is clarity. (CTBW 35)
(Karenanya, sang alim tidak berproses secara demikian itu, tetapi menjernihkan semuanya dalam cerahnya langit. Ia pun mengakui “ini”, tetapi “ini” yang juga “itu”, “itu” yang “ini” pula. “Itu”-nya benar dan sekaligus salah di dalamnya; “ini”-nya juga benar dan sekaligus salah di dalamnya. Jadi, pada kenyataannya, masihkah ia “ini” dan “itu”? Ataukah pada kenyataannya ia tidak lagi “ini” dan “itu”? Keadaan yang di dalamnya “ini” dan “itu” tidak lagi berlawanan disebut engsel Jalan [yakni Tao]. Bila engsel ini dipasangkan ke soketnya, responnya bisa tanpa-ujung. Maka kebenarannya adalah sebuah ketanpaujungan dan kesalahannya adalah juga sebuah ketanpaujungan. Jadi, saya nyatakan, yang sebaiknya digunakan adalah kejernihan.) (CTBW 35)
Di sini Chuang
Tzu menjelaskan bahwa jalan sang alim itu adalah mengikuti Tao (“Jalan”
langit), dan bahwa Jalan ini bisa diungkapkan dengan kata-kata hanya dengan
menggunakan bahasa-kontradiksi lawanan-lawanan yang disintesiskan: “ini” dan
“itu” (padan kata Chuang Tzu untuk “A” dan “-A”) harus diidentifikasi
dengan saling menyertai;
lagipula, masing-masing harus dengan sendirinya mengandung sesuatu yang
biasanya kita anggap kontradiktif: umpamanya, baik benar maupun salah, baik lahir maupun mati, dan sebagainya.
Apakah kalian
kira Chuang Tzu serius tatkala menulis itu, ataukah ia memaksudkannya untuk
berkelakar belaka? Mengapa ia mengakhiri paragraf yang agak membingungkan itu
dengan menekankan perlunya kejernihan? Maka (CTBW 37-38) ia mengatakan: “Obor kekacauan dan
kesangsian ... adalah kemudi sang alim... Inilah maksud penggunaan kejernihan.”
Kemudian ia menyatakan akan “membuat pernyataan” yang “pas ke dalam beberapa
kategori”, walau ia tidak yakin yang mana. Terusannya adalah serangkaian
kontradiksi yang mencolok, semacam: “Tidak ada di dunia ini yang lebih besar
daripada sehelai rontokan rambut, dan gunung T’ai adalah kecil. Tiada orang
yang hidup lebih lama daripada bayi-mati, dan P’eng-tsu mati muda.” Mungkinkah
ia benar-benar memaksudkan kejernihan tatkala ia membuat pernyataan-pernyataan seganjil
itu?
Saya rasa
Chuang Tzu tidak berkelakar—kendati kebenaran itu acapkali lucu. Ia juga mengungkapkan
maksudnya dengan lebih lengkap ketika ia mengatakan:
The Great Way is not named; Great Discriminations are not spoken; Great Benevolence is not benevolent; Great Modesty is not humble; Great Daring does not attack. If the Way is made clear, it is not the Way. If discriminations are put into words, they do not suffice.... (CTBW 39-40)
(Jalan Agung itu tak bernama; Yang Mahakhas tak terucapkan; Yang Maha Pemurah tidak pemurah; Yang Maha Bersahaja tidak bersahaja; Yang Maha Berani tidak menyerang. Jika Jalan itu dibuat terang, itu bukan Jalan. Bila yang khas diletakkan dalam kata-kata, itu tidak memadai....) (CTBW 39-40)
Tersirat bahwa pembicaraan dengan cara yang tidak jelas (atau paradoksis) dengan disengaja itu bertujuan
mengarahkan hati dan benak kita melampaui alam pembedaan awam, yang cukup
dengan logika analitik, ke suatu alam yang lebih dalam dan jauh lebih
penting—suatu realitas yang tidak bisa dibicarakan dengan jelas dan benar dalam waktu yang
bersamaan. Dengan kata lain, Chuang Tzu mengajarkan bahwa kekaburan logika
sintetik adalah cara ungkap tergamblang kita sendiri jika kita harus memakai kata-kata untuk memaparkan
sesuatu yang tak bisa terpapar. Kehidupan, yakni yang hakiki, pada aktualnya tidak terjadi di kotak
kecil rapi yang dibuat oleh benak kita. Karenanya, kehidupan yang otentik
adalah yang memandang melampaui tapal-tapal batas buatan ini:
Right is not right; so is not so. If right were really right, it would differ so clearly from not right that there would be no need for argument. If so were really so, it would differ so clearly from not so that there would be no need for argument. Forget the years; forget distinctions. Leap into the boundless and make it your home! (CTBW 44)
(Benar bukanlah benar; begitu bukanlah begitu. Jika benar betul-betul benar, itu jelas amat berbeda dengan yang tidak benar hingga takkan membutuhkan argumen. Lupakanlah waktu; lupakanlah kekhasan. Melompatlah ke dalam ketiadabatasan dan jadikanlah ini rumahmu!) (CTBW 44)
Bila kita
hanya berusaha membelenggu Chuang Tzu erat-erat dengan logika analitik, tiada
pilihan lain bagi kita kecuali menyatakan dia gila. Akan tetapi, begitu kita
akui bahwa tujuannya adalah memberi kita suatu pandangan sekilas tentang
sesuatu yang melantas tapal batas logika analitik, kata-katanya mulai membawa sejenis makna
baru. “Kejernihan” yang ia sarankan bukanlah kejelasan pikiran (yakni pemikiran tentang apa yang kita
ketahui), melainkan kejelasan pandangan (yakni pemandangan tentang apa yang masih
misterius). Ironisnya, ia menggunakan kata-kata untuk menunjukkan pandangan ini kepada kita.
Dalam melakukannya, ia akui bahwa ia dalam pengertian tertentu memalsukan Jalan
yang benar—sekurang-kurangnya bagi siapa saja yang berfokus pada kata-katanya sebagai paparan maknanya secara
harfiah tanpa berfokus pada sesuatu yang dituju oleh kata-katanya. Lalu yang kita temukan kala
kita periksa kata-katanya adalah bahwa alat yang paling sering ia manfaatkan
untuk melakukan penujuan adalah kontradiksi bersengaja. “Benar bukanlah benar.” Adakah contoh
yang bisa berfungsi dengan lebih baik pada hukum non-identitas (A?A)?
“‘Ini’ adalah ‘itu’.” Adakah contoh yang bisa berfungsi dengan lebih baik pada hukum kontradiksi (A=-A)?
Sementara
logika analitik menawari kita kejelasan penglihatan (yakni keluasan pengetahuan), logika
sintetik menawari kita kejelasan wawasan (yakni kedalaman pemahaman).[4]
Bila dimanfaatkan dengan tepat, kedua jenis logika itu tidak perlu dianggap bersaingan, tetapi seharusnya dipandang saling
melengkapi, sebagaimana deduksi
dan induksi yang bisa digunakan secara efektif sebagai metode-metode
argumentasi yang saling melengkapi (atau bersifat komplementer). Salah satu
cara terbaik untuk menggambarkan pertalian komplementer ini adalah
mengaitkannya dengan pembedaan yang kita pelajari dari Kant, antara kawasan
pengetahuan-nirmustahil dan kebebalan-niscaya, seperti dalam Gambar IV.6. Logika
analitik bisa dipakai untuk menghasilkan pengetahuan kapan saja bilamana kita paparkan sesuatu
yang terpikir di dalam tapal batas transendental (umpamanya, sesuatu yang dapat
kita lihat). Akan
tetapi, begitu kita pakai kata-kata untuk memerikan hal-hal yang terletak di
luar tapal batas ini, logika analitik bukan hanya kehilangan dayapenjelasnya,
melainkan sesungguhnya juga dapat menjerumuskan kita ke dalam penyimpulan yang
menyesatkan. Alih-alih, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Chuang Tzu kepada kita
dalam memaparkan Tao, bila berhadapan dengan persoalan yang tidak begitu kita
ketahui dengan niscaya, kita bisa menemukan hal-hal yang kita yakini dengan
memanfaatkan logika sintetik untuk memperoleh wawasan yang dibutuhkan untuk
mendukung keyakinan-keyakinan itu.
pengetahuan logika
(bandingkan sintetik
“penglihatan”)
tapal
batas
transendental
logika keyakinan
analitik (bandingkan
“wawasan”)
Bukanlah
kebetulan bahwa Chuang Tzu memandang “melompat ke dalam ketiadabatasan” sebagai
cara terbaik untuk memahami kebenaran logika sintetik. Lompatan ini, yang
kadang-kadang disebut “lompatan iman”, pada dasarnya merupakan lompatan dari sekadar
memikirkan realitas terdalam (seperti dalam metafisika akademik) ke mengalaminya secara aktual. Namun “pengalaman” di
sini tidak mengacu pada pengetahuan empiris, tetapi pada sesuatu yang oleh Kant
disebut “intuisi”. Bagi Kant, daya intuisi kita adalah reseptivitas [yakni
kemauan untuk menerima], yang berlawanan dengan “konsepsi” yang merupakan
spontanitas (lihat CPR 92). Secara demikian, lompatan Chuang Tzu pada aktualnya merupakan lompatan
ke dalam Tao, ke dalam kepasifan berkeheningan yang disengaja. Aspek “ketiadabatasan” itu akan menjadi fokus
perhatian kita di Bagian Empat matakuliah ini. Untuk sekarang, cukup
ditunjukkan bahwa logika analitik dn sintetik memberi kita dua perspektif komplementer: dengan menggunakan yang pertama, secara
aktif kita memaksakan pembagian konseptual yang ketat pada alam; dengan menggunakan yang kedua, kita secara pasif
menerima daya
kesatuan intuitif dari alam. Karena kesatuan tersebut tidak bisa diungkap secara harfiah dengan kata-kata, logika sintetik hanya
dapat dibicarakan dengan memandangnya sebagai parasit pada logika analitik,
yang didasarkan pada penyangkalan hukum-hukum analitik. Adakah cara lain untuk
mengungkap sesuatu yang tak bisa terungkap selain menyangkal hukum-hukum
pengungkapan yang benar? Dengan tiadanya alternatif lain, logika sintetik tidk
sepenuhnya bisa membunuh logika analitik tanpa membunuh diri sendiri! Karena itulah filsuf-filsuf
yang baik mengakui bahwa kedua jenis logika itu merupakan perspektif filosofis yang sah dan, berupaya
mengembangkan keduanya sebagai aspek-aspek integral fisafat mereka.
Tradisi Barat
mempunyai contoh baik yang relatif sedikit tentang bagaimana logika sintetik
bisa diterapkan untuk membantu kita dalam menghadapi kebebalan kita akan
realitas terdalam. Salah seorang filsuf Yunani kuno, yaitu Heraklitus,
menyinggung logika sintetik dengan prinsipnya yang berwawasan luas bahwa
“Kebalikan adalah sama” (yakni “A=-A”). Akan tetapi, beberapa tulisannya yang
sampai kepada kita tidak banyak menolong perihal bagaimana menerapkan prinsip
ini. Filsuf-filsuf lain mengembangkan bentuk-bentuk logika sintetik menjadi
sistem-sistem yang jauh lebih rinci. Contoh terbaiknya, tentu saja, ialah Hegel
(1770-1831), yang menyusun keseluruhan filsafat “dialektis”-nya atas dasar
prinsip bahwa perkembangan sejarah berlangsung menurut pola sintetik “tesis”,
“antitesis”, dan “sintetis” (lihat Gambar IV.7). Versi logika sintetik ini
mencapai pengaruh terbesarnya pada zamannya dalam bentuk “materialisme
dialektis”—ideologi politik Karl Marx (1818-1883) yang, sebagaimana yang akan
kita saksikan di Pekan IX, membalik pola sintetik Hegel.
tesis
sejarah sintesis
antitesis
Salah satu
contoh menarik lainnya datang dari The Mystical Theology karya seorang pendeta abad keempat yang
memakai nama samaran “Dionysius the Areopagite”. Dengan menunjukkan kesia-siaan upaya apa pun
yang hendak memerikan realitas terdalam (yang disebut “Ini” atau “Nya”), ia
menyimpulkan:
Once more, ascending yet higher, we maintain that It is not soul or mind, or endowed with the faculty of imagination, conjecture, reason, or understanding; nor is It any act of reason or understanding; nor can It be described by the reason or perceived by the understanding, since It is not number or order or greatness or littleness or equality or inequality, and since It is not immovable nor in motion or at rest and has no power and is not power or light and does not live and is not life; nor is It personal essence or eternity or time; nor can It be grasped by the understanding, since It is not knowledge or truth; nor is It kingship or wisdom; nor is It one, nor is It unity, nor is It Godhead or Goodness ...; nor is It any other thing such as we or any other being can have knowledge of; nor does It belong to the category of nonexistence or to that of existence; nor do existent beings know It as it actually is, nor does It know them as they actually are; nor can the reason attain to It to name It or to know It; nor is It darkness, nor is It light or error or truth; nor can any affirmation or negation apply to It ..., inasmuch as It transcends all affirmation by being the perfect and unique Cause of all things, and transcends all negation by the preeminence of Its simple and absolute nature--free from every limitation and beyond them all. (MT V)
(Sekali lagi, kendati dengan mendaki lebih tinggi, kami tetap yakin bahwa Ini bukan jiwa atau pun benak, atau dianugerahi bakat imajinasi, dugaan, akal, atau pun pemahaman; Ini bukan bilangan atau urutan, atau pun kehebatan atau kesepelean, atau pun kesetaraan atau ketimpangan, dan karena Ini bukan tak bisa digerakkan dan tidak bergerak dan tidak diam, dan tidak berdaya dan bukan kekuasaan atau keterangan, dan tidak hidup dan bukan kehidupan; Ini bukan esensi esensi personal atau pun keabadian atau waktu; Ini pun tidak bisa dimengerti oleh pikiran, karena ini bukan pengetahuan atau pun kebenaran; Ini bukan kerajaan atau pun kealiman; Ini bukan satu, Ini bukan kesatuan, Ini bukan Dewa Perdana atau pun Kebaikan...; Ini bukan hal apa pun yang bisa diketahui oleh kita atau oleh segala makhluk lain; Ini bukan kategori non-eksistensi atau pun kategori eksistensi; para yang-berada pun tidak mengetahui-Nya pada aktualnya, Ia pun tidak mengetahui mereka pada aktualnya; akal tidak bisa menjangkau-Nya untuk menamai-Nya atau mengetahui-Nya; Ini bukan kegelapan, Ini bukan cahaya atau pun salah atau benar; tidak satu pun penegasan atau penyangkalan bisa diterapkan pada-Nya..., karena Ini melampaui semua penegasan dengan menjadi Penyebab yang sempurna dan unik atas segala hal, dan melampaui semua penyangkalan dengan keunggulan sifat-Nya yang sederhana dan mutlak—bebas dari segala pembatasan dan melampaui segala pembatasan.) (MT V)
Kutipan ini mengungkap keinsafan penuh, jauh sebelum Kant, akan fakta bahwa
sedikit-banyak kita tidak bisa mengetahui realitas terdalam sama sekali. Namun jika kita bersikeras untuk menafsirkan
kata-kata tersebut menurut hukum-hukum logika analitik, maka sebagian besar
dari itu merupakan omong kosong! Bagaimana bisa, misalnya, sesuatu “bukan
tak bisa digerakkan dan tidak bergerak dan tidak diam”? Pernyataan-pernyataan
semacam ini pasti tertolak lantaran jelas-jelas kontradiktif, sampai kita
menyadari bahwa klaim-klaim tersebut harus ditafsirkan dengan logika sintetik;
hal ini mengingat bahwa kontradiksi tersebut bisa mengarahkan kita ke
wawasan-wawasan yang lebih mendalam mengenai Yang-Berada yang biasanya kita
sebut “Tuhan”.
Walaupun
jarang terdapat isyarat, sedikit sekalipun, tentang keberadaan logika sintetik
di kebanyakan buku-ajar logika, ada beberapa gelintir cendekiawan di abad ini
yang mengakui kebermaknaannya dan berupaya memaparkan cara kerjanya. Setahu
saya belum ada yang secara menyeluruh mengkaji sesuatu yang sedikit-banyak
merupakan jenis logika yang betul-betul khas; namun beberapa cendekiawan telah
secara terbuka mengakui kemungkinan penggunaan hukum-hukum alternatif sebagai
landasan bagi cara pakai kata-kata kita. Umpamanya, sebagian antropolog, dalam
penelitian mereka tentang bagaimana orang-orang di masyarakat primitif
berpikir, menyimpulkan bahwa otak mereka berjalan menurut suatu hukum yang
terkadang mereka sebut “hukum partisipasi” (yang berarti bahwa mereka memandang
bahwa suatu konsep itu turut serta di dalam lawanannya). Beberapa cendekiawan
lain pun menyarankan nama-nama lain untuk hukum yang saya sebut “hukum
kontradiksi”, semisal “hukum paradoks”. Nama ini memiliki keunggulan yang menerangkan
bahwa maksud sejati logika sintetik itu bukan menuturkan kontradiksi yang
sia-sia, melainkan menerbangkan imajinasi kita ke titik penemuan
perspektif-perspektif baru, yang dari sini kontradiksi-kontradiksi tajam itu
bisa dicairkan.
Jenis logika
yang kita sebut
alternatif itu dan hukum-hukum dasarnya hampir tidak sepenting pengetahuan
tentang bagaimana kita menggunakannya. Dengan pikiran ini, saya akan membahas di
Pekan V beberapa cara pakai logika sintetik yang sangat praktis untuk
memperoleh wawasan. Untuk hari ini, mari kita berkesimpulan dengan meninjau
kembali pelajaran kita sejauh ini mengenai logika, dengan menggunakan tabel
yang terdapat pada Gambar IV.8.
|
Analitik |
Sintetik |
Metode argumentasi |
deduksi |
induksi |
Tipe proposisi |
“Merah adalah warna.” warna merah |
“Kapurtulis ini putih.” benda putih kapurtulis putih kapurtulis |
Jenis logika |
Hukum Dasar Identitas: A=A Non-kontradiksi: A?-A |
Hukum Dasar Non-identitas: A?A Kontradiksi: A=-A |
Pada dasarnya
ada dua tipe logika yang berlainan: [1] logika analitik muncul dari hukum
identitas dan hukum non-kontradiksi; [2] logika sintetik muncul dari
hukum-hukum kebalikannya, yaitu hukum non-identitas dan hukum kontradiksi.
Logika analitik tepat untuk menerangkan segala sesuatu yang nirmustahil untuk kita ketahui, sedangkan logika sintetik tepat untuk
menerangkan segala sesuatu yang mustahil untuk kita ketahui. Proposisi analitik adalah ungkapan logika
analitik lantaran menyamakan dua konsep yang dalam pengertian tertentu
keidentikannya telah diketahui; proposisi sintetik adalah ungkapan logika sintetik
lantaran menyamakan dua hal yang pada dasarnya tidak identik—yakni konsep dan
intuisi. Akhirnya, wujud logika analitik yang paling tepat adalah argumen
deduktif, yang simpulannya mengikuti premis-premis sebagai persoalan kepastian matematis (yakni non-kontradiktif); wujud logika
sintetik yang paling tepat adalah argumen induktif, yang simpulannya selalu
bergantung pada beberapa proposisi dugaan (yaitu pada penegasan paradoksis tentang hal-hal
yang tidak kita ketahui).
Nah, dengan
telah memperkenalkan kepada anda tiga pembedaan terdasar dalam logika, saya
hendak mencurahkan kuliah-kuliah pekan depan untuk tugas penjelasan basis logis
berbagai diagram yang saya manfaatkan di sepanjang buku-ajar ini. Lalu kita
akan menyimpulkan Bagian Dua dengan melihat satu contoh aliran filosofis abad
keduapuluh yang cenderung terlalu menekankan analisis dan satu contoh aliran
lainnya yang terlalu menekankan sintesis, yang diikuti dengan aliran ketiga
yang dapat dianggap sebagai upaya untuk mensintesis aspek-aspek pokok dua
aliran pertama.
Pertanyaan Perambah
1. A.
Apakah kebenaran selalu benar?
B.
Apakah logika selalu logis?
..............................
..............................
2. A.
Mungkinkah ada argumen yang analitik dan
sekaligus sintetik?
B.
Mungkinkah ada proposisi yang tidak analitik dan sekaligus tidak sintetik?
..............................
..............................
3. A.
Apa makna pernyataan bahwa benda yang
eksis “tidak eksis”?
B.
Bagaimana mungkin suatu benda “hitam seluruhnya” dan sekaligus “putih seluruhnya”?
..............................
..............................
4. A.
Bisakah sesorang pada aktualnya menjadikan “ketiadabatasan” sebagai rumahnya?
B.
Jenis logika apakah yang dipakai oleh Tuhan
untuk berpikir?
..............................
..............................
Bacaan Anjuran
1. Morris
Cohen, A Preface to Logic (New York:
Dover Publications, 1977[1944]), Bab 1, “The Subject Matter of Formal Logic”,
pp. 1-22.
2. Susan
K. Langer, An Introduction to Symbolic
Logic 3rd Edition (New York: Dover Publications, 1967[1953]).
3. T.L.
Heath, Pengantar pada The Thirteen Books
of Euclid’s Elements (Cambridge: Cambridge University Press, 1956), §8,
“Analysis and Synthesis”, pp. 137-140.
4. Immanuel
Kant, Critique of Pure Reason
“Introduction” (CPR 41-62).[5]
5. Stephen
Palmquist, “A Priori Knowledge in Perspectives” (APK).
6. Chuang
Tzu, Basic Writings, Bab 2,
“Discussion on Making All Things Equal” (CTBW 31-44).[6]
7. Dionysius
the Areopagite, The Mystical Theology
(MT).[7]
8. G.W.F.
Hegel, The Phenomenology of Spirit,
terj. A.V. Miller (Oxford: Oxford University Press, 1977), Prakata, “On
Scientific Cognition”, pp. 1-45.[8]
Catatan Penerjemah
[1] Menurut Palmquist, ini karena mitos merupakan keyakinan pembukti kebenaran “tertinggi”. Tidak ada pembukti kebenaran yang lebih tinggi untuk klaim bahwa “tidak ada jawaban pasti” terhadap pertanyaan-pertanyaan filosofis. Intinya, keyakinan ini sendiri merupakan mitos dan, secara demikian, merupakan jawaban yang sangat pasti atas masalah tersebut. Hal ini juga menggambarkan bahwa semua pemikiran filosofis membutuhkan mitos.
[2] Pada teks aslinya tertulis “... help us see the formal relations between words and the truth value of the proposition they compose.” Namun karena susunan kata tersebut bisa membingungkan, Palmquist setuju untuk merevisinya, sehingga terbaca: "... help us see both the formal relations between words and the truth value of the proposition composed by those words."
[3] Di sini “m” (“manusia” atau “monyet”) merupakan saduran dari “h” (“human” atau “horse”), sedangkan “f” (“fana” atau “fasih”) merupakan saduran dari “m” (“mortal” atau “moral”).
[4] Oleh sebab itu, kapan saja anda temui istilah “berwawasan luas”—suatu penggunaan “salah-kaprah” yang juga masih dipakai di karya terjemahan ini—anda sebaiknya membacanya sebagai “berpemahaman mendalam”.
[5] Untuk alternatif, lihat http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/cpr/prefs.html
[6] Untuk alternatif, lihat http://www.clas.ufl.edu/users/gthursby/taoism/cz-text2.htm#LEVEL
[7] Untuk alternatif, lihat http://www.ccel.org/r/rolt/dionysius/
[8] Untuk alternatif, lihat http://www.marxists.org/reference/archive/hegel/works/ph/phprefac.htm#1
Send comments (in English)
to: StevePq@hkbu.edu.hk
Back to the Index of Pohon Filsafat.
Back to the English
version of The Tree of Philosophy.
Back to the listing of Steve Palmquist's published
books.
Back to the main map of Steve
Palmquist's web site.
This page was first placed
on the web on 27 April 2003.