Pekan VIII
Filsafat Moral
22. Kebebasan dan Tapal Batas Moral
Menjelang
akhir kuliah pekan lalu saya membiarkan anda dalam posisi yang kurang nyaman.
Ingatkah anda? Anda tersendat di terowongan Lion Rock Tunnel, di dalam bus yang
dikemudikan oleh seorang [sopir] yang menyatakan bahwa hal-hal “terjadi” begitu
saja, tanpa disebabkan oleh sesuatu. Apa yang sebaiknya anda lakukan
pada situasi semacam itu? Alih-alih menjawab pertanyaan ini secara langsung,
saya ingin anda mengubah sedikit cerita itu. Mari kita bayangkan bahwa ketika
anda menanyai sopir bus itu mengapa ia menghentikan bus, ia tidak mengatakan
“Saya tidak …”, tetapi ia mengacungkan pistol dan meminta anda memberi
dia semua uang anda dan turun dari bus, atau [kalau anda menolak permintaannya]
ia akan menembak. Anda mungkin akan mematuhi permintaannya. Namun sesudah bus
itu berlalu, kala anda berjalan kaki menyusuri terowongan, anda mungkin menjadi
cukup kalut terhadap hal yang dilakukan oleh orang itu kepada anda. Pada faktanya,
sebagian besar dari kita barangkali akan melaporkan tindakannya ke polisi
sesegera mungkin, dengan menuduh dia melakukan sesuatu yang salah.
Apa landasan
rasional bagi klaim kita dalam kasus semacam itu? Mengapa kita menilai tindakan
orang itu salah secara moral? Dalam filsafat, jenis pertanyaan ini disebut
“etis”. Pertanyaan-pertanyaan etis berkisar pada bagaimana seharusnya kita bertindak.
Ada banyak sekali pertanyaan etis—begitu banyak sehingga pada awal kuliah ini
pun beragam jenis pertanyaan etis, belum lagi pertanyaan spesifik mengenai
kebenaran atau kesalahan tindakan tertentu, belum bisa kita rambah. Pertanyaan
etis bagaikan ranting-ranting di ujung suatu cabang pohon: ranting-ranting itu
sangat penting, karena di sinilah tumbuh daun dan buah pohon; namun jumlahnya
begitu banyak sehingga salah satunya bisa disingkirkan tanpa secara signifikan
mengubah penampilan atau kesehatan pohon.
Akan tetapi,
ada jenis pertanyaan filosofis serupa yang lebih berbobot daripada pertanyaan
etis. Semua pertanyaan etis didasarkan pada prinsip-prinsip moral
fundamental tertentu, sebagaimana semua ranting yang berdaun disangga oleh
salah satu cabang pohon yang besar. Kesadaran akan pertanyaan yang berkaitan
dengan prinsip-prinsip ini adalah fundamental jika kita ingin memahami
pohon filsafat. Pada suatu masa, “filsafat moral” dipakai untuk mengacu pada
cabang ini sepenuhnya (termasuk ranting-rantingnya). Namun dewasa ini istilah
itu jarang dipakai. Segenap cabang filsafat ini yang berkenaan dengan
pembangunan pondasi rasional bagi tindakan-tindakan moral itu kini lebih sering
diacu sebagai “etika” saja, dengan “etika terapan” yang mengacu pada
ranting-rantingnya dan “meta-etika” yang mengacu pada bagian utama cabang
tersebut. Namun untuk menghindari kekacauan, saya pikir lebih baik menggunakan
istilah “etika” untuk mengacu pada keseluruhan “ilmu” (dalam arti luasnya)
tentang pembuatan putusan-putusan moral, dan mencadangkan istilah “filsafat
moral” untuk prinsip-prinsip dasar yang melandasi.
Secara
demikian, “filsafat moral” adalah cabang pohon filsafat yang berawal dengan
pengajuan pertanyaan dasar mengenai moralitas, seperti: Apakah manusia bebas?
Bagaimana kita bisa menetapkan perbedaan antara baik dan buruk? dan Bagaimana
etika bisa nirmustahil? Tentu saja, istilah “filsafat moral” tidak
mengacu pada “cara berfilsafat yang baik”, seperti yang diperlawankan dengan
filsafat “immoral” yang buruk. “Filsuf moral” bisa saja sama immoralnya dengan
orang lain dalam kehidupan sehari-hari! Namun bagaimanapun, tujuan hakiki filsafat
moral bukan sekadar memahami apakah kebaikan itu, melainkan
memanfaatkannya untuk membantu kita menjadi orang yang lebih baik.
Begitu pula, sebagaimana Jonathan Si Camar mulai terbang dengan jauh lebih
cepat segera seusai ia pahami penerbangan, pemahaman pondasi moral bagi
putusan-putusan etis mesti membantu kita menentukan pilihan yang lebih
bijaksana dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu
filsafat moral yang paling berpengaruh diajukan oleh Immanuel Kant. Kritik pertama
Kant membantu kita dalam meraih beberapa wawasan fundamental mengenai hakikat
metafisika pada Bagian Satu, sehingga kita akan mencurahkan sebagian besar
waktu kita pada jam ini untuk memeriksa Kritik kedua Kant, yang di
dalamnya ia menyarankan cara yang menarik dalam menghadapi kebebalan kita akan
kenyataan hakiki. Critique of Pure Reason mengambil sudut pandang
“teoretis” untuk menunjukkan bagaimana ruang, waktu, dan kategori-kategori
membentuk garis tapal batas yang diperlukan secara mutlak (yakni apriori
sintetik) demi pengalaman insani (dan karenanya memungkinkan
pengetahuan empiris kita tentang obyek-obyek fenomenal), sedangkan Critique
of Practical Reason, sebagaimana yang akan kita saksikan (bandingkan
Gambar III.4, III.6, dan IV.4), mengambil sudut pandang “praktis” untuk memperagakan
bagaimana kebebasan dan hukum moral membentuk garis tapal batas yang diperlukan
secara mutlak demi tindakan moral (dan karenanya memungkinkan
penilaian moral kita tentang obyek-obyek nomenal). Kita dapat memaparkan
pembedaan itu dengan peristilahan yang lebih sederhana, dengan mengatakan bahwa
Kant dalam buku-buku tersebut mengembangkan dua cara (yaitu dua “sudut
pandang”) yang berbeda dalam memandang alam: ia mengambil sudut pandang kepala
di Kritik pertama dan sudut pandang perut di Kritik
kedua (bandingkan Gambar II.8 dan III.4).
Memandang dua
perangkat ide yang berlawanan sebagai wakil-wakil dari dua sudut pandang
itu sering dapat membantu kita dalam melihat bagaimana keduanya bisa
benar, walaupun mulanya tampak bertentangan. Sebuah contoh yang sederhana akan
menolong kita dalam menjernihkan hal ini. Kebanyakan dari anda sekalian
barangkali sedikit-banyak pernah melihat salah satu dari banyak gambar yang
dipakai oleh psikolog untuk mengetes bagaimana benak kita mencerap obyek-obyek.
Ada gambar yang dapat melambangkan dua obyek yang sepenuhnya berlainan, yang
bergantung pada bagaimana ini dicerap. Untuk contoh, lukisan yang terdapat pada
Gambar VIII.1 terlihat seperti sebuah cawan jika kita berfokus pada
bidang gelap di tengah. Namun bila kita melihat sisi-sisinya, tiba-tiba kita
melihat dua wajah yang saling berhadapan. Jawaban mana yang benar?
Tentu saja, keduanya benar, masing-masing dengan jalannya
sendiri-sendiri. Hal yang sama sering berlaku dalam filsafat, bilamana ada dua
jawaban yang terlihat bertolak belakang terhadap pertanyaan yang sama, jika
ternayata bahwa masing-masing jawaban mendekati pertanyaan dengan cara yang
berbeda, atau dengan sudut pandang yang berbeda.
Di Kuliah 9
kita melihat bagaimana Kant menyatakan bahwa, dalam proses pemerolehan
pengetahuan teoretis, berbagai “ide” biasanya timbul dalam benak siapa pun yang
berpikir secara rasional mengenai pengalaman mereka sendiri: yang terpenting di
antaranya adalah ide tentang Tuhan, kebebasan, dan keabadian (lihat CPR
29). Namun ia mengemukakan sebuah masalah mengenai ide-ide itu; jika
Kant benar, kita niscaya bebal akan realitas yang ditunjukkan oleh
ide-ide tersebut. Ia mengklaim, realitas “nomenal” tersebut berada di luar
tapal batas kemungkinan pengetahuan kita. Namun demikian, kita jangan ceroboh,
seperti halnya beberapa penafsir, menganggap bahwa Kant berpandangan skeptis
tentang ide-ide tersebut. Padahal, salah satu alasan penolakannya terhadap
kemungkinan bahwa kita mempunyai pengetahuan tentang ide-ide tersebut adalah
keyakinan bahwa siapa saja justru mustahil membuktikan tiadanya
realitas-realitas tersebut. Tak seorang pun bisa membuktikan bahwa pandangan
kita tentang Tuhan, kebebasan, dan keabadian itu khayalan belaka, karena untuk
melakukannya, orang itu perlu memiliki pengetahuan tentang kenyataan
hakiki; dan ini, menurut Kant, mustahil. Karenanya, dengan menyangkal
“pengetahuan” [tentang realitas terdalam] itu, Kant membiarkan terbukanya suatu
ruang untuk “keimanan” kepada ide-ide tersebut (29)—kendati kita masih
perlu mencari alasan yang baik untuk pengadopsian keimanan semacam itu, dalam
menghadapi kebebalan teoretis kita. Melalui pemeriksaan syarat-perlu,
dalam Kritik kedua, bagi dihasilkannya alam moral ketika kita bergelut
dengan nafsu (“perut”) kita, Kant berupaya menyediakan penalaran sedemikian
itu, atas dasar bahwa ide-ide itu sendiri pada aktualnya mengarahkan kita ke
luar dari bidang teori, menuju bidang praktek.
Syarat-perlu
pertama bagi kebolehjadian tindakan moral ialah kebebasan. Kant
menyatakan, kebebasan adalah sebuah dan satu-satunya “fakta pemberian” akal
praktis. Dengan mengambil sudut pandang praktis, kita pada aktualnya menerobos
tapal batas ruang dan waktu (batasan “kemampuan inderawi” kita dan menggantikannya
dengan kebebasan. Akan tetapi, kebebasan itu tidak membiarkan kita tersesat
dalam alam kebingungan sebebas-bebasnya yang tanpa batas; alih-alih, kebebasan
itu sendiri berfungsi sebagai jenis batasan baru. Ruang dan waktu
merupakan batas-niscaya kita yang di dalamnya segala hal yang dapat kita ketahui
pasti tampak, sedangkan kebebasan ialah batas-niscaya yang dengannya segala tindakan
moral harus bersesuaian. Yang terdahulu adalah pembatasan-alam yang
ditimpakan pada kepala kita sehingga kita dapat mengetahui
kebenaran; yang terkemudian ialah pembatasan-diri yang ditimpakan pada perut
kita sehingga kita dapat menjalankan kebaikan. Walaupun dua sudut
pandang itu membawa kita ke arah yang berlawanan, kita tidak perlu memandangnya
sebagai kontradiksi yang tak bisa dipertemukan, asalkan kita akui bahwa
keduanya mengacu pada aspek kehidupan insani yang berbeda secara mendasar.
Kant tak
pernah mengklaim bahwa ia bisa membuktikan bahwa manusia itu bebas; Kritik
pertama justru memperagakan mengapa bukti semacam itu mustahil. Alih-alih,
argumennya ialah bahwa kita harus memprakirakan [adanya] kebebasan
agar bisa memasuki bidang moralitas, sebagaimana kita harus memprakirakan
[adanya] ruang dan waktu agar bisa memasuki bidang pengetahuan. Di kedua kasus
itu kita berhadapan dengan fakta kasar yang bahkan tak dapat dipertanyakan
tanpa secara radikal mengubah (atau barangkali bahkan mengikis) pengalaman
insani kita. Karena itu, kendati Kant belum meletakkannya dengan cara ini, kita
bisa mengatakan bahwa fakta-fakta tersebut berfungsi seperti mitos
komplementer bagi siapa saja di dunia modern yang ingin menafsirkan
pengalamannya dengan menyebut pengetahuan atau tindakan moral.
Jika kebebasan
pada Kritik kedua bersesuaian dengan ruang dan waktu pada [Kritik]
pertama, apa yang bersesuian dengan kategori-kategori? Aspek logis tapal batas
moral yang oleh Kant disebut “hukum moral” atau “imperatif kategoris”. Semua
kaidah (yaitu aturan subyektif tentanga tindakan) harus sesuai dengan hukum
penilai moral ini. Kant bermaksud bahwa imperatif “kategoris” itu
menciptakan suatu tuntutan yang tak bersyarat. Sebaliknya, imperatif
“hipotetis” adalah yang dengannya dilekatkan “jika”. Bila saya berkata kepada
kalian “Harap tenang jika saya berada di ruang ini!”, maka perintah saya
hipotetis, karena kalian tidak perlu diam jika saya tidak berada di
ruang ini. Sebaliknya, perintah seperti “Jangan berkata dusta!” biasanya
dianggap tak bersyarat. Saya meragukan kalau ibu anda pernah berkata
kepada anda “Jangan berkata dusta, kecuali jika itu membuat kamu
merasa baik!” Itu karena perintah yang menyebut kebenaran semacam ini biasanya
dianggap kewajiban. Menurut Kant, “kewajiban” adalah tindakan yang
dilakukan berdasarkan pertimbangan hukum moral—yakni lebih dalam rangka
ketaatan terhadap nurani manusia daripada hanya dalam mengikuti nafsu atau
“keinginan” perut manusia.
Kant yakin ia
bisa menetapkan rumus yang berlaku pada semua tindakan moral. Pada
ujung-ujungnya ia secara aktual mengusulkan tiga kriteria (atau rumus) khas
bagi imperatif kategoris. Rumus pertama menyatakan bahwa suatu tindakan adalah
moral hanya jika kaidahnya bisa disemestakan: “Bertindaklah menurut
kaidah yang, pada saat yang sama, hendak anda jadikan hukum universal itu saja”
(FMM 421). [Dengan kesemestaan] itu, tidak berarti bahwa setiap orang
akan secara aktual sepakat dengan kaidah anda, tetapi hanya bahwa
setiap orang seharusnya setuju. Rumus kedua mensyaratkan bahwa kita menghargai
pribadi orang: “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga anda memperlakukan
manusia selalu sebagai tujuan dan tak pernah sebagai alat belaka, entah perihal
pribadi anda sendiri entah perihal pribadi orang lain” (429). Rumus ketiga
mensyaratkan bahwa kaidah kita harus otonom (yaitu mengatur-sendiri):
karena “setiap makhluk yang rasional [menciptakan] hukum universal”, kaidah
moral harus “selaras dengan penentuan-hukum kehendak yang universal” (431).
Mari kita uji [tiga] kriteria-niscaya ini, terutama rumus pertama, dengan menerapkannya
pada sebuah contoh.
Jika saya
menyontek pada suatu pengujian dan seseorang menanyai saya “Apakah anda
menyontek pada pengujian itu?”, maka saya berhadapan dengan suatu pilihan
moral. Saya bisa berbohong, dan berharap tak seorang pun menemukan kebenarannya,
atau mengatakan kebenarannya dan menghadapi akibatnya. Walaupun berbohong dalam
kasus semacam itu bisa membuat saya lebih senang, Kant memandang
pilihan ini salah secara moral, karena didasarkan pada kaidah yang tak
pernah menjadi hukum universal. Dalam kasus terdahulu kaidah saya mungkin
“Berkata bohong bisa diterima jika dapat mengeluarkan saya dari situasi yang
menyulitkan”, sedangkan dalam [kasus] yang terkemudian kaidah saya mungkin
“Jangan sekali-kali berkata bohong!”. Kant dengan sukarela menerima bahwa
menghendaki (yaitu ingin mengatakan) kebohongan khusus [tentu saja]
nirmustahil, tetapi ia menyatakan bahwa menghendaki “kebohongan sebagai hukum
universal” adalah tidak rasional: dalam kasus semacam itu “kaidah saya niscaya
akan hancur sendiri segera seusai dijadikan hukum universal” (FMM 403).
Dengan kata lain, bayangkan jika ada dunia yang menerima kebohongan yang akan
membahagiakan orang, maka fungsi utama bahasa (yakni kemampuannya untuk membawa
kebenaran) akan terkikis. Lagipula, kebohongan juga melanggar kriteria
kedua dan ketiga: itu mengeksploitasi orang-orang lain, mengabaikan
kemampuan rasional mereka, sebagai satu-satunya cara untuk membahagiakan diri.
Berbohong mensyaratkan bahwa kita melanggar hukum yang bisa disemestakan
(dan karenanya juga melecehkan rasionalitas manusia), sehingga berkata bohong
selalu salah secara moral, tak peduli betapa bahagia perasaan kita yang
ditimbulkan oleh kebohongan.
Ada banyak
contoh lain yang diberikan oleh Kant, yang berhubungan dengan tindakan bunuh-diri,
kemalasan, dan sikap apatis (lihat FMM 421-424); namun untuk tujuan
kita [di sini] cukup ditunjukkan fungsi kriteria penilaian Kant yang diduga
terpenuhi oleh tindakan moral. Menurut Kant, kita tidak harus secara sadar
memikirkan tiga rumus imperatif kategoris setiap kali menghadapi dilema moral;
alih-alih, fungsinya adalah memungkinkan filsuf untuk benar-benar menunjukkan
posisi persoalan moral dan kemudian menentukan garis tapal batas yang
secara obyektif sahih antara tindakan yang secara moral baik dan yang
secara moral buruk. Garis tapal batas itu obyektif lantaran benar bagi
siapa saja (yaitu bersifat universal) dan karena memanfaatkan kenyataan
yang secara obyektif eksis (yakni manusia) sebagai landasan penilaian.
Bilamana hukum
moral menyuruh kita untuk melakukan sesuatu, maka mengerjakan tindakan itu
membuat kita terpuji hanya jika pilihan kita juga tidak dimaksudkan untuk
memuaskan salah satu keinginan kita—yakni hanya jika alasan untuk melakukannya
tidak terkait dengan pemuasan nafsu kita. Jadi, filsafat moral Kant bisa
dinyatakan kembali sebagai berikut: suatu tindakan bisa secara moral baik atau
buruk hanya jika dilakukan secara bebas dan [berasal] dari penghargaan
terhadap hukum moral, bukan [berasal] dari keinginan untuk memenuhi
hasrat kita akan kebahagiaan. Kant menaruh banyak perhatian pada perbedaan
tajam antara keinginan dan kewajiban berikutnya. Tentu saja, ada kalanya suatu
tindakan bisa memenuhi hukum moral dan sekaligus mencapai kebahagiaan
yang kita inginkan. Namun bilamana hal itu mustahil, kita harus memilih untu
mengatakan “Tidak!” kepada kebahagiaan kita sendiri. Dengan demikian, kita
dapat mengungkapkan perintah imperatif kategoris sebagai: “Hormatilah hukum
moral!” atau “Ikutilah hati nurani anda sebagai prinsip obyektif!”
atau yang sederhana, “Tunaikanlah kewajiban anda!”
Jenis teori
moral tersebut kadang-kadang disebut “deontologi” dan secara tradisional diperlawankan
dengan “utilitarianisme”. Pandangan yang terakhir ini dipertahankan oleh J.S.
Mill (1806-1873), seorang filsuf Inggris yang berargumen bahwa suatu tindakan
adalah baik hanya jika memaksimalkan kebahagiaan manusia. Kant
menganggap hasil tindakan kurang penting daripada motivasi
batiniah pelakuknya. Inilah alasan mengapa pada satu persoalan ia mengatakan
bahwa tiada yang bisa “disebut baik tanpa kualifikasi kecuali niat baik”
(FMM 392); artinya, tidak ada hal-hal yang merupakan tindakan yang
mutlak-baik, namun ada sesuatu yang merupakan niat yang mutlak-baik—yakni
niat yang mendasarkan kaidah-kaidahnya pada hukum moral. Bagi Kant, urutan yang
tepat untuk memandang kenyataan adalah dari sisi dalam ke sisi luar.
Sebaliknya, bagi Mill, hasil luar dari suatu tindakan itu jauh lebih penting
daripada motivasi di belakangnya: tindakan terbaik adalah yang paling
membahagiakan orang. Artinya, tentu saja, bahwa Mill memaafkan kebohongan
bilamana memiliki “faedah” (yakni kegunaan) yang memadai untuk lebih membantu
orang daripada mencelakakannya. Secara demikian, pencurian oleh sopir bus
[tersebut di atas] bisa berbalik menjadi bisa diterima secara moral jika,
misalnya, ia membutuhkan uang anda untuk memberi makan anak-anak yang
kelaparan, sedangkan anda hanya akan menggunakannya untuk membeli beberapa buku
filsafat untuk kesenangan anda sendiri. Akan tetapi, jika kita mempercayai
Kant, dunia semacam itu merupakan dunia yang tidak rasional—suatu dunia yang
tanpa tapal batas sama sekali—dan akhirnya akan hancur sendiri. Sebagai ganti
terhadap pemeriksaan yang lebih dekat tentang perdebatan yang berlangsung lama antara
deontologi dan utilitarianisme itu, mari kita teruskan bahasan kita tentang
versi deontologi Kant dengan melihat beberapa implikasi kelanjutannya.
Supaya
moralitas benar-benar rasional, Kant memandang bahwa tindakan moral harus mampu
memenuhi tujuannya: membawa kita menuju kebaikan yang mungkin
tertinggi. Bagaimana seharusnya “summum bonum” ini didefinisikan merupakan persoalan yang
diperdebatkan di kalangan filsuf sejak zaman kuno. Kaum Stoik yakin kebaikan
tertinggi adalah keluhuran budi (virtue), dan bahwa kehidupan yang berbudi-luhur mesti
diburu tanpa mempedulikan kebahagiaan. Sebaliknya, kaum Epicurean berpandangan
bahwa kebaikan tertinggi adalah memuaskan kesenangan, dan karenanya memburu kebahagiaan.
Perbedaan ini bisa dilacak jejaknya pada perbedaan antara Plato, dengan
fokusnya pada ide kebaikan, dan Aristoteles, dengan kepeduliaannya terhadap
pengalaman kebahagiaan nyata. Sekilas, tampaknya perbandingan itu bersesuaian
dengan perbedaan antara deontologi Kant dan utilitarianisme Mill. Akan tetapi,
Kant menolak interpretasi terhadap implikasi filsafat moralnya sendiri
tersebut.
Kant
mengemukakan bahwa konsepsi terbaik tentang kebaikan tertinggi pasti mencakup
keluhuran budi dan sekaligus kebahagiaan. Kebahagiaan tanpa keluhuran
budi adalah kezaliman; keluhuran budi tanpa kebahagiaan adalah upaya yang
sia-sia. Oleh sebab itu, Kant menjelaskan bahwa kebaikan tertinggi ialah
gambaran alam-ideal yang memberi setiap orang ganjaran atas keluhuran budi
mereka dengan tingkat kebahagiaan yang proporsional. Dengan kata lain,
jika tingkat keluhuran budi anda mencapai delapan pada skala sepuluh dan
tingkat saya hanya mencapai tujuh, maka anda akan memperoleh ganjaran 80%
kebahagiaan, sedangkan saya diganjari dengan 70% kebahagiaan. Konsepsi lain apa
pun tentang tujuan-hakiki tindakan moral akan menyebabkan moralitas tidak
rasional, lantaran karenanya moralitas akan berujung pada sesuatu yang kurang
dari kebaikan dan keadilan yang sempurna.
Kant sering
dikritik karena memasukkan kebahagiaan ke dalam teorinya pada tahap akhir ini:
bagaimana ia memasukkan kebahagiaan dalam kebaikan tertinggi bila ia telah
mendefinisikan keluhuran budi dengan peristilahan pemenuhan kewajiban sebagai
ganti terhadap kebahagiaan? Namun kritikan itu didasarkan pada
kesalahpahaman. Dengan memasukkan kebahagiaan dalam kebaikan tertinggi, tidak
serta-merta Kant mengubah pikirannya dan mengatakan bahwa kebahagiaan bisa
menjadi motivasi tindakan kita sepenuhnya. Alih-alih, kita harus memperbedakan
antara kebahagiaan sebagai motif asal dan kebahagiaan sebagai harapan
rasional. Realitas kehidupan manusia, menurut Kant, adalah bahwa tindakan yang
baik acapkali mensyaratkan bahwa kita melakukan sesuatu yang
sepengetahuan kita akan kurang menyenangkan kita (semisal melawan godaan untuk
mencuri uang orang lain, berbohong untuk melindungi reputasi kita, dan
sebagainya); namun pada saat yang sama, akal kita memberi tahu kita bahwa pada
akhirnya orang yang memilih patuh kepada hukum moral lebih berbahagia daripada
orang yang memilih berburu kebahagiaan sebagai tujuan tunggal.
Hal itu
menghadirkan satu masalah yang harus dipecahkan jika moralitas mesti rasional:
sepengetahuan kita, para budiman sering tidak diganjari dengan
kebahagiaan duniawi. Lantas, bagaimana kita bisa membayangkan bahwa kebaikan
tertinggi itu masuk akal? Kant berargumen bahwa akal praktis mensyaratkan bahwa
kita “mendalilkan” kenyataan hidup selepas kematian dan keberadaan Tuhan.[1]
Tidak seperti kebebasan, dua dalil tersebut tidak memainkan peran dalam
memoralkan tindakan; alih-alih, dalil-dalil itu membantu kita dalam memahami
tujuan rasional moralitas itu sendiri. Tanpa iman kepada kehidupan lain dan
kepada Tuhan suci yang mengatur kehidupan itu, kita bisa juga bertindak secara
moral, tetapi kita tidak akan mampu menjelaskan bagaimana kebaikan tertinggi
bisa diwujudkan. Itulah “argumen moral” Kant yang populer perihal keberadaan
Tuhan. Ia tidak pernah mengklaim bahwa [argumen] tersebut bisa memberi kita pengetahuan
hakiki tentang keberadaan Tuhan; namun ia memang mengemukakan bahwa hal itu
menyediakan alasan praktis terbaik untuk beriman kepada
Tuhan. Pada dasarnya, argumennya adalah bahwa setiap orang yang bertindak
secara moral dan beriman kepada rasionalitas tindakan semacam itu
[pasti] bertindak seolah-olah ada Tuhan, entah mereka pada aktualnya
beriman kepada Tuhan entah tidak. Dengan kata lain, Kant menyatakan, kita harus
beriman kepada Tuhan atau, kalau tidak, kita pasti menolak salah satu
proposisi berikut ini: (1) tindakan moral adalah baik; (2) moralitas adalah
rasional; (3) kebaikan tertinggi itu menggabungkan keluhuran budi dengan
kebahagiaan proporsional.
Di samping
menyediakan “bukti praktis” keberadaan Tuhan, filsafat moral Kant memberi
beberapa kontribusi penting lain. Umpamanya, seperti yang telah kita lihat, ia
menarik garis tapal batas yang tegas antara tindakan moral dan non-moral. Suatu tindakan [bersifat]
moral hanya jika dilakukan secara bebas (yakni tanpa bergantung pada
kebahagiaan kita sendiri) dan sesuai dengan hukum moral (yaitu
didasarkan pada kaidah yang bisa disemestakan). Ini semua merupakan syarat-perlu
yang pasti benar bagi siapa saja yang hendak bertindak secara moral,
sehingga [kondisi-kondisi] itu menentukan perangkat pedoman yang mutlak
bagi motivasi batiniah kita, sebagaimana ruang, waktu dan kategori-kategori
yang menentukan perangkat pedoman yang mutlak untuk memahami dunia luar. Kita
dapat melukiskan keadaan berlawanan antara dua sudut pandang Kant yang mendasar
sebagai berikut:
Tuhan, kebebasan Tuhan &
& keabadian keabadian
ruang & kebebasan
waktu
ide- dalil-
ide dalil
pengetahuan tindakan
empiris moral
12 hukum
kategori moral
(a) Batas Pengetahuan (b) Batas Tindakan
Bila [filsafat
praktis] itu dipandang bersama-sama dengan filsafat teoretisnya (seperti dalam
Gambar VIII.2), timbullah sebuah masalah potensial dari filsafat moral Kant,
yaitu ketegangan yang tampaknya tak bisa dikendurkan antara kebebasan
dan alam. Bagaimana kita bisa bebas di satu sisi (tatkala memperhitungkan
pondasi tindakan moral), namun dibatasi oleh hukum-hukum semacam hukum
kausalitas di sisi lain (tatkala memperhitungkan pondasi pengetahuan empiris)?
Kant mencoba menjawab pertanyaan semacam itu dengan menunjukkan, dalam beberapa
aspek pengalaman manusia, bagaimana perseteruan antara kebebasan dan alam,
antara akal teoretis dan praktis, tak berdaya pada aktualnya. Di
Bagian Empat kita akan memeriksa dua cara utama penjawabannya: Kuliah 29 akan
mengenai teori keindahan yang ia pertahankan di Kritik
ketiga; lalu Kuliah 32 dan 33 akan membahas cara melampaui perseteruan itu—dan
juga jawaban terbaiknya terhadap pertanyaan “Apa yang bisa saya harapkan?”
(lihat Gambar III.6)—teorinya tentang agama. Ini lantaran agama
memberi kita satu-satunya cara penjelasan bagaimana kebaikan tertinggi bisa
diwujudkan; karenanya, inilah bidang pengalaman manusia yang oleh Kant diyakini
sebagai contoh terbaik tentang bagaimana alam dan kebebasan dapat bekerja
bersama-sama demi kebaikan ras manusia.
Walaupun Kant
memang menulis beberapa buku dalam upayanya untuk memperlihatkan bahwa ada
bidang pengalaman manusia yang mensintesis kebebasan dan alam; perseteruan
keras antara dua bidang itu tidak merepotkan dia sebanyak kerepotan
pengritik-pengritiknya. Ini karena kecenderungannya sendiri tidak untuk
mengakui bahwa dua bidang tersebut mengemukakan suatu kontradiksi mutlak yang
perlu dijauhi, tetapi untuk mengiyakan perseteruan sebagai sifat dasar
manusia. Ia mengakuinya sebagai perseteruan antara dua perspektif
manusia, dua cara pandang terhadap dua hal yang sama (lihat Gambar VIII.1),
yang niscaya timbul bersamaan dan sampai batas tertentu—seperti perseteruan
antara “panas” dan “dingin”, atau “besar” dan “kecil”—keberadaan masing-masing
saling bergantung. Hanya dengan mengingat-ingat hal ini kita dapat sepenuhnya
menghargai cara pembahasannya yang penuh simpati, mengenai perseteruan, dalam
Simpulan-nya yang terkenal pada Kritik kedua:
Two things fill the mind with ever new and increasing admiration and awe, the oftener and more steadily we reflect upon them: the starry heavens above me [i.e., nature] and the moral law within me [i.e., freedom]. I do not merely conjecture them and seek them as though obscured in darkness or in the transcendent region beyond my horizon: I see them before me, and I associate them directly with the consciousness of my own existence. (CPrR 161-162)
(Dua hal memenuhi benak dengan kekaguman dan keheranan yang senantiasa segar dan semakin menjadi-jadi, ketika kian kerap dan kian seimbang kita merenungkan keduanya: langit berbintang di atas saya [yaitu alam] dan hukum moral di dalam diri saya [yaitu kebebasan]. Saya tidak sekadar menebak dan mencari keduanya seakan-akan [dua hal itu] tersembunyi di kegelapan atau di kawasan transenden di luar cakrawala saya: saya melihat keduanya di depan saya, dan saya langsung mengasosiasikan keduanya dengan kesadaran akan eksistensi saya sendiri.) (CPrR 161-162)
23. Transvaluasi: Penerobosan Moral?
Pada jam
terdahulu kita lihat bagaimana Kant mencoba mendalami signifikansi
rasional tindakan moral dengan berargumen bahwa moralitas itu didasarkan pada
pengertian internal tentang kebebasan dan kewajiban moral. Keyakinannya
kepada “suara” yang berlaku universal di dalam diri kita, yang memberi tahu
setiap orang perbedaan antara benar dan salah, mungkin tampaknya ganjil bagi
orang yang terbenam sepenuhnya dalam relativisme yang cenderung mendominasi
budaya Barat modern, yang di dalamnya tidak ditarik pembedaan yang jelas antara
benar dan salah. Sebagai ulasan kilat tentang filsafat moral Kant, dan dalam
rangka menunjukkan beberapa perbedaan antara pandangannya bahwa tujuan-tujuan
moral adalah “obyektif” dan pandangan umum bahwa itu semua “subyektif”, saya
meringkas sebagian dari perbedaan-perbedaan utamanya pada Gambar VIII.3.
|
Tujuan Subyektif |
Tujuan Obyektif |
dayaterap |
berbeda bagi setiap orang (nisbi) |
berlaku bagi semua orang (mutlak) |
faktor penentu |
keinginan seseorang (nafsu orang itu sendiri) |
akal orang itu sendiri (melalui hukum moral) |
acuan |
sesuatu yang berpotensi nyata (penghargaan yang sesuai “jika ...”) |
sesuatu yang sudah nyata (penghargaan langsung) |
kriteria nilai |
jika memenuhi nafsu (hipotetis) |
bebas dari semua nafsu (kategoris) |
sasaran pendorong |
menghasilkan kebahagiaan |
menghasilkan keluhuran budi |
Sejak Kant mengusulkan pembedaan yang radikal antara sudut pandang tindakan
moral dan pengetahuan empiris, filsuf-filsuf mengupayakan berbagai cara untuk
mengatasi pembatasan yang ia ajukan. (Sayangnya, upaya Kant sendiri yang
mencoba mempertemukan dua bidang tersebut lebih sering terabaikan sama sekali.)
Pada kuliah ini kita hendak memeriksa gagasan-gagasan utama dari seorang filsuf
sedemikian itu, seorang manusia yang meramalkan banyak perubahan dengan cara
berpikir dan bertindak yang terjadi pada abad keduapuluh dan yang,
sekurang-kurangnya dalam beberapa hal, merupakan sumber penyebabnya; karena ia,
sebagaimana adanya, memulai alur baru dalam sejarah filsafat Barat (bandingkan
Gambar III.3).
Friedrich
Nietzsche (1844-1900) ialah seorang filsuf Jerman yang yakin bahwa nilai-nilai
tradisional masyarakat pada masanya telah mencabut akar-akar sejati agama dan
filsafat—dan bahkan perikemanusiaan itu sendiri. Sebagai tanggapan terhadap
bencana mendatang yang ia lihat kentara pada cakrawala, ia menuntut “transvaluasi
nilai” secara menyeluruh—yakni suatu pemikiran ulang yang lengkap terhadap
keseluruhan tradisi filosofis dan religius yang menghasilkan nilai-nilai
tradisional itu. Teori-teori yang ia kembangkan dalam melaksanakan tugas ini
membangun sesuatu yang menyerupai mitos baru, yang menggantikan mitos
rasonalitas yang tak berpihak, yang didirikan oleh Sokrates dan dipopulerkan
oleh Plato, dengan mitos irrasionalitas yang berat sebelah, yang baru
sekarang implikasinya mulai dimengerti. (Kebetulan, Nietzsche mengklaim bahwa
filsafatnya tidak akan sepenuhnya dipahami sampai duaratus tahun sesudah
penulisannya.) Masalah pemahaman gagasan-gagasannya adalah bahwa ia sengaja
menulis dengan cara yang tidak sistematis; ia memandang bahwa penyusunan sistem
merupakan perangkat nilai-nilai lama. Yang saling bertolak belakang bukan hanya
sebagian dari gagasan-gagasannya; ada banyak bukunya yang juga tidak
berkehendak untuk menyusun himpunan tunggal gagasan-gagasan yang diuraikan
dengan baik. Alih-alih, buku-buku itu mengandung koleksi beragam ide, yang
seringkali terungkap dalam bentuk penggalan “pepatah”. Seolah-olah Nietzsche
hanya menulis serangkai lembar mawas, lalu menerbitkannya manakala ia
mempunyai [naskah] yang cukup untuk membuat buku! Ia lebih memandang bahwa dirinya
sendiri ialah sastrawan, psikolog, atau bahkan nabi daripada filsuf dalam
segala pengertian konvensional. Namun bagaimanapun, ada banyak wawasannya yang
langsung ditujukan kepada persoalan filosofis; jadi, suatu ikhtisar tentang
ide-ide utamanya akan memungkinkan kita untuk menghargai signifikansinya bagi
tradisi filsafat.
Nietzsche
sendiri (yang namanya, omong-omong, diucapkan seakan-akan dengan ejaan “Niyce”[2])
ialah putra seorang pastur Lutheran. Ia begitu cerdas sehingga ia menamatkan
pendidikan formalnya pada usia muda dan menjadi profesor seni-klasik di
Universitas Basel tatkala ia baru berumur 24 tahun. Pada periode ini ia
mengembangkan banyak ide melalui suatu persahabatan yang singkat tetapi
mendalam dengan seorang musisi, Richard Wagner. Akan tetapi, sesudah mengajar
sepuluh tahun, ia menjadi kecewa dengan permainan akademis dan pensiun demi
sebuah gubuk di pegunungan. Di situ ia mengisi sepuluh tahun kehidupan yang
berikutnya sebagai seorang pertapa, dengan menulis beberapa buku yang paling menggairahkan
dan paling menantang dalam sejarah filsafat Barat.
Transvaluasi
nilai ala Nietzsche, suatu titik fokus yang menyatukan semua gagasannya,
terutama merupakan upaya untuk menerobos pemahaman tradisional tentang
tapal batas yang membatasi kehidupan moral dan intelektual kita, dengan
menegakkan di tempatnya suatu perangkat nilai-nilai baru yang lebih tinggi. Ia
mengemukakan bahwa nilai-nilai lama, sebagaimana yang khususnya terwakili oleh
agama Kristen dan tradisi filsafat yang memuncak pada Kant, adalah
“menyangkal-kehidupan”; oleh sebab itu, [nilai-nilai] tersebut harus digantikan
dengan nilai-nilai yang “menegaskan-kehidupan”, yang contoh-contoh terbaiknya
terdapat pada agama-agama penyembah berhala dan filsafat Yunani kuno. Sains,
dengan bidang visinya yang sempit, yang menafsirkan bahwa alam pada dasarnya mati,
bukan satu-satunya sumber penghasil visi kealaman ini. Moral Kristen
tradisional, yang diterima oleh sebagian besar dunia Barat dan yang
dipertahankan dalam filsafat Kant, juga menyokong gagasan-gagasan seperti
cinta, kerendahan hati, dan pengorbanan-diri; namun nilai-nilai semacam itu,
menurut Nietzsche, membinasakan ruh manusia itu sendiri, dan menyebabkan kita lupa
akan cara menari.
Dengan
menengok kembali mitologi Yunani, Nietzsche memilih [dua] nama untuk dua tipe
pandangan hidup: pandangan penyangkalan-kehidupan tradisional yang ia sebut
“Apolonia” (menurut nama Dewa matahari, “Apollo”), sedangkan pandangan yang
oleh Nietzsche diharapkan berposisi sebagai penegasan-kehidupan ia sebut “Dionisia”
(menurut nama Dewa anggur, “Dionisius”). Pandangan Apolonia adalah berbudi,
rasional, dan kalem, sedangkan pandangan Dionisia adalah tak berbudi, tak
rasional, dan bernafsu. [Pandangan] terdahulu menimbulkan “moralitas budak”
yang menyebabkan orang-orang mengadopsi “mentalitas ternak” dan
menganggap bahwa diri mereka sendiri dibatasi oleh tapal batas tetap yang
menentukan hal-hal yang baik dan yang buruk; dalam politik, sikap ini
memunculkan demokrasi (yang diatur oleh massa), sehingga mendorong
setiap orang untuk serupa dengan tingkat sedang. Sebaliknya, [pandangan]
terkemudian menerbitkan “moralitas tuan” yang mengakibatkan orang-orang
mengambil “mentalitas pahlawan” dan memandang bahwa diri mereka
sendiri bebas untuk lari dari jalan penafsiran konvensional perihal benar dan
salah; dalam politik, sikap ini mendatangkan aristokrasi (yang diatur
oleh segelintir orang), sehingga mendorong pengungkapan kehebatan
spirit manusia.
Dengan cara ini
dan lain-lainnya, pandangan Dionisia memungkinkan kita untuk pergi “melampaui
yang baik dan yang buruk” dan hidup di pesawat yang lebih tinggi, dengan ciri
yang oleh Nietzsche disebut “kehendak untuk berkuasa”. Kehendak untuk berkuasa
adalah bentuk kebebasan radikal yang memecahkan masalah yang diajukan oleh
pembedaan Kant antara alam dan kebebasan melalui penjungkalan dua
posisi garis tapal batasnya: “kita harus ... secara hipotetis
mendalilkan kausalitas kehendak sebagai satu-satunya kausalitas.” Menurut
Nietzsche, kita bisa benar-benar menguasai diri kita sendiri hanya dengan
berani menganut kebebasan yang menolak ketertutupan yang bertapal batas apa
saja, lantaran hanya dengan melakukannya kita dapat menegaskan kehidupan
sebagaimana aktualnya. Dengan mengikuti pedoman ini, kita bisa melukiskan
transvaluasi nilai ala Nietzsche dengan peta yang terlihat pada Gambar VIII.4.
melampaui yang baik dan yang buruk
pandangan
Dionisia
yang baik dan yang buruk
pandangan
Apolonia
Masalah yang
dijumpai oleh Nietzsche adalah bahwa masyarakat pada zamannya berkubu
sepenuhnya dalam cara pikir Apolonia. Karenanya, upayanya sendiri untuk
menyeimbangkan [cara pikir] itu dengan pesan Dionisia tentu saja dihadapi
sebagai kegilaan. Inilah sekurang-kurangnya salah satu inti cerita populer
Nietzsche tentang orang gila di pasar:
Have you not heard as yet of that mad-man who on one bright forenoon lit a lantern, ran out into the market-place and cried out again and again, "I seek God! I seek God!--Because there were standing about just at that time many who did not believe in God, the mad-man was the occasion of great merriment. Has God been lost? said one of them. Or is He hiding himself? Is He afraid of us? Has He boarded a ship? Has He emigrated? Thus they cried and laughed.
But the mad-man pierced them with his glance: "Whither has God gone?" he cried; "I am going to tell you. We have killed Him--you and I! We all are His murderers. But how have we accomplished this? How have we been able to empty the sea? Who gave us the sponge to wipe off the entire horizon? What were we doing when we unchained this earth from its sun? Whither does the earth now move? Whither do we ourselves move?
"Are we not groping our way in an infinite nothingness? Do we not feel the breath of the empty spaces. Has it not become colder? Is there not night and ever more night? How do we manage to console ourselves, we master-assassins? Who is going to wipe the blood off our hands? Must not we ourselves become gods to make ourselves worthy of such a deed? (JW 125)
(Belum kau dengar sampai kini, orang-gila yang pada suatu pagi nan cerah menyalakan lentera, lalu memasuki pasar dan menjerit berulang-ulang, “Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!--Lantaran yang berdiri di sekitarnya pada saat itu orang-orang yang tidak mempercayai Tuhan, orang-gila itu hiburan segar. Apakah Tuhan hilang? kata salah satunya. Ataukah Ia menyembunyikan diri? Takutkah Ia kepada kita? Naik kapalkah Ia? Pindah ke negeri lainkah Ia? Demikianlah mereka bersorak tertawa-tawa.
Namun orang-gila itu menusuk mereka dengan lirikannya: “Ke mana gerangan Tuhan pergi?” ia berseru; “Akan kuberi tahu kalian. Kita telah membunuh Dia—kalian dan aku! Kita semua pembunuh Dia. Tapi bagaimana kita menuntaskannnya? Bagaimana kita bisa mengosongkan laut? Siapa yang memberi kita spons untuk menyapu semesta-cakrawala? Apa yang kita lakukan bila kita lepaskan bumi ini dari mataharinya? Ke mana bumi kini berjalan? Ke mana kita sendiri menuju?”
“Tidakkah kita raba-raba jalan kita di kehampaan yang tiada tepi? Tidakkah kita rasakan embusan ruang hampa? Kian dinginkah? Tiadakah malam dan larut-malam? Bagaimana kita bisa menghibur diri kita sendiri, kita pembunuh-pembunuh ulung? Siapa yang akan menyeka darah di tangan kita? Tidakkah kita harus menjadi tuhan sendiri supaya kita laik melakukannya?”) (JW §125)
Pasal tersebut
tidak hanya menyatakan masalah bahwa kepribadian Apolonia kita yang nirhayat
telah membunuh Tuhan, tetapi juga memberi isyarat tentang solusi Nietzsche.
Satu-satunya yang-berada yang mampu membunuh Tuhan adalah yang mampu menjadi
tuhan sendiri. Dari sini muncullah teori Nietzsche tentang Manusia Super.
Ketika
Nietzsche membicarakan orang-orang yang melampaui diri mereka sendiri dan
menjadi übermensch (kata Jerman yang biasanya diterjemahkan [ke bahasa
Inggris] sebagai “Superman”, tetapi kadang-kadang juga sebagai “overman”), ia tidak membayangkan orang asing berbusana
merah yang ke sana kemari terbang “lebih cepat daripada kecepatan peluru”
dengan bertarung melawan kekuatan jahat dan membela Kepentingan Amerika!
Pahlawan khayalan dari Krypton ini baru muncul sesaat sesudah Nietzsche
meninggal dan mengandung sedikit keserupaan dengan ide Nietzsche. Manusia Super
yang kehadirannya diproklamasikan oleh Nietzsche itu jauh lebih penting,
lantaran dialah tujuan-inti bumi ini. Dengan demikian,
“harapan masa depan manusia” terletak seluruhnya pada kebangkitan orang kuat
dari kondisi masyarakat modern yang tersesat tanpa harapan: sementara
orang-orang awam semuanya bagaikan “selokan busuk”, “kita perlu menjadi samudera”.
Untuk menghasilkan pandangan Manusia Super yang Dionisi, kita harus, umpamanya,
mencintai nasib kita (yang oleh Nietzsche disebut “amor fati”) sedemikian cermat sehingga pada setiap
saat dalam kehidupan kita, kita bisa menghendaki terulangnya suatu daur
“pengulangan abadi” yang sinambung terus-menerus.
Deskripsi
terbaik Nietzsche tentang Manusia Super ideal tersebut, dan tentang bagaimana
tokoh itu muncul, terdapat pada bukunya, Thus Spake Zarathustra
(1883-1884). Prolog buku ini menceritakan seorang manusia yang bernama
Zarathustra (yang pada aktualnya merupakan nama pendiri agama Persia Kuno yang
disebut Zoroastrianisme), yang hidup sendirian di pegunungan selama sepuluh
tahun. Suatu hari ia menemui seorang “santo tua di hutan” dan terkejut
mendapati bahwa orang ini “belum mendengar bahwa Tuhan telah mati!”
Kemudian Zarathustra pergi ke pasar di kota terdekat. Di sana banyak orang
berkerumun menyaksikan peniti tali-akrobat yang penampilannya baru dimulai, dan
ia mulai mengkhotbahi mereka, dengan mengatakan:
I teach you the Superman. Man is something that is to be surpassed. What have ye done to surpass man? ...
What is the ape to man? A laughing-stock, a thing of shame. And just the same shall man be to the Superman: a laughing-stock, a thing of shame.
Ye have made your way from the worm to man, and much within you is still worm....
Lo, I teach you the Superman!
The Superman is the meaning of the earth. Let your will say: The Superman shall be the meaning of the earth!
I conjure you, my brethren, remain true to the earth, and believe not those who speak unto you of superearthly hopes! Poisoners are they, whether they know it or not.
Despisers of life are they, decaying ones and poisoned ones themselves, of whom the earth is weary: so away with them!
Once blasphemy against God was the greatest blasphemy; but God died, and therewith also those blasphemers. To blaspheme the earth is now the dreadfulest sin, and to rate the heart of the unknowable higher than the meaning of the earth! ...
Verily, a polluted stream is man. One must be a sea, to receive a polluted stream without becoming impure.
Lo, I teach you the Superman: he is that sea; in him can your greatest contempt be submerged. (TSZ Prologue §3)
(Kuajarkan Manusia Super kepada kalian. Manusia ialah sesuatu yang harus dilebihi. Apa yang telah kalian lakukan untuk melebihi manusia? ...
Bagi manusia, kera itu apa? Hewan yang menggelikan, sesuatu yang memalukan. Dan begitu pulalah manusia bagi Manusia Super: hewan yang menggelikan, sesuatu yang memalukan.
Telah kalian lewati jalan dari rahim menuju manusia, dan kebanyakan kalian masih di dalam rahim. ...
Simaklah! Kuajarkan Manusia Super kepada kalian!
Manusia Super ialah makna bumi. Biarkanlah kehendak kalian berujar: Manusia Super akan menjadi makna bumi!
Kugugah kalian, saudara-saudaraku, tetap setialah kepada bumi, dan jangan kalian percayai orang-orang yang berbicara kepada kalian tentang harapan-harapan yang melebihi bumi! Peracunlah mereka, entah mereka tahu entah tidak.
Pembenci kehidupanlah mereka, yang membusuk dan meracuni diri sendiri; dengan merekalah bumi jemu: maka enyahkanlah mereka!
Konon fitnah terhadap Tuhan adalah fitnah ternista; namun Tuhan telah mati, dan beserta ini pula pemfitnah-pemfitnah itu. Kini dosa terkeji adalah memfitnah bumi dan menilai bahwa hati yang dimiliki oleh yang tak bisa diketahui itu lebih tinggi daripada makna bumi! ...
Bahwasanya, selokan busuk ialah manusia. Orang harus menjadi laut, menerima selokan busuk tanpa menjadi najis.
Simaklah, kuajarkan Manusia Super kepada kalian: dialah laut itu; di dalamnya bisa terbenam kenistaan terbesar kalian. (TSZ Prolog §3)
Kemudian seseorang di kerumunan, yang tak sabar akan kata-kata aneh
Zarathustra, minta diperlihatkan “penari-tali” (makna Manusia Super) tersebut.
Zarathustra menanggapinya dengan mengatakan: “Manusia ialah tali yang
direntangkan antara binatang dan Manusia Super--tali di atas neraka.” Lalu
setelah dengan metafora ini Nietzsche menyiratkan gambaran manusia yang
terlihat di Gambar VIII.5, ia mengatakan, seusai percakapan Zarathustra lainnya,
bagaimana peniti tali-akrobat itu mulai beraksi, tetapi terganggu oleh orang
lain pada tali itu, yang, “seperti badut”, menyebabkan peniti tali-akrobat itu
jatuh ke tanah. Cerita tersebut berakhir dengan penuturan tentang bagaimana
Zarathustra membantu orang itu, yang terluka dan sekarat.
Manusia Super binatang
manusia
(neraka)
Walaupun kita
tidak mempunyai waktu untuk membahas penafsiran cerita tersebut dengan rinci,
setidak-tidaknya saya akan menambahkan bahwa dalam seksi pertama buku itu
sendiri, Nietzsche mengisahkan cerita tentang “tiga metamorfosis”: ruh berubah
menjadi unta, unta menjadi singa, dan singa menjadi anak. Jika kita
memperlakukan ini sebagai penyimbolan tiga tahap perkembangan manusia, bisa
dipakai argumen bahwa bagi Nietzsche, pandangan Dionisia (“singa”) bukan bagian
dari manusia ideal, melainkan hanya kompensasi yang diperlukan untuk
bias pandangan Apolonia (“unta”) kontemporer yang terlampau rasional. Manusia
ideal Nietzsche bolehjadi orang yang melampaui pembedaan antara Apolonia dan
Dionisia, dengan tidak mengambil pandangan unta yang berbasis budak atau pun
pandangan singa yang berbasis penguasa, tetapi pandangan anak yang
berbasis naluri.
Namun
demikian, aspek-akhir filsafat Nietzsche yang akan saya sajikan pada jam ini
adalah teorinya tentang perspektivisme. Nietzsche ialah filsuf pertama
yang menggunakan kata “perspektif” sebagai istilah teknis dalam berfilsafat.
Saya yakin bahwa [aspek] tersebut, sebagaimana mungkin telah anda perhatikan,
merupakan praktek yang amat bernilai bagi sang filsuf. Akan tetapi, bagi
Nietzsche, implikasi perkataan bahwa segala yang kita “ketahui” terbatas pada
suatu perspektif adalah bahwa pada aktualnya tiada fakta, selain
interpretasi. Memang, ia terlalu jauh menyarankan [proposisi] bahwa segala
sesuatu adalah palsu [kecuali proposisi ini sendiri]; dengan kata lain,
bahasa memalsukan kenyataan [kecuali proposisi ini sendiri].[3]
Dalam beberapa hal, pandangan ini serupa dengan Kant maupun Wittgenstein, di
samping dengan ide-ide dari banyak filsuf lain yang ingin membuat perbedan
antara yang-berada dan yang bisa dikatakan
tentang yang-berada. Tidak seperti Kant, tetapi seperti Wittgenstein, ia sangat
kritis terhadap semua teori metafisis (terutama dualisme).
Ini karena ia yakin, gagasan inti tentang “dunia sejati” yang melampauinya
adalah akar segala pandangan penyangkal-kehidupan. Penolakan secara
radikal terhadap semua kebenaran, metafisika dan sebagainya, merupakan suatu
segi dari sesuatu yang ia sebut “nihilisme”. Bagi nihilis sejati, tiada
pembatasan moral nyata sama sekali: semua nilai dapat ditolak lantaran
sia-sia [kecuali proposisi ini sendiri]. Dengan dipahami dengan cara ini, ada
suatu perdebatan mengenai apakah Nietzsche, yang tujuan hakikinya adalah
menjangkau Nilai Tertinggi (yakni Manusia Super), mesti disebut “nihilis”,
dalam arti sempit, atukah tidak.
Lantas apa
yang akan kita simpulkan perihal filsafat Nietzsche? Bagaimana tanggapan
kita terhadap dalih penerobosan moral yang bernafsu sedemikian itu? Bagaimana
bisa kita hadapi kritikan pedasnya tentang agama dan visi kealaman ilmiah
modern? Sudahkah manusia secara ironis “membunuh Tuhan” dengan akalnya
sendiri yang kurang-lebih oleh semua filsuf dari Sokrates hingga Kant diyakini
bisa mengarah kepada Tuhan melampaui kita sendiri? Bisakah kita
benar-benar menjadi Tuhan melalui kekuatan kehendak kita sendiri? Tentu
saja pertanyaan-pertanyaan itu dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang diangkat
oleh filsafat Nietzsche tidak bisa dijawab dengan cara yang memuaskan dalam
kuliah pengantar ini. Akan tetapi, saya ingin menunjukkan bahwa, yang
terpenting, tulisan Nietzsche diperkirakan merangsang suatu tanggapan.
Jika ide-idenya mengejutkan kita sehingga kita memikirkan kembali
seluruh sistem nilai dan keyakinan kita, Nietzsche akan mengakui tugasnya
sukses. Akhirnya, ia ingin mendirikan “aliran” pemikiran baru, yang disebut
“Filsafat Nietzschean”!
Dengan
mempertimbangkan hal itu, saya mempunyai beberapa komentar tentang ide-ide
Nietzsche. Pertama, sifat mitologis filsafatnya mestinya gamblang mengingat
fakta bahwa ia menolak untuk memperhatikan atau menerima segala tapal batas.
Dunia Nietzsche adalah dunia tanpa batas—atau sekurang-kurangnya batas-batas
itu bersifat manasuka dan tak bisa dipakai untuk menetapkan kebenaran. (Ini
sebagian karena fakta bahwa ia tidak mempunyai pengakuan yang jelas terhadap
perbedaan antara logika analitik dan sintetik.) Karena itulah saya sarankan
kita mengakui bahwa filsafatnya memulai suatu revolusi baru dalam alur filsafat
Barat (bandingkan Gambar III.3), dengan mengambil alih posisi Sokratesnya Plato
sebagai pondasi bagi suatu zaman filsafat baru, yang sering disebut
“pascamodernisme”. Kita akan memeriksa gerakan terakhir ini dengan lebih rinci
pada Kuliah 24.
Hal menarik
lainnya adalah bahwa pertalian antara Kant dan Nietzsche bisa dibandingkan
dalam beberapa hal dengan pertalian pada filsafat Cina kuno antara Konfusius
dan Chuang Tzu. Yang terdahulu itu [yakni Kant dan Konfusius] dalam setiap hal
menyusun suatu sistem filsafat besar-besaran yang berkembang di seputar prinsip
tindakan moral yang secara diam-diam diatur, sedangkan yang terkemudiannya
[yakni Nietzsche dan Chuang Tzu] dalam setiap hal mencoba menerobos cara ketat
khas penafsiran sistem itu, dengan hidup mengembara dan mendesak kita semua
agar berpedoman kepada “Jalan” nafsu yang sedikit-banyak merupakan esensi
kehidupan itu sendiri. Sayangnya, kita tidak mempunyai cukup waktu untuk
memburu pertalian sejajar tersebut dalam konteks matakuliah ini. Jadi, cukup
diperhatikan saja bahwa, sebagaimana Nietzsche, destruksi radikal Chuang Tzu
terhadap nilai-nilai tradisional sering membuatnya terlihat seperti seorang
nihilis; namun kita bisa terhindar dari kekeliruan ini dengan mengigat-ingat
bahwa Jalan tersebut berfungsi sebagai batasan yang tak terlukiskan,
walaupun nyata, bagi tindakan manusia.
Dalam hal ini
kita mungkin ingin bertanya: manakah yang sebenarnya merupakan
penyangkalan-kehidupan, penafsiran Nietzsche tentang manusia selaku salah
satu dari Apolonia murni atau Dionisia murni, ataukah pengakuan
terhadap ketegangan yang tak terelakkan antara dua aspek dari hakikat
manusia (sebagaimana dalam [pandangan] Kant)? Orang yang menyeberangi
tali-akrobat dan dengan sukses berubah menjadi Manusia Super (yakni menjadi pahlawan
Dionisia) akan sama-sama satu sisi dengan orang yang diam saja dan masih
puas dengan menjadi binatang belaka (yakni bagian dari ternak Apolonia).
Pada setiap situasi, jika kita mencoba untuk memandang kehidupan dengan
menggunakan salah satu dari pandangan-pandangan ini sendirian, tentu
saja kita akan berujung pada penyangkalan kehidupan: ini bisa digambarkan secara
visual dengan mencatat bahwa tali-akrobat [yang melambangkan] manusia
pada Gambar VIII.5 akan jatuh ke tanah jika salah satu dari bangunan
pendukungnya disingkirkan. Ini tentu saja menyiratkan bahwa satu-satunya
pandangan penegas-kehidupan sejati adalah yang mengakui bahwa manusia
itu Apolonia dan sekaligus Dionisia. Entah ketegangan antara cinta dan nafsu,
kesadaran dan kebawahsadaran, pengetahuan dan kebebalan, atau pasangan lawanan
Nietzschean lain apa pun, ketegangan itu sendirilah yang pada segala situasi
membuat kita tetap hidup. Memang, itu merupakan kehebatan dan sekaligus tragedi
kehidupan manusia: bahwa kita mampu mengambil risiko besar dalam perburuan
keidealan yang tinggi; dan namun demikian, bahwa kita tidak mampu mencapai
yang ideal itu tanpa lenyapnya kehidupan kita itu sendiri. Adapun kehidupan
yang baik, sebagaimana peniti tali-akrobat yang baik, ialah yang
menampilkan keseimbangan terbaik (umpamanya, dengan menggabungkan
[dua sisi] yang berlawanan).
Akhirnya, saya
harus menyebutkan bahwa Nietzsche menjadi gila selama sebelas tahun terakhir
kehidupannya. Usaha untuk menjelaskan penyebab kegilaannya mungkin hanya
masalah dugaan. Sebagian orang yakin bahwa itu merupakan akibat dari penyakit
fisik. Sebagian lainnya menafsirkan bahwa penderitaannya itu lantaran dia nabi
sejati, seolah-olah ia secara simbolis menerima hukuman semacam itu atas nama
orang-orang yang tidak bisa melihat kecenderungan manusia yang menuju
penghancuran diri sedemikian jelas. Ada pula yang menganggap bahwa nasib akhirnya
itu merupakan buah alamiah dari pandangan filosofisnya. Dalam hal terakhir ini,
“keteladanannya” tentu bisa berfungsi sebagai peringatan bagi siapa saja yang
hendak mencoba bereksperimen dengan suatu filsafat yang terpangkas dari
akar-akar alamiahnya, yakni [yang membuang] metafisika. Bagaimanapun, karena ia
gila, akhirnya penerbitan tulisan-tulisannya dan penyebaran gagasan-gagasannya
diambil alih oleh saudara Nietzsche. Sayangnya, ia menyelewengkan ide-idenya
sedemikian rupa sehingga Hitler mampu menggunakan gagasan-gagasan yang kelihatannya
seperti ide-ide Nietzsche sebagai dukungan filosofis bagi rezim politik
rasisnya sendiri. Filsafat politik, sebetulnya, akan menjadi fokus kuliah kita
pada pekan mendatang. Namun kita bisa mengakhiri jam kuliah ini dengan mencatat
bahwa gagasan yang dipakai oleh Hitler (dan lain-lain) itu kini biasanya
dipandang sebagai misrepresentasi bruto. Hal ini mengingat bahwa Nietzsche
bukan fasis anti-Semitik, melainkan benar-benar filsuf untuk dirinya
sendiri—seorang Sokrates baru (atau anti-Sokrates) kalau toh ada.
24. Perspektivisme: Pemugaran Tapal Batas
Barangkali
mitos yang dianggap (dan kadang-kadang dibela dengan argumen) paling lazim
dalam lembar mawas yang ditulis oleh mahasiswa saya terdahulu adalah pandangan yang
dikenal sebagai relativisme. Mahasiswa-mahasiswa sering mengklaim
tiada yang mutlak, walau segelintir berpikir dengan amat mendalam mengenai
implikasi pandangan semacam itu. Alasan-alasan yang pada khususnya dikutip
adalah bahwa tindakan-tindakan bisa benar di suatu situasi namun salah
di situasi lain, atau bahwa proposisi bisa benar di suatu konteks
tetapi salah di konteks lain, atau bahwa corak fisik yang dinilai indah
di suatu budaya bisa buruk di budaya lain. Sebagaimana yang terlukis
pada contoh-contoh ini, persoalan relativisme tidak hanya mengenai filsafat
moral, tetapi juga sedikit-banyak semua filsafat terapan. Bilamana suatu tapal
batas digariskan dan pilihan yang bijak dibuat mengenai apa yang berada di
dalam tapal batas dan apa yang mesti tetap di luar, akhirnya timbul persoalan
tentang apakah tapal batas itu “mutlak” (yakni tetap, atau benar dalam
segala hal, tanpa memperhitungkan konteks atau perbedaan masing-masing) ataukah
tidak. Pada kehidupan sehari-hari, sebagian besar persoalan tapal batas tentu
saja nisbi. Umpamanya, tiada prinsip mutlak yang memberi tahu anda tentang
haruskah atau di manakah seharusnya mendirikan pagar antara rumah anda dan
rumah tetangga anda; putusan semacam itu bergantung pada berbagai faktor
“nisbi”; umpamanya, hukum yang berlaku di distrik tempat tinggal anda, jenis
hubungan yang jalin dengan tetangga anda, perasaan anda tentang pagar, dan
lain-lain.
Persoalan
filosofis mengenai relitivisme bukanlah apakah sesuatu itu nisbi
ataukah tidak, yang tentu saja benar. Alih-alih, pertanyaannya adalah apakah segala
sesuatu itu nisbi atau, sebaliknya, apakah sebagian dari prinsip-prinsip
fundamental bisa mutlak. Dan pertanyaan ini tiada yang lebih penting daripada
[yang berada] di filsafat moral. Pekan ini kita telah menyaksikan bahwa
kecenderungan abad keduapuluh menuju relativisme itu banyak didapat dari (atau
sekurang-kurangnya diramalkan oleh) Nietzsche. Namun akar-akarnya sudah lama.
Pada 1651 saja, Thomas Hobbes menulis pada Bab 13 dari bukunya, Leviathan,
bahwa “filsafat moral tiada lain kecuali ilmu tentang apa yang baik, dan buruk,
dalam pembicaraan, dan masyarakat manusia; yang perangai, kebiasaan, dan
doktrin perikemanusiaannya berbeda-beda.” Dengan demikian, pembedaan antara
yang baik dan yang buruk dianggap sebagai masalah kebiasaan masyarakat belaka,
tanpa berakar pada prinsip moral mutlak yang mana pun. Lebih lanjut, Hume
mengemukakan bahwa pernyataan “seharusnya” tidak bisa dibenarkan dengan menilik
pernyataan “adalah” (THN 469-470). Contohnya, hanya karena aborsi adalah
praktek umum dewasa ini, bukan berarti bahwa itu seharusnya dipandang
“benar”. Jarak antara “adalah” dan “seharusnya” ini menjauhkan “ilmu” moral
dari pencapaian tingkat obyektivitas yang dituju oleh ilmu alamiah. Memang,
Hume menyimpulkan, dari tiadanya pengesahan empiris sama sekali bagi keyakinan
moral, bahwa itu hanya masalah kebiasaan (bandingkan Kuliah 21)—suatu pandangan
yang mengarah langsung ke bentuk-bentuk ekstrim relativisme.
Relativisme
kaku, yaitu pandangan [dengan proposisi] bahwa tiada pendapat [kecuali
proposisi ini sendiri] yang pada hakikatnya lebih baik daripada yang lain,
harus dibedakan secara jelas dari “perspektivisme”. Bagi Nietzsche, sebagaimana
yang telah kita lihat, perspektivisme berarti bahwa “semua hal adalah
palsu” [kecuali proposisi ini sendiri]. Namun demikian, jika kita
sungguh-sungguh mengambil [pandangan] itu, kita ditinggali pohon tanpa akar—dan
barangkali bahkan tanpa batang! Di sepanjang matakuliah ini saya mempertahankan
versi perspektivisme yang sangat berbeda. Sebagai ganti terhadap argumen yang
mengemukakan kekeliruan semua bahasa, bisa saja kita akui bahwa, dari sifat
perspektival semua pengetahuan (seperti yang diperagakan oleh Kant), setiap
perspektif yang dirumuskan dengan baik merupakan peluang untuk memperoleh kebenaran
di dalam tapal-tapal batas. Dengan demikian, contohnya, saya
mempertahankan filsafat mawas; di dalamnya kebenaran benar-benar berada, tetapi
[kebenaran] yang semacam ini hanya bisa diketahui di dalam tapal batas
pada suatu perspektif yang mencolok. Dengan cara ini kita dapat mengatakan
bahwa kebenaran itu nisbi, tanpa mengatakan bahwa ini semua hanya
menjadi pendapat pribadi: begitu kita sadari bahwa cinta akan kealiman
mensyaratkan, mula-mula dan terutama, pencarian perspektif yang tepat
bagi penafsiran pandangan-pandangan seperti kebenaran dan kebaikan, maka dan
hanya maka kita akan mampu menegaskan bahwa pendapat-pendapat (bahkan
kadang-kadang pendapat mayoritas) bisa salah! Maka daripada
mengatakan, bersama dengan Nietzsche, bahwa semua penafsiran tentang
alam adalah palsu, kita lebih baik menegaskan bahwa ada banyak penafsiran yang
bisa benar. Bahkan, bila dua pandangan tampaknya saling bertentangan,
kedua pandangan itu mungkin benar, jika pandangan-pandangan itu mengasumsikan
perspektif yang berlainan.
Tentang
pergerakan mutakhir filsafat Barat yang menengok kembali Nietzsche sebagai
bapak era “pascamodern”, “dekonstruksionisme” merupakan salah satu dari yang
paling berpengaruh. Dekonstruksionisme bermula sebagai metode penafsiran teks
sastra (bandingkan Kuliah 18), namun kini telah tumbuh menjadi aliran filsafat
khas, yang didasarkan pada asumsi bahwa alam tidak memiliki “struktur yang
mendalam” sama sekali, sehingga pencarian pondasi sesuatu apa pun
niscaya sia-sia dan kontraproduktif. Saya pikir pergerakan ini akan berumur
pendek karena, sebagaimana positivisme logis (bandingkan Kuliah 16),
mengupayakan tugas yang mustahil, yaitu menumbuhkan pohon tanpa akar. Walau
klaimnya benar bahwa keyakinan kepada pondasi-pondasi metafisis terlalu sering
digunakan untuk menutup kemungkinan penjelasan alternatif, dan karena itu bisa
disalahgunakan sebagai alat penindasan, para dekonstruksionis itu sendiri
praktis menutup kemungkinan komunikasi apa pun, dengan keyakinan
mereka bahwa tidak ada landasan umum yang bisa dipijak oleh kita semua. Karena
mereka banyak memusatkan perhatian pada penafsiran teks-teks klasik masa lalu,
tidak sedikit wawasan logis mereka yang terdapat dalam bentuk yang tidak
seekstrim itu dalam tulisan-tulisan filsuf yang lebih konvensional. Akan
tetapi, mari kita perhatikan beberapa ide yang dipertahankan oleh salah seorang
dekonstruksionis yang paling berpengaruh.
Jacques
Derrida (1930- ) ialah seorang cendekiawan kelahiran Aljazair yang mencurahkan
sebagian besar dari penulisan dan penghidupan profesional di Paris. Ia menarik
banyak perhatian selama sepertiga terakhir abad keduapuluh, lantaran gaya
penulisannya yang provokatif dan berwawasan luas. Karyanya yang paling populer,
Margins of Philosophy (1972), mengemukakan pembelaan dan penjelasan
yang paling rinci tentang corak utama pendekatan barunya terhadap filsafat,
“dekonstruksionis”. Derrida menolak sejumlah asumsi pokok yang dibuat oleh
filsuf-filsuf masa lalu (khususnya pandangan “strukturalis” yang sangat
berpengaruh di Perancis pada pertengahan abad tersebut), seperti: keunggulan
percakapan di atas penulisan; gagasan bahwa teks-teks mempunyai struktur
obyektif yang memberi suatu makna primer atau makna yang paling benar kepada
masing-masing; keyakinan bahwa penulis lebih memberi makna hakiki kepada teks
daripada pembacanya; dan sebagainya. Di tengah-tangah pandangan semacam itu ia
menunjukkan dengan tulisannya bahwa teks-teks memiliki banyak lapisan makna
sejati dan bahwa makna dari pembacanya sendiri mungkin sama sahihnya dengan
yang dimaksudkan oleh penulis. Malahan, ia menolak untuk memberi posisi
istimewa kepada teks-teks filosofis dalam hubungannya dengan tipe-tipe tulisan
lainnya; teks-teks [filosofis] itu sekadar bentuk sastra lainnya yang perlu
ditafsirkan dan dinilai secara kritis.
Selaku
kritikus sastra, Derrida menilai penulisan sebagai kategori utama segala
filsafat dan bentuk komunikasi verbal yang paling dasar. Esensi tulisan adalah
“permainan bebas” dalam bahasa, bukan komunikasi “makna” yang lebih dalam. Ia
mengatakan: “Tiada apa-apa di luar teks.” Daripada mencari suatu “makna sejati”
yang berbelit-belit, penafsir-penafsir seharusnya memandang bahwa tugas mereka
adalah bermain dengan teks tersebut sampai muncul suatu wawasan baru sebagai
hasilnya. Sebagian “trik” Derrida yang dipakai untuk membongkar teks-teks
klasik dengan cara ini adalah untuk mendapatkan suatu metafora dominan yang
menuntun jalan penggunaan dan pemahaman istilah-istilah kuncinya, untuk melacak
semua istilah semacam itu ke makna asli atau harfiahnya, untuk memusatkan
perhatian pada perbedaan antara sesuatu yang tampaknya merupakan makna
“gamblang” teks dan makna lain yang tersembunyi, dan untuk merambah berbagai
tipe interaksi (termasuk perbedaan suara, ejaan, dan lain-lain). Ia menciptakan
istilah “différance” untuk
mengacu pada interaksi itu, interaksi antara berbagai perbedaan, yang
menekankan bahwa kita hanya mampu memeriksa satu tipe perbedaan pada satu
waktu: tipe-tipe lainnya pasti “tunduk” pada [satu tipe perbedaan] yang menarik
perhatian kita pada suatu waktu tertentu. Untuk menemukan alternatif atau
metafora, makna, dan perbedaan dasar semacam itu—“différance” semacam itu—Derrida sering
memanfaatkan konsep dari psikologi-mendalam (depth psychology), yang mengemukakan
bahwa hubungan-hubungan bawah-sadar melekat di dalam teks. Dalam melakukannya,
tujuannya bukan membantah tafsiran “tradisional” teks, melainkan hanya
mencoba-coba berbagai interpretasi lain yang mungkin juga masuk akal.
Begitu yakin
Derrida bahwa penafsiran teks yang tepat harus selalu menyisakan suatu
pertanyaan tak terstruktur yang “terbuka”, sehingga ia mengklaim bahwa margin-margin
buku sama pentingnya dengan kata-kata yang tercetak. Margin-margin,
bersama-sama dengan semua ruang kosong antara kata-kata, merupakan “différance” yang mula-mula memungkinkan
pembacaan. Di satu sisi, margin-margin itu melambangkan hal-hal yang tak
tertulis, dan ini memberi tahu kita makna teks sebanyak yang tertulis. Di sisi
lain, bilamana pembaca menulis komentarnya sendiri di margin-margin itu, ini
menjadi bagian dari makna teks sebanyak yang dipikirkan oleh penulis asli.
Kendati
dekonstruksionisme tidak terbatas sama sekali pada teks-teks yang berkaitan
dengan persoalan filsafat moral, saat sekarang merupakan pekan terbaik untuk
membahas gerakan tersebut, karena gerakan itu cenderung menghasilkan gagasan
bahwa makna teks bersifat nisbi secara total. Adapun implikasi dari
relativisasi total itu yang dirasakan paling kuat adalah yang di bidang etika.
Derrida dan para dekonstruksionis lain berpandangan sedemikian jauh dengan
maksud mengklaim bahwa upaya apa pun untuk mendesakkan makna “sejati”, atau
untuk memandang bahwa suatu prinsip itu benar secara mutlak, merupakan cara
politis yang dipakai untuk “menindas” orang yang menganut pandangan lain.
Secara demikian, keseluruhan pergerakan tersebut mengambil nada moralistik yang
tidak berbeda dengan pandangan Nietzsche, sehingga upaya apa pun untuk
mendukung ide-ide tradisional terlempar ke reputasi-buruk. Pada faktanya, saya
pernah berada di suatu seminar yang dihadiri oleh seorang dekonstruksionis yang
mengemukakan bahwa suatu prinsip logika yang sederhana pun, semisal hukum
nonkontradiksi, bukan lain kecuali alat penindasan yang karenanya harus
ditolak! Seorang dekonstruksionis lain yang berpengaruh, Michel Foucault
(1926-1984), menerapkan ide-ide semacam itu dengan lebih rinci pada
persoalan-persoalan moral, khususnya yang berkaitan dengan seksualitas dan
penyakit mental. Namun daripada menimbang gagasannya atau gagasan orang lain
dalam hal ini, mari kita kembali saja kepada Kant dengan tujuan menarik
beberapa kesimpulan mengenai implikasi dari perspektivisme yang sehat
bagi kealiman moral.
Pada tafsiran
baku tentang Kant, seperti yang diasumsikan oleh Nietzsche, ia menganggap bahwa
imperatif kategoris dan barangkali juga kaidah tertentu yang disahkan oleh ini
(semisal “Jangan sekali-kali berkata bohong”) merupakan prinsip moral yang
mutlak. Akan tetapi, teori moral Kant tidak perlu ditafsirkan seketat itu. Ini
karena, sebagaimana ia menganggap bahwa segala sesuatu yang tampak dalam ruang
dan waktu (yaitu di alam) itu kontingen[4]
dan karenanya nisbi, sedangkan yang niscaya atau mutlak hanya yang
dikenakan pada alam oleh akal secara apriori (yakni sebagai tapal batas alam) saja,
ia pun mengakui kepatutan moral suatu tindakan tidak timbul dari akibatnya di alam
obyek-luar, tetapi dari sumbernya di alam motif-dalam
penyebabnya. Oleh sebab itu, teori moral Kant itu relativistik
sekurang-kurangnya dalam pengertian ini: tindakan yang sama bisa benar di suatu
situasi dan salah di situasi lain jika motivasi dasar masing-masing
berlainan. Tempat Kant berpisah dengan relativisme ketat, dalam teori moralnya
di samping dalam bidang filsafatnya yang lain, adalah keyakinan bahwa ada
prinsip-prinsip mutlak yang melandasi semua putusan “nisbi” sedemikian
itu. Prinsip-prinsip ini mutlak hanya dalam pengertian bahwa prinsip-prinsip
itu menentukan perspektif tertentu; namun kita bebas untuk mengambil
perspektif-perspektif yang berlainan untuk menafsirkan situasi apa saja yang
ada. Dengan cara ini, posisi Kant melampaui pondasionalisme yang secara naif
memegang kaidah moralitas tradisional seolah-olah prinsip-prinsip itu mutlak
dan sekaligus antipondasionalisme dari relativisme dekonstruksionis yang
mengganyang semua tapal batas. Alih-alih, perspektivisme Kantian mengakui tapal
batas sebagai “relatif tetap”—yaitu permanen hanya dalam hubungannya dengan
prinsip-prinsip yang menentukan masing-masing perspektif. Tak ada prinsip yang
benar dari semua perspektif, sehingga tiada yang kita kenal sebagai
“absolut secara mutlak”.
Kant memang
mengakui tingkat kenyataan yang melampaui prinsip perspektivismenya yang mutlak
secara nisbi. Namun sebagaimana yang kita lihat di Kuliah 8, ia memandang bahwa
kenyataan “terdalam” atau mutlak, yakni bidang “benda di dalam lubuknya”, tak
bisa diketahui. Bukannya sekadar mempertahankan moralitas “lama”, sebagaimana
klaim Nietzsche, perspektivisme Kant justru memberi kita alternatif ketiga.
Moralitas tradisional hidup dalam mitos bahwa seperangkat kaidah moral tertentu
(umpamanya kaidah-kaidah yang terdapat dalam Bibel) benar secara mutlak untuk
semua orang dan pada semua masa. Relativisme menerobos mitos ini dengan
mengemukakan bahwa, karena tiada yang mutlak, sesuatu bisa benar atau salah.
“Relativisme kultural” merupakan pandangan yang lebih spesifik bahwa setiap
budaya menetapkan tapal batasnya sendiri, dan bahwa benar dan salah pada
faktanya tiada lain kecuali norma-norma kultural. Namun jika demikian,
maka tak ada budaya yang bisa salah dan sulit dibayangkan bagaimana atau mengapa
suatu budaya akan pernah mengubah standar moralnya. Relativisme
Nietszche bukan kultural, karena ia jelas menuduh beberapa kebudayaan (yakni
yang Apolonia) rusak secara moral. Pandangannya mungkin cukup disebut
relativisme mutlak,
karena ia mengemukakan bahwa satu-satunya teori moral yang sehat adalah yang
menerobos semua batasan, kultural atau pun lainnya. Posisi Kant melampaui
relativisme dengan mendorong kita untuk kembali ke tapal batas moralitas
walaupun kita bebal akan kepastian tentang bagaimana kita mengikuti hukum moral
sepenuhnya pada suatu waktu tertentu. Bagi Kant, kita harus yakin bahwa ada
sesuatu yang mutlak, kendati kita tak dapat mengetahuinya secara pasti; hanya
bila kita dengan rendah hati menerima yang-mutlak yang tak bisa diketahui ini (this
unknowable absolute) sebagai
tapal batas yang menentukan realitas, kita akan mampu membuat putusan moral
yang merupakan putusan kita secara murni (yaitu bebas) dan namun juga
merupakan putusan moral secara murni.
Adanya moral
yang mutlak, meskipun dalam ertian tertentu berada di luar alam
tindakan kita, memiliki implikasi penting terhadap bagaimana kita memperlakukan
orang-orang yang tidak setuju dengan pendapat kita. Para relativis biasanya
mendorong kita selalu untuk toleran terhadap pandangan orang lain.
Tentu saja, toleransi pada umumnya merupakan sesuatu yang sangat baik. Ini
merupakan reaksi terhadap cara pandang kealaman lama, yang penuh dengan
pembedaan hitam-putih mutlak yang dipaksakan secara kaku kepada semua orang
lain. Atas nama kebenaran dan kebaikan mutlak, banyak orang di panggung sejarah
yang diserang, dipencilkan, dipenggal, dan dibakar di tiang bakar, hanya
lantaran berpegang pendapat yang berbeda dengan orang-orang yang secara politis
lebih berkuasa. Namun demikian, bahaya relativisme adalah bahwa pada hakikatnya
itu menimbulkan penghancuran pengetahuan dan sekaligus moralitas.
Dengan mengaburkan perbedaan antara benar dan salah atau antara baik dan buruk,
dewasa ini relativisme meyakinkan orang-orang untuk mengabaikan pedoman
terdalam yang disediakan oleh akal kepada kita untuk menetapkan kebenaran dan
kebaikan. Kalau begitu, haruskah kita “menjauhkan bayi dari air bak-mandinya”?
Kant akan menjawab “Tidak!” Toleranlah sampai suatu titik, namun jangan dengan
mengorbankan dua nilai tertinggi dalam kehidupan manusia. Perspektivisme
Kantian menyediakan alternatif bagi relativisme dengan mempertahankan bahwa ada
yang-mutlak rasional, dan bahwa, walaupun hal-hal yang-mutlak ini tak bisa
diketahui secara obyektif, akal praktis itu sendiri mengkomunikasikannya kepada
setiap orang, kendati kita hanya akan mendengar suaranya. Karena kebaikan dan
kebenaran memiliki landasan mutlak bukan pada tindakan dan obyek yang terdapat
di alam, melainkan
di suara rasional di dalam masing-masing individu, intoleransi masih bisa dilawan, tetapi tidak
sedemikian sistematis sampai menghancurkan kemungkinan pengetahuan dan
moralitas.
Kata kunci
Kant sendiri bagi prinsip dasar moralitas, yakni respek, pada aktualnya berkaitan dengan gagasan
utuh perspektif
dengan cara etimologis yang signifikan (sekurang-kurangnya dalam bahasa
Inggris). “Re-spect” adalah “memandang lagi”—memikirkan dua
kali sebelum menilai atau melakukan tindakan menurut keinginan diri sendiri. “Per-spect” adalah “memandang melalui (atau memandang dengan)” prakiraan yang diasumsikan pada
berbagai seluk-beluk yang dipertimbangkan. Menariknya, sekurang-kurangnya
seorang penerjemah menerjemahan kata Kant “einsehen”, yang secara harfiah bermakna “melihat
ke dalam”, sebagai “mawas” (to perspect),
sedangkan kata bendanya adalah “pemahaman” atau “wawasan” (in-sight). Ini secara akurat mencerminkan pertalian
yang erat antara perspektif dan wawasan. Jadi, karena sikap hormat (respecting) adalah untuk menghasilkan moralitas,
kita bisa mengatakan bahwa sikap mawas (perspecting) adalah untuk menghasilkan wawasan dan
juga filsafat pada umumnya.
Sebelum
menyimpulkan kuliah ini, saya ingin menyebutkan bahwa sebagian dari kalian
masih terjebak pada perangkap pengacuan pada diri-sendiri (lihat Kuliah 10) di
lembar mawas kalian. Sekarang, [mengingat] bahwa kita mempunyai pemahaman yang
lebih mendalam tentang perspektif dan bagaimana fungsinya dalam hubungannya
dengan mitos, saya harap kalian akan lebih mahir dalam menyatakan argumen
dengan lebih cermat. Dengan mempertimbangkan hal itu, biarlah kini saya beri
contoh lain tentang cara menangani persoalan filosofis tanpa terjatuh ke dalam
kesesatan itu. Pernah saya baca lembar [mawas] yang mengklaim “Kebenaran selalu
menyakitkan”, dan lembar lain yang berargumen serupa dengannya “Satu-satunya
waktu ketika kebenaran kita yakini adalah saat kebenaran itu menyakitkan kita.”
Klaim semacam itu mungkin benar dan bahkan bijaksana pada berbagai situasi manusia. Namun jika
kita hadirkan pengertian tersebut sebagai prinsip universal, maka itu tentu saja melanggar tes
pengacuan pada diri-sendiri. Sekadar mempercayai pernyataan “Kebenaran selalu
menyakitkan” tidak menyakitkan, di dalam lubuknya, bagi yang mempercayainya. Jika prinsip itu
benar, maka setidak-tidaknya terdapat sebuah kebenaran yang tidak menyakitkan!
Perspektivisme
Kant, pada interpretasi saya, unik dan unggul atas semua opsi lain yang telah
kita pertimbangkan, lantaran perspektivisme Kant mengemukakan bahwa setiap
bidang filsafat terapan benar-benar memiliki tapal batas yang tepat; tetapi tak satu
pun di antaranya yang mutlak, yaitu yang berlaku pada semua situasi. Sebagai
gantinya, kita bisa memilih untuk menancapkan seperangkat tapal batas pada suatu
situasi pada sebuah titik waktu, sehingga memperlakukannya sebagai situasi
moral. Sementara perspektivisme Nietzschean, sebagaimana dekonstruksionisme,
memandang bahwa sifat perspektival semua pengetahuan menjauhi kebenaran,
perspektivisme Kantian memugar (to reconstruct) hal-hal yang dinisbikan dengan mengakui
bahwa perspektif merupakan tapal batas penentu-kebenaran—atau dalam hal filsafat moral adalah
tapal batas penentu-kebaikan. Pernyataan itu, yang hanya pada sudut pandang moral tersebut merelatifkan
tindakan-baik, tidak mereduksi moralitas menjadi norma kultural atau preferensi
pribadi, tetapi mengangkatnya ke status keyakinan yang disahkan secara filosofis.
PERTANYAAN PERAMBAH
1. A.
Bisakah sebuah tindakan itu bebas dan
sekaligus ditentukan pada saat yang
sama?
B.
Adakah garis tapal batas yang mutlak
(yakni tak bisa berubah)?
..............................
..............................
2. A.
Bisa salahkah penilaian?
B.
Mungkinkah dua kewajiban tulen saling bertolak
belakang?
..............................
..............................
3. A.
Apakah tindakan “penyangkalan-kehidupan” benar
secara moral?
B.
Mungkinkah manusia membunuh Tuhan?
..............................
..............................
4. A.
Apakah penerobosan selalu baik?
B.
Benar-benar mungkinkah filsafat tanpa akal?
..............................
..............................
BACAAN ANJURAN
1.
Immanuel
Kant, Foundation of the Metaphysics of
Morals, Seksi Kedua, “Transition from the Popular Moral Philosophy to the
Metaphysics of Morals” (FMM 405-445).[5]
2.
Immanuel
Kant, Critique of Practical Reason,
Buku II, “Dialectic of Pure Practical Reason” (CPrR 106-148).[6]
3.
J.S. Mill, Utilitarianism, ed. Oskar Piest
(Indianapolis: Bobbs-Merril, 1957).[7]
4.
G.E. Moore, Ethics (New York: Oxford University
Press, 1965[1912]).
5.
Friedrich
Nietzche, The Joyful Wisdom, §125 (JW).
6.
Friedrich
Nietzche, Thus Spake Zarathustra,
Prolog (TSZ).[8]
7.
Friedrich
Nietzche, Beyond Good and Evil: Prelude
to a philosophy of the future, terj. R.J. Hollingdale (Harmondsworth: Penguin
Books, 1973).[9]
8.
Jacques
Derrida, “Différance”, Margins of Philosophy, terj. A. Bass (Chicago: University of Chicago Press, 1982), pp. 1-27.
Catatan Penerjemah
[1] Yaitu mengajukan “kenyataan hidup selepas kematian” dan “keberadaan Tuhan” sebagai asumsi-niscaya.
[2] Atau, dalam teks Inggris, “Neecha”.
[3] Kata-kata “kecuali proposisi ini sendiri” di antara tanda “[” dan “]” ditambahkan untuk mengatasi masalah mengacu-diri (lihat Kuliah 10).
[4] “Kontingen” berarti hanya benar dalam kondisi atau konteks tertentu.
[5] Untuk alternatif, lihat http://www.swan.ac.uk/poli/texts/kant/kantc.htm
[6] Untuk alternatif, lihat http://ethics.acusd.edu/Books/Index/Redirect/Kant/Practical_Reason_Redirect.htm
[7] Untuk alternatif, lihat http://www.vt.edu/vt98/academics/books/mill/utilitarianism
[8] Salah satu edisi Indonesianya diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, Yogyakarta, dengan judul Sabda Zarathustra. Untuk alternatif, lihat http://www.fordham.edu/halsall/mod/1891nietzsche-zara.html
[9] Untuk alternatif, lihat http://www.cwu.edu/~millerj/nietzsche/bge1.html
Send comments (in English)
to: StevePq@hkbu.edu.hk
Back to the Index of Pohon Filsafat.
Back to the English
version of The Tree of Philosophy.
Back to the listing of Steve Palmquist's published
books.
Back to the main map of Steve
Palmquist's web site.
This page was first placed on the web on 27 April 2003.