Pekan IX
Filsafat Politik
25. Kekuasaan dan Tapal Batas Politik
Di Bagian Tiga
ini kita telah belajar bahwa filsafat tidak hanya berkenaan dengan persoalan teoretis
abstrak yang berkaitan dengan metafisika, epistemologi, logika, dan penggunaan
bahasa, tetapi juga dengan persoalan praktis yang lebih konkret, semisal yang berhubungan
dengan ilmu dan moralitas. Baik filsafat ilmu maupun filsafat moral merupakan
cabang utama filsafat: keduanya menyediakan landasan bagi penerapan filsafat untuk persoalan
yang lebih praktis yang mengenai ilmu tertentu atau situasi etis tertentu. Di
pekan ini saya ingin kita membahas sebuah cabang kecil pohon filsafat, filsafat
politik. Pada aktualnya ada sejumlah bidang penyelidikan filosofis lain yang
bisa dimasukkan ke Bagian Tiga, kalau saja kita punya waktu. Namun demi maksud
kita, suatu pembahasan filsafat politik bisa berfungsi sebagai cara yang
memadai untuk melengkapi kajian kita tentang bagaimana menerapkan pemikiran filosofis dalam pencarian
kealiman kita.
Banyak di
antara filsuf yang telah kita telaah yang banyak membicarakan filsafat politik.
Contohnya, gagasan utama buku Plato yang paling panjang dan paling sistematis,
yang berjudul Republic, mengemukakan rencana rasional demi sistem politik ideal. Akan tetapi, ada
banyak segi dari usulannya yang tampaknya bagi pembaca modern kurang realistis
dan/atau ketinggalan zaman untuk dipertimbangkan dengan sangat serius. Saran
bahwa filsuf mesti dilatih untuk menjadi raja, misalnya, merupakan ide yang jarang, kalau
pernah, dipraktekkan. Salah satu pertimbangan filsafat politik Plato tampaknya
sedemikian jauh dari cara pikir kita sendiri mengenai politik sehingga
pemikiran politik modern banyak berakar pada ide-ide yang sangat berbeda yang
diajukan oleh murid cemerlangnya. Buku Aristoteles, Politics, juga mengandung beberapa contoh yang
relevansinya terbatas pada negara-kota Yunani kuno, yang merupakan sistem
politik perintis demokrasi modern; namun persoalan utama yang diangkat adalah
kepentingan abadi, yang dayaterapnya melampaui konteks historis aslinya.
Karenanya, pada kuliah ini kita akan melongok teks klasik filsafat politik ini.
Aristoteles
memandang politik bukan sekadar sebagai bidang opsional penyelidikan filosofis,
melainkan sebagai tugas esensial bagi filsuf mana pun, karena “manusia pada
hakikatnya ialah hewan politis” (AP 1253a(37)). Dalam Politics, Aristoteles menetapkan sesuatu yang
merupakan kota “terbaik”. (Kebetulan, kata Yunani untuk “kota” adalah polis, yang melahirkan kata “politik”.) Hal ini
menghajatkan dia untuk bukan hanya membahas ciri-ciri khasnya, melainkan juga
menganalisis sifat umum kota dan sistem-sistem politik (“politeiai”) yang berlainan yang bisa dipakai untuk
memerintah kota. Namun politeiai tidak hanya meliputi struktur pemerintahan
spesifik, tetapi juga “jalan-hidup kota” pada umumnya (1295a(133)). Walaupun
analisisnya sama sekali bukan kata akhir pada pokok bahasan tersebut,
pemeriksaan terhadap gagasan-gagasan Aristoteles bisa menyediakan suatu contoh
yang baik tentang berbagai cara penetapan tapal batas yang menentukan sistem
politik yang bisa diterima.
Arsitoteles
memulai kajian politiknya dengan mengklaim bahwa “setiap kota adalah bentuk
persekutuan ... untuk kepentingan kebaikan”, dan bahwa tugas filsuf politis
adalah “menyelidiki susunan kota” (AP 1252a(35)). Kemudian ia menunjukkan bahwa
beberapa keluarga menimbulkan desa, dan persekutuan antardesa menimbulkan kota.
Oleh sebab itu, persekutuan yang menyusun kota memerlukan kesepakatan tertentu antara “orang-orang yang serupa,
untuk kepentingan kehidupan yang merupakan kemungkinan terbaik” (1328a(209)).
Aristoteles tak pernah berpandangan bahwa sekutu-sekutu semacam itu harus sama
dalam segala hal,
tetapi bahwa baik kesatuan maupun keragaman harus eksis di antara sekutu-sekutu
dalam berbagai hal: “kota cenderung menjadi ada pada suatu titik ketika
persekutuan yang terbentuk oleh orang banyak itu swasembada” (1261a-b(55-57)).
Oleh karena itu, tujuan kota adalah
not [to be] a partnership in a location and for the sake of not committing injustice against each other and of transacting business. These things must necessarily be present if there is to be a city, but not even when all of them are present is it yet a city, but [the city is] the partnership in living well both of households and families for the sake of a complete and self-sufficient life. (1280b(99))
(bukan persekutuan lokasi dan untuk kepentingan yang tidak melakukan kelaliman satu sama lain dan [untuk kepentingan] transaksi bisnis. Hal-hal ini niscaya harus ada jika ada yang akan menjadi kota, tetapi bila semuanya ini ada itu belum juga menjadi kota, kecuali persekutuan hidup yang baik di antara baik rumahtangga maupun keluarga untuk kepentingan kehidupan yang swasembada dan lengkap.) (1280b(99))
Siapa saja
yang dapat secara aktif berpartisipasi dalam persekutuan politik yang membentuk
kota itu tergolong “warganegara”. Dengan demikian, Aristoteles mendefinisikan
warganegara sebagai siapa saja yang bisa memegang jabatan pemerintahan: “Siapa
saja yang berhak turut serta di jabatan yang mencakup perundingan dan keputusan
ialah ... warganegara kota ini; dan kota adalah besarnya jumlah orang-orang
semacam itu yang cukup dengan pandangan akan kehidupan yang swasembada” (AP 1275 a-b(87)). Berkongsi dalam
persekutuan politik kota mensyaratkan warganegara untuk bukan hanya menjadi
pengambil keputusan yang cakap, melainkan juga menjadi orang yang mau mematuhi
putusan-putusan yang dibuat oleh orang-orang lain. Arsitoteles menekankan
(1277b(92)) bahwa “warganegara yang baik harus mengetahui dan mempunyai
kemampuan untuk baik diatur maupun mengatur, dan hal inilah yang merupakan
keluhuran budi warganegara—pengetahuan tentang aturan pada orang-orang merdeka
dari kedua [sudut pandang].”
Dalam
pengertian ini, monarki, yang di dalamnya hanya ada satu orang yang mengatur, tidak mempunyai
warganegara; pada faktanya, secara teknis monarki itu tidak memiliki kota dan politik juga, lantaran tiada persekutuan antara yang setara
untuk tujuan mengatur dan diatur. Karena inilah Aristoteles kadang-kadang
membandingkan monarki dengan sistem yang ia sebut sistem politik “republikan”
(yakni non-monarkis): hanya yang terakhir inilah yang merupakan politeiai dalam arti sempit kata (walaupun
kadang-kadang ia menggunakan istilah ini secara longgar untuk mangacu pada
monarki juga), sehingga sistem republikan merupakan perhatian utamanya dalam Politics.
Salah satu
segi terpenting filsafat politik Aristoteles adalah bahwa, dalam pembahasannya,
ia menyusun kerangka yang mengandung enam tipe kemungkinan sistem politik.
Tipe-tipe itu dibedakan oleh perbedaan sumber wewenang dan kekuasaan yang memerikannya. Sesudah menegaskan
bahwa “unsur yang berwewenang” dalam sistem politik pasti “seorang atau lebih”,
ia menjelaskan perbedaan antara sistem politik yang “benar” dan yang merupakan
“penyimpangan” (AP
1279a(96)): “bila seorang atau beberapa atau banyak orang mengatur dengan
pandangan untuk kepentingan umum, sistem politik ini niscaya benar, sedangkan
yang dengan pandangan untuk kepentingan pribadi seseorang atau beberapa atau
banyak orang merupakan penyimpangan.”
Nama-nama yang
dipakai oleh Aristoteles untuk menandai masing-masing dari enam sistem tersebut
adalah sebagai berikut. Bentuk monarki yang benar disebut “kerajaan”. (Di
Yunani kuno, monos
berarti “sendirian” atau “tunggal”; archos berarti “pengatur”. Akhiran “-krasi” berasal dari
kratos, yang
bermakna “kekuasaan”.) Bentuk “pengaturan oleh beberapa orang” yang benar adalah “aristokrasi”,
yang bermakna bahwa pemerintahan dipegang oleh orang-orang terbaik
(aristos). Adapun “politi” (polity) merupakan bentuk pengaturan oleh mayoritas yang benar, walaupun Aristoteles juga
memakai istilah ini untuk mengacu dengan cara umum pada semua sistem politik.
Karena kadang-kadang ia membandingkan perbedaan politeiai dengan monarki, Aristoteles dalam konteks
ini mungkin memaksudkan politeiai untuk ditafsirkan dalam pengertian sempit ini;
secara demikian, klaimnya adalah bahwa semua sistem non-monarkis (yakni semua republik) bisa disebut politi. Dalam Nicomachean
Ethics (NE 1160a), ia menghindari penggunaan
[istilah] “politi” yang samar-samar dengan mengacu pada sistem politik ketiga
yang benar ini sebagai “timokrasi”, yang bermakna kekuasaan yang dipegang oleh
orang-orang yang memiliki properti (timema) sendiri. Malahan, ia terang-terangan menyatakan
bahwa istilah ini akan lebih disukai daripada istilah “politi”, walaupun yang
terkemudian ini lebih lazim di antara keduanya. Akan tetapi, catatan singkat
tentang timokrasi ini sulit dibedakan dari oligarki (lihat bawah); jadi, saya
akan mengadopsi istilah-istilah yang dipakai dalam Politics kendati mungkin bermakna ganda.
Aristoteles
juga memaparkan penyimpangan dari tiga bentuk sistem politik yang pada dasarnya
positif:
Deviations from those mentioned are tyranny from kingship, oligarchy from aristocracy, democracy from polity. Tyranny is monarchy with a view to the advantage of the monarch, oligarchy [rule] with a view to the advantage of the well off, democracy [rule] with a view to the advantage of those who are poor; none of them is with a view to the common gain. (AP 1279b(96))
(Penyimpangan dari yang disebut tadi adalah tirani dari kerajaan, oligarki dari aristokrasi, demokrasi dari politi. Tirani adalah monarki dengan pandangan untuk kepentingan kepala negara, oligarki dengan pandangan untuk kepentingan orang-orang kaya, demokrasi dengan pandangan untuk kepentingan mereka yang miskin; tak satu pun dari ketiganya yang berpandangan untuk perolehan umum.) (AP 1279b(96))
Mari sekarang kita periksa masing-masing dari enam sistem politik ini
dengan agak lebih rinci.
Dalam
pembahasannya tentang kerajaan, Aristoteles berhati-hati dengan menunjukkan
bahwa ada beberapa jenis raja. Pembedaan utama adalah antara yang wewenangnya
melampaui hukum dan yang harus mematuhi hukum. Sistem politik yang “raja”-nya
memerintah “menurut hukum” bukan kerajaan sejati; raja semacam ini lebih menyerupai
“jenderal permanen” (AP 1287a(113)). Kerajaan dalam pengertiannya yang sejati adalah “kerajaan
absolut”, yang rajanya ialah “orang yang memiliki wewenang atas segala masalah
..., dengan suatu penataan yang mirip manajemen rumahtangga” (1285b(110-111)).
Pada kerajaan, “sistem politik terbaik bukan yang didasarkan pada hukum dan
[aturan] tertulis”, karena raja yang baik akan mampu menilai secara adil
menurut keadaan situasi tertentu masing-masing, dengan dibimbing oleh prinsip-prinsip umum hukum, meskipun
penilaiannya tidak perlu ditetapkan oleh prinsip-prinsip itu (1286a(111)).
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles dalam AP 1284a(106-107): “Jika ada satu orang yang
amat menonjol dengan keluhuran budi yang berlimpah—atau sejumlah orang ...--...
orang-orang semacam itu tak bisa dianggap lagi sebagai bagian dari kota ...
[Ini karena] mereka sendiri merupakan hukum.” Lalu ia menunjukkan bahwa
“penolakan” merupakan nasib yang tak terhindarkan bagi orang-orang semacam itu
“dalam sistem politik yang menyimpang” (1284b(108)), biarpun dalam “sistem
politik terbaik ... orang-orang semacam ini akan menjadi raja yang permanen di
kota-kota mereka.”
Walaupun
secara teknis kerajaan merupakan sistem politik terbaik, Aristoteles lebih
menyukai aristokrasi karena beberapa alasan. Selalu ada bahaya bahwa orang yang
memegang semua kekuasaan akan berubah menjadi buruk, sehingga sistem terbaik
akan turun menjadi yang terburuk (yaitu tirani). Satu-satunya perlindungan
terhadap orang semacam itu yang dikuasai oleh hasratnya sendiri bagi dia adalah
menerima aturan hukum; jadi, “hukum—yang diberlakukan secara benar—inilah yang
seharusnya berwewenang”, bukan orangnya (AP 1282a-b(103)). Hakikat hukum adalah
sedemikian sehingga melindungi orang-orang terhadap bahaya perusakan yang bisa
disebabkan oleh nafsu mereka sendiri, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Aristoteles (1287a(114)): “Orang yang meminta untuk diatur oleh hukum ...
bersikap meminta diatur oleh yang baik dan [akal] intelek saja, sedangkan orang
yang meminta manusia [akan] menambah keburukan. Hasrat merupakan sesuatu yang
tergolong jenis ini; dan semangat itu menyelewengkan penguasa dan orang-orang
terbaik. Oleh sebab itu, hukum adalah [akal] intelek tanpa nafsu.”
Masalah lain
mengenai kerajaan dalam benak Aristoteles adalah bahwa bolehjadi ada lebih dari
satu orang manusia yang baik di kebanyakan kota, sehingga orang-orang baik yang
tidak dibolehkan untuk memerintah mungkin tidak puas dengan ketimpangan antara
mereka sendiri dan raja. Situasi yang tidak adil semacam ini hampir tak
terpecahkan oleh penggantian raja dengan aristokrasi, yang pemerintahnya ialah
pria-pria yang baik (AP 1286b(112)). (Mereka tak mungkin wanita-wanita yang baik karena, menurut Aristoteles,
wanita bahkan tak boleh menjadi warganegara!) Karenanya, Aristoteles
menyiratkan bahwa, ironisnya, semakin kurang berkuasa seorang raja (yakni
semakin tidak menyerupai raja sejati), semakin lama ia mampu melanggengkan
pemerintahannya (1313a(173)).
“Aristokrasi
... dalam beberapa hal merupakan oligarki” (oligos bermakna “beberapa”), karena pada
kedua tipe sistem politik itu “pengaturnya beberapa orang” (AP 1306b(159)).
Perbedaannya adalah bahwa, tidak seperti oligarki tipikal (yakni menyimpang)
yang pemerintahnya dipilih dengan hanya “atas dasar kekayaan”, pemerintah
aristokrasi dipilih “sesuai dengan keluhuran budi” (1273a(82)). (Bila kepemilikan
properti adalah tipe kekayaan
yang dipakai sebagai salah satu kualifikasi utama untuk memilih orang yang
diberi kekuasaan dan wewenang untuk memerintah dalam suatu oligarki (lihat
umpamanya 1279b(96)), sistem itu bisa juga disebut timokrasi. Salah satu cara melaporkan potensi
ambiguitas antara istilah “oligarki” dan “timokrasi” adalah mencatat bahwa
timokrasi akan menjadi politi jika nilai properti yang diperlukan untuk menjadi warganegara sangat
rendah, dan akan menjadi oligarki jika nilainya tinggi, karena hanya akan ada segelintir orang yang cukup kaya untuk menjadi
warganegara.) Oligarki biasanya buruk bagi suatu kota, karena tidak ada jaminan
bahwa pengatur-pengatur itu berbudi luhur (umpamanya dengan menjaga
kesejahteraan orang-orang miskin) hanya lantaran mereka kaya. Sebaliknya,
aristokrasi, menurut definisi Aristolteles, merupakan sistem politik yang
memberi kekuasaan dan wewenang pemerintahan kepada beberapa orang yang akan, dengan berbudi luhur, menjaga
kepentingan orang-orang yang bukan anggota kelompok yang memerintah.
Pembedaan yang
paling diperhatikan oleh Aristoteles dalam Politics adalah antara dua bentuk ekstrim
pemerintahan non-monarkis, yaitu oligarki dan demokrasi. Ini barangkali karena
dua sistem itu yang paling sering terdapat pada kota-kota historis nyata, baik
di Yunani kuno maupun di zaman modern. Contohnya, ia berkata, “hukum bisa
oligarkik atau demokratik” (AP 1281a(100)), dalam ertian bahwa “dalam sistem politik demokratik, rakyat
memiliki wewenang, sedangkan sebaliknya dalam oligarki, [wewenang] itu milik
segelintir orang” (1278b(94)). Dalam AP 1279b-1280a(96-97), ia menjelaskan:
oligarchy is when those with property have authority in the political system; and democracy is the opposite, when those have authority who do not possess a [significant] amount of property but are poor ... What makes democracy and oligarchy differ is poverty and wealth: wherever some rule on account of wealth, whether a minority or a majority, this is necessarily an oligarchy, and wherever those who are poor, a democracy. But it turns out ... that the former are few and the latter many ...
(oligarki adalah bila yang dengan properti memiliki wewenang dalam sistem politik; dan demokrasi adalah lawannya, bila yang mempunyai wewenang ialah yang tidak memiliki sejumlah properti [yang signifikan], kecuali sedikit sekali ... yang membuat demokrasi dan oligarki berbeda adalah kemiskinan dan kekayaan: bilamana suatu pemerintah berdasarkan kekayaan, entah minoritas entah mayoritas, ini niscaya oligarki, dan bilamana itu yang miskin, [maka ini] demokrasi. Namun terbukti ... bahwa yang kaya itu sedikit dan yang miskin itu banyak ...)
“Prinsip penentu aristokrasi adalah keluhuran budi” dan “yang oligarki
adalah kekayaan”, sedangkan prinsip penentu demokrasi adalah “mayoritas [orang
miskin] yang memiliki wewenang” (1310a(167)).
Demokrasi
adalah sistem politik yang di dalamnya persekutuan antara “rakyat awam” (démos) menetapkan bagaimana kekuasaan dan
wewenang didistribusikan di kotanya. Oleh sebab itu, ini dicirikan oleh tipe
“kemerdekaan” yang melibatkan [orang-orang] “yang diatur dan yang mengatur
menurut gilirannya” (AP 1317a-b(183)). Penataan pengaturan timbal-balik di
antara yang setara semacam itu “merupakan hukum” (1287a(113)). Sebagaimana
dengan kebanyakan sistem politik lain, Aristoteles membahas beberapa variasi
demokrasi, yang meliputi tipe yang di dalamnya “rakyat menjadi penguasa
monarki”, dalam pengertian bahwa “yang banyak itu mempunyai wewenang [hukum]
bukan selaku individu, melainkan selaku semuanya bersama-sama”
(1292a(125-126)). Dalam arti sempit sistem politik (yaitu yang tidak memasukkan
monarki), “jenis demokrasi ini bukan sistem politik. Ini karena bilamana hukum
tidak mengatur maka tidak ada sistem politik.”
Aristoteles
mengingatkan bahwa sistem politik terbaik bagi kota-kota tidak bisa ditetapkan lebih
dahulu: salah satu dari sistem-sistem itu (kecuali tirani) mungkin akhirnya
adalah yang paling tepat, segera sesudah situasi spesifik dipertimbangkan.
Jadi, umpamanya, ia menerima bahwa kadang-kadang kerajaan merupakan sistem
terbaik bagi suatu kota, walaupun pada umumnya “memiliki aturan hukum yang
dipilih menurut kesukaan oleh salah seorang warganegara” (AP 1288a(115-116)). Politi, sistem politik
yang sering lebih disukai oleh Aristoteles, merupakan jalan tengah antara
aristokrasi dan demokrasi. Namun dalam kasus politi pun, ia mengakui bahwa
“tidak ada yang bisa mencegah sistem politik lain untuk lebih menguntungkan bagi
[kota-kota] tertentu” (1296b(136)).
Politi adalah
sistem politik yang didasarkan pada “jalan tengah” (lihat umpamanya NE 1106a-1109b(65-75)), prinsip terkenal
dari Aristoteles mengajarkan agar kita selalu menghindari keekstriman; dalam
hal ini kita diberitahu bahwa “jenis kehidupan pertengahan adalah yang terbaik”
bagi kota dan sekaligus bagi individu (AP 1295a(133)). Dengan kata lain, politi adalah
sistem politik yang “kelas menengah”-nya, sebagaimana yang kini kita sebut,
merupakan mayoritas rakyat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk
memerintah dengan cara yang mencampur unsur-unsur tiga sistem republikan lainnya.
Campuran yang dipikirkan oleh Aristoteles ini mencakup kombinasi antara
demokrasi dan oligarki (dua keekstriman) sedemikian rupa sehingga unsur-unsur
ekstrimnya akan saling membatalkan: suatu politi mensyaratkan “percampuran
antara ... yang kaya dan yang miskin” (1293b-1294b(129-132)). Namun ini mungkin
juga mencampur unsur-unsur aristokrasi dan oligarki, sebagaimana politi
mensyaratkan “hukum yang mendistribusikan pejabat atas dasar keunggulan
[seperti dalam aristokrasi] sampai yang kaya [sebagaimana dalam oligarki]”
(1288a(116)). Bila kita baca perkataan Aristoteles bahwa jenis oligarki terbaik
“sangat dekat dengan yang disebut politi” (1320b(190)), kita harus
mengasumsikan bahwa oligarki yang baik ini pada aktualnya merupakan
aristokrasi. Ini karena aristokrasi dan politi adalah “pertengahan” yang baik
antara dua hal “ekstrim” yang buruk, yaitu oligarki dan demokrasi.
Dengan
mempertimbangkan hal itu, sekarang kita dapat memetakan hubungan antara empat
sistem politik republikan (non-monarkis), dengan menggunakan bagan alur
sederhana (seperti pada Gambar IX.1a) atau salib 2LAR (seperti pada Gambar
IX.1b) yang dilandaskan pada dua pertanyaan dasar berikut ini: (1) Apakah ada beberapa pengatur? dan (2) Apakah sistem itu baik (yakni “benar”)?
oligarki aristokrasi
(kekayaan) (beberapa, baik)
aristokrasi pertengahan
(bijak) politi demokrasi
(banyak, baik) (banyak, buruk)
politi hal ekstrim
(kelas menengah)
oligarki
demokrasi (beberapa, buruk)
(miskin)
(a) sebagai Bagan Alur (b) dipetakan pada Salib
Peta-peta ini membantu kita dalam melihat mengapa kadang-kadang praktis
Aristoteles menyamakan politi dengan aristokrasi (umpamanya AP 1286b(112)): sistem-sistem ini, sebagai
“pertengahan”, adalah baik bagi kebanyakan kota, sedangkan demokrasi dan oligarki, sebagai hal
“ekstrim” yang buruk.
Sistem politik
lainnya dalam kerangka Aristoteles adalah “tirani”. Secara teknis, ini
merupakan lawan (yaitu penyimpangan dari) kerajaan. Namun Aristoteles juga
menyebutnya “bentuk ekstrim demokrasi”, dan menambahkan bahwa sebagian dari
bentuk-bentuk oligarki dan demokrasi adalah “tirani”, yang terbagi di kalangan
orang banyak (AP
1312b(172)). Ia menjelaskan hubungan antara tirani dan dua sistem politik lain
yang menyimpang sebagai berikut:
Kingship accords with aristocracy, while tyranny is composed of the ultimate sort of oligarchy and of democracy--hence it is composed of the two bad political systems and involves the deviations and errors of both of them....
.... Having wealth as its end comes from oligarchy ..., as does its distrust of the multitude.... From democracy comes their war on the notables .. (1310b-1311a(168-169))
(Kerajaan sesuai dengan aristokrasi, sedangkan tirani tersusun dari jenis terdalam oligarki dan demokrasi—karenanya ini tersusun dari dua sistem politik yang buruk dan mencakup penyimpangan dan kekeliruan keduanya ...
... Kekayaan sebagai tujuan berasal dari oligarki ..., sebagaimana kecurigaan khalayak umum ... Dari demokrasi berasal perang besar ...) (1310b-1311a(168-169))
Ia lalu menjelaskan mengapa kerajaan mengandung risiko tirani yang tidak
berharga:
Kingships no longer arise today; if monarchies do arise, they tend to be tyrannies. This is because kingship is a voluntary sort of rule ..., but [nowadays] there are many persons who are similar, with none of them so outstanding as to match the extent and the claim to merit of the office. (1313a(173))
(Kerajaan tidak muncul lagi saat ini; jika monarki benar-benar muncul, monarki ini cenderung menjadi tirani. Ini karena kerajaan adalah jenis aturan sukarela ..., tetapi [dewasa ini] ada banyak orang yang serupa, tanpa ada yang sedemikian menonjol untuk sesuai dengan tingkat itu dan klaim untuk kebaikan jabatan itu.) (1313a(173))
Jika sekarang
kita tambahkan dua bentuk monarki pada empat bentuk sistem politik republikan,
kita dapat meletakkan keenam sistem itu bersamaan dalam bentuk bagan alur
melingkar, yang memungkinkan kita untuk melihat keseluruhan kerangka pada satu
kesempatan saja.
kerajaan terbaik
aristokrasi politi
lebih baik
sistem politik yang baik
jalan tengah
sistem politik yang buruk
lebih buruk
oligarki demokrasi
tirani terburuk
Dalam
bahasannya tentang revolusi politik, Aristoteles mengemukakan bahwa, walau
praktis setiap sistem dapat berubah menjadi suatu sistem lain, sistem-sistem itu cenderung “lebih
sering mengalami revolusi menuju lawanannya daripada menuju sistem politik
terdekatnya” (AP
1316a-b(179-180)). Dengan kata lain, revolusi lebih mungkin dipengaruhi oleh
logika internal pada hubungan antara sistem-sistem politik yang berlainan
daripada oleh faktor empiris pada tipe sistem yang berlaku di kota tetangga.
Dalam AP 1286b(112)), Aristoteles memerikan dengan
lebih lengkap bagaimana gerak maju sistem politik, sebagaimana yang
dilambangkan oleh tanda panah di Gambar IX.2, berjalan sendiri secara khas
dalam situasi-situasi historis nyata: sistem politik biasanya berawal dengan
kerajaan, berlalu menjadi aristokrasi atau politi, turun menjadi oligarki,
jatuh menjadi genggaman tirani, dan dibebaskan dari penindasan oleh demokrasi.
Walaupun gerak dari aristokrasi ke demokrasi “membahayakan sistem politik”
(1270b(76)), ia mengakui bahwa demokrasi merupakan sistem politik yang hampir
tak terelakkan, lantaran berfungsi sebagai perlindungan terbaik melawan tirani.
Namun Aristoteles mengharap fakta historis ini bisa diatasi oleh akal, sehingga
hal yang kurang ekstrim dari sistem yang benar-benar baik, politi, bisa menjadi
kenyataan, walaupun jarang terdapat di masa lalu. Peningkatan ini bisa juga
dipetakan pada segitiga 6CR (dengan beberapa anak panah yang ditambahkan)
dengan menempatkan tiga sistem “yang baik” pada segitiga yang menunjuk ke atas
dan tiga sistem “yang buruk” pada segitiga yang menunjuk ke bawah, seperti
dalam Gambar IX.3 (bandingkan Gambar V.8). Garis ke atas menuju politi adalah
putus-putus dengan maksud melambangkan sulitnya penerapan transisi pada sistem
ideal ini.
politi
oligarki tirani
kerajaan aristokrasi
demokrasi
Ikhtisar
kerangka kerja Aristoteles yang berharga untuk sistem politik dalam Buku VIII,
Bab 10 dari Nicomachean Ethics menambahkan beberapa hal tambahan yang perlu disebut dalam simpulan. Di
sini kerajaan diperlakukan sebagai opsi terbaik, karena siapa saja raja yang
benar-benar baik akan selalu mempunyai minat masalah terbaik dalam benaknya.
Karena ia memiliki kekuasaan dan wewenang mutlak atas semua rakyatnya, tak
seorang pun yang mampu mencegah raja dari pengejawantahan kehendak baiknya.
Kendati aristokrasi terdiri dari orang-orang “terbaik”, ini tidak sebaik
kerajaan, karena beberapa orang yang buruk lebih berkemungkinan untuk menyusupi
aristokrasi dan merusak pengatur lainnya yang baik. Adapun bila semua pemilik
properti dibiarkan untuk mempengaruhi cara pembentukan hukum dan penyebaran hak
di kalangan warganegara, kerusakan semacam itu bahkan lebih mungkin terjadi.
Aristoteles membandingkan
pertalian antara warganegara dan kota dalam tiga sistem politik yang baik ini
dengan tiga tipe pertalian keluarga. Dalam kerajaan, raja bagaikan ayah dan
warganegara bagaikan putra. Dalam aristokrasi, kelompok pengatur laksana suami
dan warganegara lainnya laksana istri. Adapun dalam timokrasi (atau politi),
pertalian antarpemilik properti itu seperti pertalian antarsaudara kandung.
Namun sebagaimana pertalian keluarga tidak selalu serasi, masing-masing sistem
politik ini bisa diselewengkan, sehingga kerajaan memunculkan tirani,
aristokrasi memunculkan oligarki, dan politi memunculkan demokrasi.
Sebagaimana
yang telah kita saksikan, kerajaan adalah pilihan yang risikonya terbesar,
karena “yang terburuk adalah kebalikan dari yang terbaik.” Oleh sebab itu,
ketika memilih suatu sistem politik, kita harus senantiasa memperhatikan bahwa
bila tujuan kita suatu sistem tertentu, kita mungkin justru berujung pada
kebalikannya. Karenanya, sebagaimana yang telah kita lihat, Aristoteles di
tempat lainnya membela politi (yakni timokrasi) sebagai pilihan teraman:
walaupun tergelincir menjadi demokrasi, efek negatifnya pada warganegara umum
hanya minimal, karena demokrasi adalah “yang paling sedikit keburukannya” dari
tiga sistem politik yang buruk. Dalam sistem “pemerintahan mayoritas”, kehendak
mayoritas berkemungkinan untuk dipengaruhi secara merugikan oleh motif
mementingkan diri sendiri dari rakyat yang buruk yang tinggal di masyarakat
mana pun, kendati dalam beberapa hal, ini akan diseimbangkan oleh motif-motif
yang baik dari rakyat yang bijak. Pada kuliah mendatang saya akan menyarankan
cara yang agak mengejutkan tentang penerobosan tapal batas politik sebagaimana
yang ditentukan oleh sistem Aristoteles. Kemudian kita akan menyimpulkan Bagian
Tiga dengan mempertimbangkan sitem politik apa yang paling alim bagi masyarakat
modern ketika kita memasuki milenium ketiga.
26. Teokrasi: Penerobosan Terdalam
Dewasa ini
kita sering mendengar betapa hebat demokrasi sehingga barangkali cukup
mengejutkan bagi kalian ketika kita belajar di kuliah terdahulu bahwa filsuf
sebesar Aristoteles memandangnya sebagai sistem yang buruk! Mengapa orang-orang yakin bahwa
demokrasi teramat baik? Sebagian besar dari kalian barangkali mengira: “karena
ini memberi kita kebebasan maksimal.” Namun mitos ini sangat meragukan. Demokrasi memberi
warganegaranya kekuasaan dan wewenang untuk memilih pejabat dan menetapkan
undang-undang. Jika Aristoteles benar, hasil nettonya mungkin buruk, karena
orang-orang yang baik barangkali merupakan minoritas. Dalam hal demikian ini,
orang-orang yang baik itu takkan mampu untuk menjalankan kontrol secukupnya
untuk menerapkan kebijakan yang benar-benar bijaksana bagi kota. Kisah Sokrates
dan Yesus merupakan dua contoh yang baik tentang bagaimana mayoritas cenderung
membuat putusan yang salah, mengingat keduanya dihukum mati sebagai akibat
langsung dari sesuatu yang menyerupai suara demokrasi. Kendati terdapat banyak
perbedaan antara kedua peristiwa ini (umpamanya Sokrates membela diri dengan
panjang-lebar, sedangkan Yesus tetap membungkam di depan penuduh-penuduhnya),
ada kemiripan yang mendasar. Pada kedua kejadian itu mayoritas orang dibolehkan
untuk menyuarakan pendapat untuk mengeksekusi kedua orang tersebut yang mereka
rasa akan lebih baik bagi kota mereka.
Dengan
memperhatikan hal itu, mari kita periksa lebih dekat bagaimana perbedaan
tingkat kebebasan yang
ditawarkan kepada warganegara oleh tiga pasang sistem politik Aristoteles.
Sering dikatakan bahwa tiada sesuatu yang merupakan kebebasan yang tak
terbatas: sesungguhnya,
kebebasan biasanya dibatasi oleh pengacuan pada beberapa pembatasan, seperti
pembatasan kesetiaan kepada penguasa, atau ketaatan kepada hukum, secara
sukarela. Jadi, pertanyaannya di sini, bagaimanakah masing-masing sistem
politik menggariskan tapal batas yang membatasi kebebasan warganegara? Raja memerlukan tingkat kesetiaan
yang tinggi dari rakyatnya, sampai batas bahwa mereka tak bisa dengan tepat
disebut “warganegara” sama sekali; namun pada gilirannya, raja yang baik itu
memberi rakyatnya tingkat kebebasan yang tinggi. Kehidupan sehari-hari mereka
tidak perlu dicampuri oleh hukum yang berlebihan selama mereka tetap setia
kepada raja. Kelas penguasa di suatu aristokrasi mensyaratkan tingkat
penghormatan dan kesetiaan yang lebih moderat, tetapi pada gilirannya
menawarkan tingkat kebebasan yang moderat juga. Lebih banyak hukum yang
dibutuhkan untuk mengendalikan kelas rendahan, dan hukum-hukum ini membatasi
kebebasan semua warganegara. Akhirnya, dalam suatu politi (atau timokrasi), dan
lebih-lebih dalam demokrasi, tingkat kebebasan warganegara pada aktualnya rendah
secara komparatif—kendati
keyakinan umum adalah sebaliknya. Mengapa? Karena dalam sistem ini terdapat
sedikit atau tiada kebutuhan bagi warganegara untuk setia atau penuh-hormat
kepada sesama warganegara; alih-alih, jaringan hukum yang kompleks harus
dilembagakan supaya warganegara yang lebih kuat tidak menzalimi warganegara
lain yang lebih lemah.
Dalam politi
atau demokrasi, hukum-hukum menyingkirkan kebebasan dan menggantinya dengan hak. Kerangka sistem politik Aristoteles
secara gamblang mengungkap bahwa pengorbanan kebebasan semacam itu merupakan
harga yang harus dibayar oleh orang-orang yang hendak meminimalkan risiko
tirani. Ini karena sistem yang terlalu membanggakan tingkat kebebasan yang tinggi bisa dengan cepat berubah menjadi
kebalikannya, yang sedikit atau tidak menawarkan kebebasan kepada warganegara,
tetapi yang meningkatkan kezaliman dan penindasan dari suatu tipe yang tidak
mungkin terjadi dalam demokrasi. (Pertalian berkebalikan antara kebebasan dan risiko adalah unsur pokok tabel yang tersedia di Gambar
IX.6, yang merangkum enam tipe dasar sistem politik, plus dua hal ekstrim yang
akan kita periksa pada jam ini.) Sebagaimana yang akan kita lihat di Kuliah 27,
terminologi Aristoteles kini agak ketinggalan zaman. Namun bagaimanapun, dengan
menyediakan kerangka kerja yang jelas demi pemahaman tentang bagaimana sistem
politik berjalan (apa pun sebutannya!), ia menunjukkan bagaimana kesetiaan kepada yang
berkuasa itu membentuk tapal
batas yang memungkinkan sistem politik yang memungkinkan kebebasan bagi warganegaranya.
Paradoks ini,
bahwa tingkat kebebasan yang tinggi hanya terwujud melalui pengorbanan hak-hak kita sebanyak-banyaknya kepada kekuasaan
yang lebih tinggi, berkaitan erat dengan sebuah masalah lain—yaitu yang pada
aktualnya merupakan tema yang agak umum di kalangan filsuf politik. Bahkan, ada
banyak matakuliah pengantar filsafat yang mencurahkan sebagian besar atau semua
kuliahnya pada filsafat politik untuk membahas masalah lain ini, yang dihasilkan oleh konflik antara
kebebasan dan kesetaraan. Baik kebebasan maupun kesetaraan merupakan contoh
khas sesuatu yang dianggap ideal yang mestinya menentukan ciri sistem politik
yang baik (dan yang dewasa ini biasanya berarti “demokratik”). Namun jika setiap
orang itu bebas sepenuhnya
untuk melakukan hal yang mereka senangi, maka akan ada begitu banyak ketimpangan: yang kuat cenderung menguasai yang
lemah; yang kaya cenderung meminggirkan yang miskin; yang berkuasa cenderung
melecehkan yang lemah; dan sebagainya. Negara ekstrim tanpa pengatur (dan tanpa aturan) semacam itu disebut “anarki”.
Sebaliknya, negara dengan kesetaraan total antara setiap orang hanya bisa terjadi
melalui penyingkiran kebebasan orang-orang tersebut. Novel terkenal karya B.F. Skinner, Walden
Two, menyediakan contoh yang
baik tentang opsi ini. Masyarakat ideal yang ia bayangkan adalah yang
pengkondisian psikologisnya digunakan untuk menetapkan pertalian antara setiap orang, sehingga
rakyat tinggal di negara dengan kesetaraan yang serasi, meskipun mereka tidak
memiliki kebebasan.
Untuk
menanggapi masalah konflik antara kebebasan dan kesetaraan itu, ada dua cara
yang amat berlainan. Cara pertama mengupayakan kompromi. Inilah pilihan yang
diambil oleh sistem politik demokratik (yaitu, dengan meminjam istilah Aristoteles,
“republik” [lihat Gambar IX.1]). Tentu saja ada banyak cara lain yang berbeda
untuk meyakinkan betapa baik kompromi tersebut. Umpamanya, para sosialis
melakukannya dengan pengetatan kontrol pemerintahan terhadap perekonomian, sehingga mengurangi
ketimpangan dengan mengurangi tingkat kebebasan, sedangkan para libertarian
melakukannya dengan pelenyapan kontrol pemerintahan semacam itu dan penaruhan kepercayaan kepada kekuatan
ekonomi alamiah yang akan mengatur tingkat perubahan kebebasan dan sekaligus
kesetaraan.
Tanggapan
kedua terhadap masalah tersebut adalah menolak kompromi, atas dasar bahwa yang
dibutuhkan adalah penerobosan. Inilah opsi yang dipilih oleh sistem politik utopia. Contohnya, komunisme, dalam bentuk
Marxis aslinya, merupakan filsafat politik yang mengklaim bahwa ada kemungkinan
terdapat masyarakat yang individu-individunya menikmati tingkat kebebasan dan
kesetaraan yang tertinggi. Karl Marx (1818-1883) yakin bahwa kerja adalah faktor terpenting yang memberi makna kepada seorang manusia, karena kita ialah
apa yang kita lakukan. Marx melihat bahwa dalam masyarakat
kapitalis pada zamannya, pekerja-pekerjanya terasingkan dari produk jerih payah
mereka oleh pengusaha rakus, yang memanfaatkan pekerja sebagai obyek, sebagai
alat pencetak uang. Ia menyatakan, sekiranya orang-orang bangkit dan memberontak
melawan ini dan perlakuan buruk
lainnya akibat kapitalisme, suatu masyarakat baru akan tiba. Pandangan Marx
tentang masyarakat komunis sempurna antara orang-orang ini adalah masyarakat
yang di dalamnya setiap orang memberi kerja “menurut kemampuan mereka”. Sayangnya, abad
keduapuluh memberi kita bukti yang berlimpah bahwa karakter dan motivasi
orang-orang yang memberontak melawan kezaliman tidaklah semurni yang diimpikan
oleh Marx. Komunisme adalah sistem politik yang gagal karena alasan yang sama
dengan alasan yang diyakini oleh Marx bahwa demokrasi gaya-kapitalis telah
gagal: pada kedua kasus itu, ironisnya, semakin keras usaha orang-orang untuk
membawa kebebasan dan keadilan menuju tangan diri mereka sendiri, mereka
semakin menjadi budak kezaliman yang mereka ciptakan!
Terdapat
begitu banyak model masyarakat utopia lain; namun pada jam ini saya akan
memusatkan perhatian istimewa pada sebuah alternatif untuk komunisme yang
jarang diakui sebagai sistem politik yang laik, bahkan juga oleh orang-orang
yang mengira meyakininya. Ini merupakan pandangan utopia yang cukup berbeda
dengan negara komunis-nya Marx atau pun Manusia Super-nya Nietzsche; karena ini
merupakan pandangan bahwa tujuan bumi itu ditentukan dan dikendalikan bukan oleh orang-orang yang menerobos batas-batas pandangan
penyangkal-kehidupan yang asing, melainkan oleh Tuhan yang menerobos lubuk hati manusia yang paling
dalam. Sebagian besar orang-orang religius bukan hanya yakin bahwa Tuhan ada
dan bahwa kita, entah bagaimana, dapat berkomunikasi dengan Tuhan, melainkan juga bahwa Tuhan
mempunyai rencana
bagi dunia ini—rencana yang pemenuhan hakikinya tidak bisa dicegah dengan
segala ikhtiar-balik pada peran manusia. Sebagian besar orang-orang religius
yakin rencana ini terbatas pada alam “spiritual”, dan bahwa pada alam
“material” yang berupa (umpamanya) ekonomi dan politik, sistem manusia bisa
berfungsi secara cukup terpisah dari rencana ilahi ini. Akan tetapi, para
pemikir keagamaan yang paling mendalam (dan kebanyakan secara filosofis) selalu
menegaskan bahwa pembedaan artifisial semacam itu tidak sah. Jika ada Tuhan
beserta rencana-Nya, maka rencana ini berhubungan dekat dengan kegiatan politik
seluruh masyarakat sebagaimana dengan kegiatan pribadi individu di dalam
masyarakat yang ada.
Nama terbaik
bagi ide bahwa aturan Tuhan tidak hanya berlaku pada beroperasinya kekuasaan
ilahi di hati manusia, tetapi juga pada beroperasinya kekuasaan tersebut di
ruang pengadilan dan pasar, adalah “teokrasi” (dengan theos yang berarti “Tuhan” dan kratos yang berarti “kekuasaan”). Sayangnya
istilah ini sering dipakai di masa lalu untuk mengacu pada ide yang dikira
serupa yang pada aktualnya bertolak-belakang dengan teokrasi dalam bentuknya
yang murni. Secara tradisional, sistem politik disebut “teokrasi” jika suatu
kelompok religius (semisal gereja) menganggap diri sendiri sebagai juru bicara Tuhan di bumi,
sehingga kebijakan apa pun yang dirumuskan oleh pemimpin-pemimpinnya harus
diterima oleh orang-orang itu sebagai perintah langsung dari Tuhan. Untuk
membedakan penggunaan istilah “teokrasi” secara tradisional ini dari
[pengertian] yang ketepatan maknanya saya yakini, saya menciptakan istilah
“eklesiokrasi” untuk mengacu pada segala sistem politik yang kekuasaannya
digunakan oleh pemimpin “majelis” (ekklesia) orang-orang religius. Contoh khas eklesiokrasi adalah bangsa Israel selama periode yang
menyertai Ezra dan Nehemiah (yaitu sesudah kembali dari pengasingan Babilonia),
sebagian besar dari Eropa selatan selama masa Kekaisaran Romawi Suci, dan kota
Jenewa selama bagian terakhir dari kehidupan John Calvin.
Alasan
pentingnya pembedaan antara eklesiokrasi dan teokrasi tulen adalah bahwa,
walaupun teokrasi sebenarnya merupakan pandangan tentang “kerajaan Tuhan di
bumi” yang mestinya oleh orang-orang religius dianggap sebagai yang terbaik
dari semua sistem politik yang mungkin ada, eklesiokrasi adalah penyelewengan
terhadap idaman hakiki yang
membodohi banyak kaum-beriman yang polos. Malahan, sebagaimana yang kita
pelajari dari Aristoteles, penyelewengan terhadap sistem yang pada hakikatnya
baik itu pada hakikatnya merupakan sistem yang buruk. Eklesiokrasi menyelewengkan teokrasi dengan
menggantikan aturan otonom Tuhan di hati setiap individu dengan versi keagamaan
dari salah satu sistem politik yang berasal-usul dari manusia tersebut. Ini
berarti, seorang manusia, atau lebih, akhirnya menggunakan kekuasaan atas
anggota-anggota majelis religius yang awam, dengan memakai nama Tuhan sebagai
garansi keaslian. Namun demikian, ini merupakan tragedi agama manusia: bahwa
dalam upaya membawa orang lain menuju Tuhan, ada banyak penganut agama yang
akhirnya menghalangi orang lain dari menerima kekuatan yang sangat spiritual yang hendak mereka
anjurkan. Sungguh, ini terjadi manakala seseorang membebankan seperangkat
standar kepada orang lain, dengan mengklaim bahwa Tuhan berbuat hanya
dengan cara khusus ini,
sehingga semua orang yang tidak bersesuaian dengan konsepsi khusus tentang
“Jalan Tuhan” ini akan ditolak oleh Tuhan.
Salah satu di
antara banyak masalah lantaran sikap serba-terlalu-umum terhadap keyakinan
keagamaan adalah bahwa ini berasumsi bahwa kita manusia pada aktualnya dapat memahami
Tuhan; sebaliknya, teokrasi
hanya menganggap bahwa untuk mengikuti rencana Tuhan, seorang manusia harus
berkehendak untuk dipahami oleh Tuhan. Ini biasanya berarti kita bebal perihal Jalan Tuhan sampai saat terungkap
secara aktual di hati kita masing-masing. Saya yakin bentuk “murni” teokrasi
ini tersaji di keseluruhan Bibel (dan di Kitab-Kitab dari banyak agama dunia
lainnya, walau bentuknya tidak semurni itu) sebagai sistem politik aktual. Perbedaan tepatnya antara
teokrasi dan semua sistem politik lain (termasuk eklesiokrasi) sesungguhnya
adalah bahwa teokrasi sajalah yang melepaskan semua hak manusia untuk memerintah diri mereka
sendiri, dengan mengakui Tuhan selaku satu-satunya pemerintah sejati. Dengan
pengertian ini, teokrasi bisa disebut “sistem politik non-politis”, asalkan
kita mengerti bahwa frase tersebut harus ditafsirkan dengan menggunakan logika sintetik. Filsafat politik yang disebut anarki
(yakni “tanpa pengatur”) pada
aktualnya ada kesamaannya dengan teokrasi dalam hal gagasan bahwa orang-orang
hanya melestarikan kelaliman bila mencoba menggunakan hukum untuk memerintah diri mereka; akan tetapi,
karena ini menolak semua aturan, ini tak bisa dengan tepat disebut sistem politik begitu saja. Dipandang dari
perspektif orang yang tidak percaya kepada Tuhan, teokrasi sulit dibedakan dari
anarki. Tentu saja, perbedaannya adalah bahwa para teokrat percaya kepada
prinsip pedoman umum yang menyatukan setiap orang bersama-sama secara
diam-diam, sedangkan pada para anarkis tiada yang tinggal selain keragaman yang
tak terbatas dan pergulatan yang tak terpecahkan antara kehendak-kehendak yang
berlawanan.
Dalam Bibel,
sebagaimana dalam literatur agama lainnya, kerajaan Tuhan disajikan sebagai
sesuatu yang tiba-tiba muncul, dengan menduduki alam keadilan insani dengan
keadilan ilahi yang tak bisa diprediksikan atau pun dipahami dengan
kategori-kategori insani. Invasi ilahi ini terutama terarah menuju hati manusia; namun demikian, sebagaimana yang
dijelaskan di Perjanjian Baru dengan banyak cara, tanggapan orang terhadap perubahan ini seharusnya
tidak sekadar pada bagian dalam, tetapi harus memperbaharui semua segi
kehidupan orang tersebut. Penderitaan Yesus pada khususnya harus dipandang
sebagai jenis penderitaan yang politis seluruhnya, yang terkait langsung dengan
penolakan radikalnya terhadap segala alat manusia yang digunakan untuk mencapai
keadilan di bumi. Pesan salib dan kebangkitan kembali adalah pesan teokratik: hanya bila kita meninggal demi cara insani kita dalam memerintah
diri sendiri, maka kita akan membiarkan Tuhan merembesi kita dengan kehidupan
baru yang berciri keadilan
ilahi. Perbedaan tajam antara gagasan ini dan gagasan Manusia Super ala
Nietzsche menyiratkan bahwa kita dapat menyebut cara pemecahan masalah
kelaliman manusiawi ini “transvaluasi nilai ilahi”. Bagaimana keadilan Tuhan menerobos semua bentuk
keadilan insani (termasuk yang dianut oleh pendukung eklesiokrasi), yang
memberi makna baru kepada kata-kata seperti “kesetaraan” dan “hak”, itu
dilukiskan dalam Gambar IX.4.
keadilan ilahi
teokrasi
eklesiokrasi
keadilan insani
Ada banyak
implikasi teokrasi, sebagai sistem politik, yang terlalu rumit untuk dibahas di
sini. Akan tetapi, saya akan menyebut salah satu implikasi yang paling
signifikan: sistem ini menolak ide, yang begitu sering diambil begitu saja di
budaya Barat modern, bahwa kita mempunyai hak asasi, seperti hak atas “kehidupan, kebebasan,
dan kebahagiaan”. Menggantikan asumsi tersebut, sistem ini mengklaim bahwa hak
asasi manusia seharusnya jangan diakui sebagai sesuatu selain hadiah dari Tuhan. Hanya jika kita mengakui
bahwa tidak mempunyai hak atas kita sendiri, dan karenanya kita berutang kesetiaan
mutlak kepada Tuhan, maka kita
akan diberi kebebasan mutlak. Dalam Bibel, kebebasan ini tidak hanya spiritual, tetapi juga politis sepenuhnya. Oleh sebab itu, teokrasi
bertolak belakang dengan demokrasi; lantaran demokrasi menekankan hak asasi manusia sebagai tukaran untuk pembatasan yang ketat terhadap kebebasan kita. Akan
tetapi, teokrasi tidak menghajatkan penghancuran sistem-sistem lain. Teokrasi justru bisa
berdampingan dengan apa pun dari enam sistem Aristoteles (termasuk demokrasi). Kebebasanlah yang
ditawarkannya yang berawal di hati manusia, dan melepaskan kelekatan kita
dengan segala sistem politik terbatas yang dibuat oleh manusia yang
mengendalikan kehidupan kita.
Fakta bahwa
teokrasi paling sering dipaparkan di Bibel dengan istilah kerajaan menyiratkan bahwa inilah yang dipandang
paling tepat sebagai tipe sistem politik monarkis, bukan yang republikan. Sesungguhnya, jika kita perhitungkan
teokrasi dan selewengannya, yaitu eklesiokrasi, bersama-sama dengan dua bentuk
sistem politik monarkis Aristoteles, yaitu kerajaan dan tirani, kita dapat
melukiskan pertaliannya sebagai 2LAR sempurna, yang timbul dari dua pertanyaan:
(1) apakah sistemnya religius? dan (2) Apakah sistemnya baik (atau “benar”)? Sebagaimana teokrasi yang
merupakan bentuk religius kerajaan (dengan Tuhan selaku raja), eklesiokrasi adalah bentuk religius
tirani. Oleh sebab itu, dua peta sama yang dipakai di Gambar IX.1 untuk
memerikan hubungan antara empat sistem politik republikan bisa digunakan untuk
memetakan hubungan antara empat sistem politik monarkis:
eklesiokrasi teokrasi
(Tuhan palsu) (religius, baik)
teokrasi pertengahan
(Tuhan sejati) kerajaan tirani
(nonreligius, baik) (nonreligius, buruk)
kerajaan hal ekstrim
(orang baik)
eklesiokrasi
tirani (religius, buruk)
(orang buruk)
(a) Sebagai Bagan Alur (b) Dipetakan pada Salib
Gambar IX.5a menunjukkan bagaimana eklesiokrasi merupakan bentuk ekstrim
teokrasi, sebagaimana olegarki merupakan bentuk ekstrim aristokrasi.
Selanjutnya, sebagaimana kerajaan merosot menjadi tirani, teokrasi merosot
menjadi eklesiokrasi bila peran yang hanya tepat bagi yang ilahi dirampas oleh
manusia. Dalam pengertian ini, eklesiokrasi adalah bentuk asal semua tirani,
karena penindasannya secara spiritual dan sekaligus secara fisikal.
Dengan
meletakkan salib 2LAR di sini pada Gambar IX.5b bersama-sama dengan korelasi
republikannya di Gambar IX.1b, kita sekarang dapat menyusun 3LAR sempurna. Tiga
pertanyaan yang menelurkan perangkat lengkapnya yang berupa delapan sistem politik yang nirmustahil
adalah: (1) Apakah sistemnya monarkis? (2) Apakah sistemnya religius atau diatur oleh sedikit orang? (3) Apakah sistemnya baik
(atau “benar”)? Delapan sistem
ini bisa dipetakan pada salib ganda (yaitu sepasang salib konsentris, dengan salah
satunya diputar dengan sudut 45º dari yang lain). Namun sebagai ganti pelukisan
gambar serumit itu di sini, saya menyediakan sebuah ikhtisar yang lebih rinci
tentang pertalian antara delapan sistem dalam tabel yang tersaji di Gambar IX.6.
Tabel ini mendaftar delapan tipe sistem politik dari yang terbaik ke yang
terburuk, bersama-sama dengan unsur 3LAR yang bersesuaian dengan masing-masing.
Kolom kedua memberi deskripsi tunggal tentang bagaimana nama setiap sistem itu
diturunkan dari kata kunci Yunani yang mengacu pada sumber kekuasaan politiknya. Kolom ketiga dan keempat
membandingkan tingkat risiko, kebebasan, dan hak asasi yang disediakan oleh
setiap sistem. Adapun kolom kelima meringkas dan mengembangkan analogi
Aristoteles antara pertalian negara-warganegara dan pertalian antara berbagai
anggota keluarga.
Tipe logis sistem politik |
Sumber wewenang “kekuasaan” [kratos] dan “aturan” [arche] |
Tingkat risiko dan kebebasan |
Tingkat hak asasi |
Analogi keluarga (warga/negara) |
Teokrasi (+++) |
Pengalaman ketuhanan [theos] setiap orang |
mutlak |
tiada |
Orang/diri (sehat) |
Kerajaan (+-+) |
Satu orang yang baik |
tinggi |
rendah |
Putra/ayah yang baik |
Aristokrasi (-++) |
Kelas elit orang “terbaik” [aristos] |
sedang |
sedang |
Istri/suami yang baik |
Timokrasi atau Politi (--+) |
Semua pemilik “properti” [timema] atau kelas menengah |
rendah |
tinggi |
Adik/kakak |
Demokrasi (---) |
Semua warganegara “umum” [demos] |
rendah |
tinggi |
Saudara kembar |
Oligarki (-+-) |
Beberapa “gelintir” [oligos] orang kaya |
lebih rendah |
sedang |
Istri/suami yang buruk |
Tirani (+--) |
Satu orang yang buruk |
sangat rendah |
rendah |
Putra/ayah yang buruk |
Eklesiokrasi (++-) |
“majelis” [ekklesia] orang-orang religius |
terendah |
amat rendah (tiada) |
Orang/diri (tak sehat) |
Kebenaran atau
kesalahan teokrasi bukan sesuatu yang bisa ditunjukkan dengan bukti filosofis
atau ilmiah apa pun. Alih-alih, ini harus diterima sebagai “mitos”, dalam
pengertian khusus yang diperkenalkan di Kuliah 3, sebagai kebenaran yang begitu benar sehingga ini pun tak bisa
dipertanyakan oleh orang-orang yang hidup dengan cahaya bimbingannya. Ini tidak
berarti bahwa tidak
ada alasan untuk
percaya kepada teokrasi. Dengan melangkah menuju mitos ini, kita justru akan
menemukan Tuhan yang mendobrak kehidupan kita dalam pengalaman konkret yang nyata, yang kesahihannya
hampir tak bisa diragukan. Namun lantaran alasan ini—yakni karena teokrasi
tidak bisa disahihkan oleh ilmu dan oleh cinta kealiman, tetapi hanya oleh
pengalaman dan oleh takjub berkeheningan—saya akan menghindari pembahasan tema
religius pandangan ini lebih lanjut dalam hal ini; alih-alih, kita akan kembali
ke topik pengalaman keagamaan pada Pekan XI.
27. Kealiman di Tapal Batas: Ide lawan Ideologi
Jika sekarang
kita melangkah mundur dan melihat berbagai solusi yang kita pertimbangkan
terhadap masalah pencarian sistem politik terbaik, mungkin mudah menjadi patah
semangat. Bahkan, begitu pula untuk kebanyakan topik lain yang telah kita
bahas, terutama di Bagian Tiga ini. Tanpa keraguan, tema yang paling sering
saya temui dalam membaca lembar mawas mahasiswa adalah ide bahwa pertanyaan
filosofis “tidak mempunyai jawaban pasti”; kadang-kadang ini dipakai sebagai
bukti bagi pandangan bahwa kenyataan yang diacu oleh pertanyaan semacam itu tidak
eksis atau tidak
relevan dengan kehidupan nyata.
Akan tetapi, saya harap pada saat ini saya telah menunjukkan bahwa kedua
pandangan itu tidak benar. Jauh dari penemuan bahwa tiada jawaban-pasti
terhadap pertanyaan-pertanyaan yang kita pikirkan, kita biasanya mendapati banyak jawaban pasti! Ini karena filsuf yang
baik mencari jawaban-jawaban pasti, sebanyak yang dicari oleh ilmuwan alamiah;
masalahnya, tentu saja, adalah bahwa para filsuf tidak mampu menggapai tingkat kesepakatan yang dicapai oleh para ilmuwan alamiah,
karena pertanyaan-pertanyaan filosofis lebih mengenai ide-ide daripada obyek-obyek empiris. Dengan kata
lain, masalah yang diangkat oleh pengalaman yang muncul secara berhadapan muka
dengan kenyataan yang niscaya tidak kita ketahui itu biasanya bukan masalah tiadanya sesuatu yang [bisa] kita
katakan; masalahnya justru bahwa kita mempunyai banyak hal yang [bisa] kita
katakan yang agaknya berlawanan. Oleh sebab itu, tugas filsuf adalah berupaya memasang setiap bagian dari
teka-teki (puzzle)
bersama-sama sedemikian rupa sehingga aspek-aspek yang benar dari setiap
jawaban itu bisa diakui untuk aspek masing-masing. Para filsuf yang mengakui cinta
kealiman sebagai bagian
esensial dari tugas mereka takkan pernah puas dengan suatu jawaban tunggal yang
diduga serba-mencakup; ini bukan karena mereka meragukan keberadaan jawaban
semacam itu, melainkan karena mereka melihat sekilas realitasnya yang
menakjubkan!
Alternatif
terhadap mencintai kealiman “di tapal batas” antara pengetahuan kita dan
kebebalan kita yang terakui adalah memilih sebuah ide saja atau sejumlah ide
dan mengangkatnya ke tingkat kebenaran mutlak. Bila ini terjadi, orang-orang
yang mengklaim “kebenaran” ini secara khas mengakui bahwa menyebarkan ajaran
ini (“berita baik” bahwa kebenaran mutlak bisa diketahui!) kepada orang lain
yang masih di kegelapan merupakan tugas mereka. Sayangnya, tujuan ini terlalu
sering dibawa ke sisi ekstrimnya yang berupa memaksa orang lain untuk “setuju” dengan jawaban
pasti satu-satunya yang diambil sebagai kebenarna mutlak. Akibatnya,
serangkaian ide filosofis yang bisa menawarkan wawasan luas kepada kita berubah
menjadi ideologi politik, suatu antitesis filsafat-yang-baik. Ideologi, istilah yang saya gunakan
di sini, adalah segala rangkaian ide—yang acapkali berwawasan luas bila
dipandang secara obyektif, di luar penerapan politisnya (secara keliru)—yang
tersaji sedemikian rupa sehingga “orang-orang yang percaya” memandang bahwa
diri mereka memiliki monopoli atas kebenaran. Maksudnya, bila seseorang
serta-merta menolak kemungkinan perspektif sah lainnya, suatu ideologi pasti terdapat. Ideologi adalah sistem
pikiran yang tersusun rapi yang
tidak hanya diperlakukan sebagai mitos oleh orang-orang yang “tinggal di
dalamnya”, tetapi juga dipaksakan kepada orang-orang yang tidak mau menerima
mitos itu sebagaimana adanya.
Abad keduapuluh
bisa juga disebut “abad ideologi”. Ideologi politik menghasilkan pembagian
Timur-Barat, yang mencapai puncaknya pada masa Perang Dingin, ketika istilah
“Marxis” dan “Kapitalis” tampaknya hampir menentukan “keburukan” orang-orang yang berdiri di sisi
lain. Di alam moral, berbagai jenis fundamentalisme keagamaan yang tiba-tiba
muncul di seluruh dunia menggambarkan contoh terbaik tentang bahaya ideologi
daripada contoh-contoh tunggal lainnya. Bila orang-orang lebih suka membunuh
orang-orang yang tidak
sependapat dengan ide-ide mereka daripada berdialog dengan mereka, pasti ideologinya berjalan.
Namun ideologi baru berjalan kuat, walau sulit dimengerti, dalam ilmu—terutama
ilmu sosial, yang memiliki perbedaan yang begitu tajam antara (umpamanya) psikolog
behavioris dan psikolog kedalaman sehingga dialog tidak dimungkinkan sama
sekali. Bukannya mencari wawasan-wawasan tulen di mana saja wawasan-wawasan itu
bisa ditemukan, orang-orang yang di bawah kendali ideologi bahkan tidak mau
mempertimbangkan bahwa pendekatan-pendekatn lain terhadap bidang tersebut
mungkin sah. Adapun ilmu alamiah pun tidak sepenuhnya kebal terhadap kekuasaan
ideologi, meski para ilmuwan cenderung menunaikannya dengan menggunakan
istilah-istilah seperti “paradigma” untuk menerangkan perbedaan mereka yang tak
bisa dipertemukan. Intinya adalah bahwa, jika kita mengambil pelajaran dari
abad keduapuluh, itu merupakan bumerang ideologi. Kutipan dari kitab terakhir Bibel: “mereka yang
hidup dengan pedang, mati oleh pedang” (Wahyu 13:10).
Dengan
mengingat hal itu, saya ingin mengingatkan bahwa jangan sampai teokrasi beralih
menjadi ideologi, suatu “isme” yang bisa diperlakukan sebagai solusi final
terhadap semua masalah manusia. Jika seseorang merasa bahwa kebebasan teokratik
tidak mengizinkan ia kembali ke tapal batas realitas politik dengan mengakui
bahwa tidak semua orang menerima pandangan teokratik, maka orang semacam itu akan berisiko
mengalihkan sistem ide yang pada potensinya berwawasan luas ke ideologi yang
menakutkan: teokrasi akan merosot menjadi eklesiokrasi. Pada kuliah terakhir
dari Bagian Tiga ini, saya ingin kita merambah tantangan untuk hidup secara
alim di alam nyata. Saya yakin, kunci untuk melakukannya adalah cukup percaya
diri untuk hidup dengan memegang ide-ide kita sebagai yang ideal, namun cukup rendah hati untuk melawan
godaan yang membelokkannya menuju ideologi.
Dalam membahas
berbagai cabang filsafat terapan di Bagian Tiga ini, kita mula-mula memikirkan
persoalan kausalitas yang muncul dalam filsafat ilmu. Pandangan Hume tentang
“kebiasaan” adalah suatu jawaban pasti: ini memerikan idenya tentang bagaimana kita sampai merasa bahwa
obyek-obyek dan kejadian-kejadian diatur oleh suatu kekuasaan yang niscaya
berhubungan. Argumen Kant, bahwa “hukum kausalitas” diperlukan demi kemungkinan
pengalaman, merupakan suatu jawaban pasti terhadap persoalan yang sama. Ide-ide ini tidak
diajukan sebagai opini belaka, seolah-olah Hume mengatakan bahwa ia lebih suka tinggal di Inggris
daripada Skotlandia, dan Kant menanggapi bahwa ia lebih suka tinggal di
Skotlandia, karena kakeknya tinggal di sana; kedua orang ini mengungkap
pandangan dengan yakin bahwa setiap orang yang hendak berpikir filosofis harus menerima
kebenarannya. Dalam hal ini, dua jawaban-pasti terhadap pertanyaan yang sama
itu tampaknya saling berlawanan, padahal mungkin ada beberapa jalan yang
memandang keduanya benar. Contohnya, kita bisa mengakui kebenaran jawaban Hume
dengan memaparkan hal-hal yang bisa kita temukan dengan membatasi diri kita pada perspektif empiris,
sedangkan jawaban Kant mendekripsikan hal-hal yang kita temukan dengan juga
mengambil perspektif transendental.
Berikutnya
kita mempertimbangkan filsafat moral dan pertanyaan tentang tindakan yang baik.
Lagi-lagi, kita lihat bagaimana Kant, Mill, dan Nietzsche masing-masing
mengusulkan suatu jawaban pasti terhadap persoalan ini; namun jawaban-jawaban mereka tampaknya menjadi
berbeda. Begitu pula pekan ini, ketika mempertimbangkan filsafat politik dan
hakikat pemerintahan yang baik, kita melihat bahwa Aristoteles mempunyai enam jawaban pasti; namun filsuf-filsuf
sepeninggalnya masih mengusulkan alternatif lain yang tak pernah terbayang oleh
Aristoteles. Bila timbul pertentangan ide yang tak terelakkan antara
filsuf-filsuf yang berlainan, kita jangan menyimpulkan bahwa sesungguhnya
pertanyaan semacam itu pasti tidak memiliki jawaban sama sekali. Kita justru
harus mengambilnya sebagai tantangan, untuk menentukan manakah dari
jawaban-jawaban pasti tersebut yang paling memadai dan/atau untuk menunjukkan
bagaimana dua jawaban atau lebih ini bisa benar secara serempak, masing-masing
dengan cara uniknya sendiri. Dalam melakukan yang terakhir ini kita akan tidak
hanya menancapkan perspektif yang bisa dibenarkan yang bisa menimbulkan pengetahuan (yaitu ilmu); kita juga akan mempraktekkan seni mencintai
kealiman, dan karenanya
menghindari bahaya penyalahgunaan ide semacam itu sebagai ideologi.
Dalam sorotan
pembedaan antara yang secara alim menghormati basis mawas semua ide-ide yang
berwawasan dan yang secara tolol mengangkat sejumlah ide pada status mutlak
ideologi, mari kita curahkan sisa [waktu] kuliah ini untuk pemeriksaan tentang
filsafat politik apakah yang paling sesuai dengan alam nyata sebagaimana adanya
kini, pada fajar milenium ketiga. Tanpa keraguan, ideologi politik yang
“memenangkan” pertempuran ideologi abad keduapuluh adalah demokrasi. Kendati ada sambutan buruk dari banyak
filsuf, dari Aristoteles sampai Nietzsche, dewasa ini hampir setiap orang di
masyarakat Barat modern menganggap itulah sistem politik yang “benar”—barangkali itu merupakan mitos
yang paling jarang dipertanyakan di antara mitos-mitos kultural kita.
Kant sering
diakui sebagai salah seorang pendiri ideologis demokrasi liberal modern.
Setengah dari bukunya, Metaphysics of Morals (1797), dan beberapa esai yang berpengaruh yang
ditulis menjelang akhir hayatnya, mendesak agar sistem hak asasi
manusia universal dipaksakan
oleh “liga bangsa-bangsa”—suatu ide yang secara signifikan mempengaruhi
perkembangan sistem politik Barat berikutnya, termasuk yang kini disebut
“Perserikatan Bangsa-Bangsa”. Akan tetapi, yang dimaksud oleh Kant dengan “hak
asasi” itu pada aktualnya cukup berbeda dengan yang dewasa ini kita maksud
ketika kita menggunakan kata ini. Bagi dia, “hak asasi” harus muncul dari
konsep tindakan benar:
Every action is right which in itself, or in the maxim on which it proceeds, is such that it can coexist along with the freedom of the will of each and all in action, according to a universal law. (SR 45)
(Setiap tindakan adalah benar yang di dalam lubuknya, atau dalam kaidah yang diproses olehnya, adalah sedemikian rupa sehingga ini bisa berdampingan dengan kebebasan kehendak bertindak masing-masing dan semuanya, menurut hukum universal.) (SR 45)
Artinya, perbuatan eksternal (sebagaimana yang diatur oleh ranah politik)
bisa benar hanya
jika dapat berdampingan dengan perbuatan semua individu lain yang bebas
(benar). Prinsip ini tidak hanya mendasari teori hak asasi Kant, tetapi juga
terletak pada pondasi teokrasi! Sayangnya, pengertian hak asasi manusia Kant
sering diambil lepas dari konteksnya yang tepat dan dipakai untuk mengalihkan
demokrasi yang berbasis hak asasi ke suatu ideologi politik.
Jika kita akan
menggunakan Kant dan filsuf modern lain yang berpengaruh sebagai landasan
penyusunan versi kerangka sistem politik Aristoteles yang diperbarui, itu
kelihatannya cukup berbeda. Pembedaan utamanya adalah antara sistem
“demokratik” dan “totaliter” (sebagai ganti “republikan” dan “monarkis”);
sosialis dan libertarian mewakili bentuk “ekstrim” sistem demokratik, sedangkan
liberal dan konservatif mewakili bentuk “pertengahan”-nya (bandingkan Gambar
IX.1 dan IX.5). dalam sistem ini, “demokrasi” mempunyai makna yang jauh lebih
canggih daripada yang dimiliki oleh Aristoteles. Namun baik penggunaan istilah
“demokratik” kita maupun penggunaan istilah “republikan” Aristoteles mengacu
pada tipe sistem federal, yang dengannya orang-orang sepakat (sekurang-kurangnya secara tersirat)
untuk mematuhi sistem politik tertentu dengan harapan memaksimalkan kebebasan
bersama tanpa mencabut hak-hak yang esensial. Begitu pula dan sebaliknya,
penggunaan istilah “totaliter” kita dan penggunaan istilah “monarkis”
Aristoteles keduanya serupa dengan sistem feodal, yang dengannya monopoli kepemilikan tanah secara
lokal dan/atau nasional berjalan tanpa membolehkan penyebaran partisipasi
pembuatan putusan politis.
Filsuf yang
pada umumnya diakui sebagai mengajukan pembelaan yang paling rumit bagi
demokrasi liberal modern adalah John Rawls (1921- ). Buku klasiknya, A
Theory of Justice (1971),
mengusulkan dua prinsip yang pada dasarnya Kantian sebagai pondasi teoretis:
First: each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with a similar liberty for others.
Second: social and economic inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonably expected to be to everyone’s advantage, and (b) attached to positions and offices open to all. (TJ 60)
(Pertama: setiap orang berhak memiliki hak yang setara dengan kebebasan dasar yang paling luas sesuai dengan kebebasan yang serupa untuk orang lain.
Kedua: ketimpangan sosial dan ekonomi harus ditata sehingga keduanya (a) secara masuk akal diharapkan menjadi keuntungan setiap orang, dan (b) dilekatkan pada kedudukan dan jabatan yang terbuka bagi semuanya.) (TJ 60)
Prinsip-prinsip ini menjamin hak asasi yang setara dan peluang yang setara bagi semua warganegara. Pemerintah harus
menggunakan prinsip pertama sebagai pedoman untuk menentukan sejumlah dasar hak
asasi seperti “kehidupan, kebebasan, dan perburuan kebahagiaan” (sebagaimana
dalam Pernyataan Hak Asasi Manusia A.S.), kepada semua orang, tanpa
mempedulikan ras, agama, jenis kelamin, dan lain-lain. Contoh Rawls sendiri
tentang hak asasi semacam itu meliputi hak untuk memberi suara, memiliki properti,
bebas berbicara, dan sebagainya. Secara demikian, prinsip kedua mensyaratkan
bahwa pemerintah menjamin bahwa posisi-posisi seperti jabatan politik dan
pekerjaan-pekerjaan bergaji tinggi (atau segala peluang kerja dalam hal ini) terbuka bagi semua orang
tanpa diskriminasi yang tidak terkait dengan kelayakan mereka dengan posisi
itu. Prinsip kedua merupakan upaya pelestarian kesadaran akan keadilan meskipun
ada ketimpangan ekonomik dan sosial dengan menetapkan “kelaliman” sebagai
ketimpangan yang tidak menguntungkan setiap orang.
Sebagian besar
dari buku Rawls itu dicurahkan untuk mengklarifikasi dan mengkualifikasi dua
prinsip dasar keadilan tersebut. Di antara banyak hal yang dibuat dalam hal ini
adalah bahwa hak asasi politis dasar tidak bisa diperdagangkan untuk keuntungan
sosial atau pun ekonomik, bahwa kemalangan orang (atau kelompok) tak bisa
didalihkan untuk berpaling ke orang (atau kelompok) lain yang beruntung
(sebagaimana yang mungkin dibolehkan oleh politik utilitarian), bahwa
prinsip-prinsip itu berlaku pada cara terstrukturnya lembaga-lembaga tetapi
tidak dengan niscaya pada cara perlakuan kita kepada sembarang orang istimewa
yang dikenalkan kepada kita dalam situasi kehidupan-nyata, dan bahwa pembuat
kebijakan harus mempertimbangkan hak asasi dan peluang generasi masa lalu dan
masa depan sebanyak hak asasi dan peluang generasi masa kini. Singkatnya, Rawls
membatasi keadilan sebagai “fairness”[1],
dengan mengemukakan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk memelihara anggota
masyarakat yang kurang beruntung. Pandangannya memicu perdebatan yang
sedemikian sengit sehingga kita pun tak bisa mulai mempertimbangkan
seluk-beluknya di matakuliah pengantar ini, kecuali mengatakan bahwa penentang
utama pandangan semacam itu ialah para libertarian (umpamanya Robert Nozick),
yang menyatakan bahwa intervensi pemerintah itu mencabut rakyat dari kebebasan
asasi mereka, dan para komunitarian (umpamanya Alasdair MacIntyre), yang
mengetengahkan bahwa prinsip keadilan yang berlainan timbul dari komunitas yang
berlainan dan karenanya tak bisa digeneralisasikan begitu saja.
Dari
perspektif Kantian, masalah utama perihal upaya pembelaan versi sosialis
tentang demokrasi liberal itu adalah kecenderungannya kepada asumsi bahwa
“masyarakat” (yakni pemerintah) melimpahkan hak asasi dan peluang kepada rakyat. Kant
mempertahankan pandangan yang lebih individualistik, yang dengannya setiap
orang (dalam bentuk “diri nomenal”) melimpahkan atau kurang melimpahkan hak-hak
asasi ini (bersama-sama dengan kewajiban-kewajiban yang sejajar) kepada dirinya
sendiri—suatu perbedaan yang diakui sendiri oleh Rawls (TJ 257). Ini merupakan masalah karena
cenderung mengalihkan tanggung jawab dari orang-orang ke lembaga-lembaga,
sehingga cenderung menyebabkan individu-individu merasa seperti “gerigi-gerigi”
dalam mesin “sosial”. Sesungguhnya, bagi banyak teoritisi-politik masa kini,
tanggung jawab pemberian dan perlindungan hak asasi dianggap sebagai peran
badan politik internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bahwa cara pembelaan demokrasi ini pada
dasarnya ideologis adalah bukti dari fakta bahwa tujuan puncak kebanyakan
pendukung sedemikian itu adalah pemerintahan satu-dunia. Kant sendiri memandang ini sebagai tahap
idaman dalam perkembangan sejarah politik manusia; namun hanya jika orang-orang
yang berada di posisi kekuasaan tetap sadar bahwa kekuasaan itu tidak tinggal
di dalam lembaga, tetapi di dalam orang-orang itu sendiri, dan bahwa tanpa mereka tidak ada hak
asasi yang dilimpahkan.
Sayangnya,
praktis semua pendukung demokrasi sebagai awal pemerintahan satu-dunia
cenderung mengabaikan sebuah aspek teori Kant yang krusial bagi keseluruhan
pandangannya: bahwa demokrasi hanyalah sebuah tahap dalam perkembangan
jangka-panjang evolusi-politik ras manusia. Kita mesti melihat bahwa, dalam pandangan
Kant, semua struktur politik harus diarahkan ke tujuan ideal yang merupakan
sesuatu yang serupa dengan [sistem] yang saya sebut “teokrasi”. Kant
menunggu-nunggu hari manakala semua bentuk kendali lahiriah yang saling
dipaksakan antarmanusia (yakni semua “paksaan”, apakah politis, religius,
ataukah ideologis dengan cara apa pun) membuka jalan ke suatu dunia yang di
dalamnya setiap orang hidup bebas dan bertanggung jawab menurut kesadaran diri
mereka akan hukum moral di dalam diri mereka. Tentu saja, ini bisa terjadi
hanya bila ras manusia belajar untuk terakhir kalinya bahwa keluhuran
terpenting dalam kehidupan—keluhuran filosofis yang berupa kebenaran, kebaikan, dan
keindahan—tidak bisa dipaksakan kepada orang lain dengan perintah atau keputusan resmi; alih-alih, kita
harus mendorong setiap orang untuk memanfaatkan akal mereka sendiri untuk memutuskan mana yang benar, baik,
dan indah bagi mereka sendiri. Ia pikir, ini merupakan pandangan yang pada
dasarnya religius,
sekalipun ini merupakan agama tanpa bentuk idelogis apa pun yang lahiriah yang
akan menyebabkan perbenturan dengan ideologi lain. Konsepsi agama moral ini, suatu cara pengalaman makna kehidupan tanpa pemaksaan ideologi
kepada orang-orang lain yang mungkin tidak terbuka kepadanya, nirmustahil hanya
bila agama dan politik berbaur. Kant mengacu pada pembauran ini sebagai
“kerajaan tujuan-tujuan” (kingdom of ends) dalam teorinya tentang moral dan sebagai
“kerajaan Tuhan di bumi” dalam teorinya tentang agama. Yang terakhir ini
merupakan bagian dari filsafat Kant yang sedemikian signifikan (dan sering
disalahpahami secara kasar) sehingga saya akan mencurahkan dua kuliah pada
pokok bahasan ini dalam Pekan XI.
Jalan maju
dari demokrasi, jika kita memperhitungkan konteks pandangan politik Kant yang
luas itu, adalah membuang asumsi umum bahwa moralitas bisa dijadikan
undang-undang. Semakin bergerak demokrasi menuju anarki (yaitu lebih sedikit
hukum, dan akhirnya tanpa hukum), semakin baiklah kita. Untuk satu hal, ini
akan memberi orang-orang peluang untuk bermoral secara murni, bukan karena hanya “benar secara
politis”. Dalam situasi terkini di kebanyakan negeri Barat, mayoritas orang
kurang mempedulikan moral karena mereka sampai yakin bahwa pemerintah mengundang-undangkan moralitas; ini menimbulkan keyakinan
mitologis bahwa selama saya merupakan “warganegara yang mematuhi hukum”, secara
moral saya baik. Namun sebagaimana yang ditunjukkan oleh argumen Kant, kebaikan
legal (eksternal) tidak niscaya sesuai dengan kebaikan moral (internal).
Ironisnya, sistem legal yang memaksakan hukum yang disebut hukum “moral” itu
akhirnya menyingkirkan potensi keterpujian tindakan-tindakan yang baik dari warganegara.
Sudahkah
manusia berkembang sampai suatu tahap yang di situ semua sistem politik lahiriahnya
dapat lenyap begitu
saja sebentar lagi? Tentu saja tidak! Bahwa ini harus menjadi tujuan
puncak merupakan sepotong
kebenaran dalam ideologi Marxis. Namun upaya menerapkan kebijakan semacam ini
dalam jangka pendek tak akan menjadi langkah maju, tetapi langkah mundur maut
bagi perkembangan politik manusia—sebagaimana abad keduapuluh dengan percobaan
Marxisme yang terlukis dengan memilukan. Sebagai ganti usaha memaksakan tujuan
(“damai di bumi”) itu melalui pemaksaan ideologis, tujuan kita seharusnya
berupaya menerapkan struktur politik yang mempunyai bentuk penyangkalan-diri yang terpasang-tetap—yaitu
struktur-struktur yang dengan sifat-sifat dasarnya mencegah siapa saja yang akan berusaha
mengangkatnya ke status ideologi. Semakin banyak ini terjadi, semakin banyak
manusia belajar untuk mempercayai prinsip-prinsip batiniahnya sendiri di atas
upaya-upaya politik yang lemah untuk menetapkan benar-salah dengan alat-alat
eksternal. Barangkali satu-satunya pelajaran terpenting yang bisa kita pelajari
dari kajian kita tentang kealiman di Bagian Tiga ini adalah bahwa, sebagaimana
kita hidup dengan menunggu hari manakala manusia bisa hidup damai tanpa
struktur politik lahiriah, kita harus lebih menyambut perbedaan pendapat daripada melawannya.
Semakin bisa kita cakup ide bahwa “oposisi ialah persahabatan sejati” ke dalam
pemahaman kita tentang realitas politik, semakin dekat kita sampai ke
penempatan ras manusia ke suatu kesadaran yang mendalam akan kealiman
di tapal batas.
PERTANYAAN PERAMBAH
1. A.
Apakah kekuasaan itu?
B.
Dari manakah hukum berasal?
..............................
..............................
2. A.
Apakah anarki (“tanpa pengatur”)
merupakan sistem politik?
B.
Mungkinkah ada kebebasan mutlak?
..............................
..............................
3. A.
Bagaimana Tuhan bisa memiliki
“kerajaan” di bumi?
B.
Akankah para filsuf membuat raja-raja yang
baik?
..............................
..............................
4. A.
Apakah manusia memiliki hak asasi bawaan
sejak lahir?
B.
Apakah segala sesuatu di dunia ini benar-benar adil?
..............................
..............................
BACAAN ANJURAN
1.
Aristotle, The Politics, Buku 4, Bab 2 (AP 1289a-b).[2]
2.
Aristotle, Nicomachean Ethics, Buku VIII, Bab 10 (NE 1160a-1161a).[3]
3.
Niccolo
Machiavelli, The Prince, terj. G.
Bull (Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books, 1961).[4]
4.
Antoine de
Saint-Exupéry, The Little Prince,
terj. Katherine Woods (New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1943).
5.
Stephen
Palmquist, Biblical Theocracy: A vision of
the biblical foundations for a Christian political philosophy (Hong Kong:
Philopsychy Press, 1993).[5]
6.
Karl Marx
dan Frederick Engels, Manifesto of the
Communist Party, terj. Samuel Moore (Moscow: Progress Press, 1952[1888]).[6]
7.
John Rawls, A Theory of Justice, §11, “Two
Principles of Justice” (TJ 60-65).
8.
Stephen
Palmquist, “’The Kingdom of God is at Hand!’ (Did Kant really say that?)”, History of Philosophy Quarterly 11
(1994), pp. 421-437.[7]
Catatan Penerjemah
[1] Sebuah kata umum yang menyiratkan perlakuan kepada semua pihak secara serupa, tanpa pengacuan pada perasaan atau kepentingan diri sendiri.
[2] Untuk alternatif, lihat http://classics.mit.edu/Aristotle/politics.4.four.html
[3] Untuk alternatif, lihat http://classics.mit.edu/Aristotle/nicomachaen.8.viii.html
[4] Untuk alternatif, lihat http://www.sas.upenn.edu/~pgrose/mach/index1.htm
[5] Untuk alternatif, lihat http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/bth/toc.html
[6] Untuk alternatif, lihat http://www.yale.edu/lawweb/avalon/mancont.htm
[7] Untuk alternatif, lihat http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/srp/arts/KGH.html
Send comments (in English)
to: StevePq@hkbu.edu.hk
Back to the Index of Pohon Filsafat.
Back to the English
version of The Tree of Philosophy.
Back to the listing of Steve Palmquist's published
books.
Back to the main map of Steve
Palmquist's web site.
This page was first placed
on the web on 27 April 2003.