BAGIAN EMPAT: DAUN
ONTOLOGI
DAN
TAKJUB
BERKEHENINGAN
Pekan X
Pengalaman Beragam: Persatuan Perasaan
28. Apakah Keheningan Itu?
Pada tiga bagian
pertama matakuliah ini kita telah menghadapi berbagai teori filsafat, yang
diusulkan oleh filsuf-filsuf yang berupaya memecahkan beragam masalah.
Keanekaragaman itu, yang tercampur-aduk oleh berbagai pendekatan yang tersedia
untuk kita gunakan, merupakan salah satu ancaman paling serius terhadap
kesehatan pohon filsafat. Jika tidak ada yang dapat mempersatukan
keragaman yang biasanya muncul dari pengalaman insani kita dan dari pemikiran
kita terhadapnya, maka kita berada dalam bahaya akan bernasib seperti
Nietzsche. Sebagaimana yang kita lihat di Kuliah 23, Nietzsche mencabut akar
pohon filsafat dalam rangka membangunkan manusia modern dari keterlelapan tidur
di bawah naungan pohon filsafat Sokrates. Namun sebagaimana tanda pertama
kesekaratan dalam tanaman yang akarnya tercabut adalah bahwa daun-daunnya
layu, begitu pula Nietzsche yang berupaya berfilsafat tanpa mendasarkan
penalarannya pada suatu realitas hakiki berakhir tatkala pengalamannya
sendiri runtuh dalam kegilaan menggemparkan yang tiada-henti.
Orang yang
pencarian kealimannya berakhir dalam kegilaan itu tidak bersentuhan lagi dengan
realitas yang membuat pencarian itu berguna. Untungnya, nasib tragis ini bukan
tak terelakkan, asalkan kita belajar untuk menanggapi keragaman pikiran dan
kehidupan dengan mengganti kegaduhan yang ditimbulkan oleh
pilihan-pilihan yang kurang-lebih berlarut-larut yang tersedia di depan kita
dengan suatu keheningan (silence) yang bisa menunjang kesatuan dan
tujuan bagi eksistensi kita yang terpenggal. Karena alasan itu, saya akan
mengawali bagian terakhir dari kuliah kita ini dengan meminta anda untuk
menyarankan beberapa jawaban terhadap pertanyaan, “Apakah keheningan itu?”
Kala anda
pikirkan pertanyaan itu, biarlah saya ingatkan anda bahwa bagian dari pohon
filsafat yang paling melambangkan kebutuhan kita akan prinsip
pemersatuan dalam pemikiran kita dan daya pemersatu dalam kehidupan
kita adalah daun-daun. Itu lantaran bila kita pandang pohon yang tak berdaun,
perbedaan antara cabang-cabangnya tampak jelas; namun jika pohon tersebut
mempunyai daun yang rimbun, maka cabang-cabangnya pada aktualnya kelihatan terhubung,
seolah-olah daun-daun itu mencairkan ketegangan antarcabang dengan merangkul
cabang-cabang itu dalam kesatuan yang lebih tinggi. Daun-daun suatu pohon,
lebih dari bagian-bagian lainnya, memberi kita kesan bahwa pohon itu satu unit:
khususnya bila kita memandang pohon itu dari jauh, daun-daun tersebut
kehilangan ciri khas mereka dan saling mengaburkan. Bahkan, suatu pohon sering
lebih sulit dibedakan dari yang lain bila tidak mempunyai daun. Untuk
mengidentifikasi dan mengklasifikasi pohon, para ahli botani biasanya
memanfaatkan daunnya.
Analogi
tersebut menyiratkan salah satu prinsip terpenting yang akan kita bahas di
Bagian IV ini; sebagaimana daun menentukan ciri khas pohon dan kesatuannya,
bagian dari pohon filsafat yang sekarang mulai kita periksa pun hidup menurut
prinsip “kesatuan dalam keragaman”. Karena “kesatuan” dan “keragaman”
berlawanan, prinsip itu jelas mensyaratkan bahwa kita berpikir dengan memakai
logika sintetik jika kita hendak memahaminya. Namun sebelum kita mulai
memperhatikan beberapa contoh tentang bagaimana prinsip-prinsip itu berlaku,
adakah yang yang punya ide tentang bagaimana kita dapat mendefinisikan keheningan?
Mahasiswa
V. “Keheningan
mengacu pada suatu lingkungan yang tanpa suara—atau setidak-tidaknya sangat
lirih.”
Saya memang
berharap ada yang menyatakan jawaban semacam itu, karena pernyataan tersebut
memberi kita peluang untuk menjernihkan pertanyaan yang sebenarnya saya ajukan.
Jawaban anda benar sekali; namun itu mendefinisikan keheningan dengan cara
sepintas lalu. Pada permukaannya, keheningan memang hanya tiadanya
suara. Jadi, umpamanya, jika beberapa di antara kalian mulai mengobrol ketika
saya sedang berusaha menyampaikan kuliah ini, maka saya mungkin berseru “Silence
please!”; [seruan] ini berarti sesuatu seperti “Harap tidak mengeluarkan
suara!” Padahal, biasanya kata “keheningan” jauh lebih bermakna daripada itu.[1]
Bukankah ada beberapa jenis suara yang tidak mengusik keheningan kita?
Bagaimana dengan lagu populer yang berjudul “Suara Keheningan”? Kalau
keheningan ialah tiadanya suara, maka bagaimana keheningan itu sendiri mempunyai
suara? Adakah yang mempunyai saran lain mengenai bagaimana kita bisa agak
lebih mendalami makna keheningan? Apakah keheningan
itu?
Mahasiswa
W. “Tiada kegaduhan.”
Nah, ini
definisi yang lebih berfaedah, khususnya jika kita mendefinisikan “kegaduhan”
sebagai “suara yang mengganggu”. Lalu kita bisa melihat mengapa
sebagian jenis suara pada aktualnya justru turut menciptakan
keheningan dan tidak mengganggu. Contohnya, burung-burung yang
berkicau di luar kelas ini barangkali lebih membuat suara daripada yang dibuat
oleh dua atau tiga orang mahasiswa yang mengobrol sewaktu saya sedang mengajar.
Namun saya tidak berpikiran bahwa kita semua akan mengatakan bahwa
burung-burung itu menggaduhkan, selama burung-burung itu tidak menyaingi
saya dalam menarik perhatian anda. Dengan cara yang sama, musik latar di suatu
film membuat banyak suara; namun pada aktualnya musik ini turut
menciptakan rasa hening di film tersebut jika digunakan dengan cara yang benar.
Tetapi jika musik itu mengurangi perhatian kita terhadap adegan yang terjadi di
layar, maka fungsinya mulai lebih menyerupai kegaduhan. Begitu pula, musik
dapat merangsang percakapan antarteman; namun bila musik tersebut dimainkan
ketika salah satunya sedang menyetel nada gitar, fungsinya barangkali lebih
menyerupai kegaduhan. Perihal keheningan, contoh-contoh itu menyiratkan apa?
Mahasiswa
X. “Itu sangat
subyektif. Yang hening bagi saya mungkin gaduh bagi anda.”
Itu tergantung
pada apa yang anda maksud dengan “subyektif”. Jadi, mari kita pertajam ide
anda. Bilamana anda mengatakan bahwa keheningan itu “subyektif”, apakah itu
hanya berarti bahwa orang-orang yang mengalami keheningan dengan cara-cara yang
berlainan (sesuatu yang agak jelas), ataukah itu juga menyiratkan sesuatu
tentang di mana keheningan itu berada pada aktualnya? Dengan kata lain,
apa yang membuat perbedaan antara orang yang bisa mengalami keheningan
dalam situasi tertentu sedangkan orang lain tidak bisa?
Mahasiswa
X. “Itu pasti
sesuatu di dalam orang itu. Ya, saya pikir itulah yang saya maksud
dengan ‘subyektif’! Keheningan nyata adalah keheningan batiniah.”
Bagus! Itulah
tepatnya pertanyaan asli saya: Apakah keheningan batiniah itu? Apa
yang bisa kita lakukan di dalam diri kita sendiri untuk membudidayakan
kepribadian yang memungkinkan kita untuk mengalami keheningan tatkala orang-orang
lain terusik oleh suara-suara di sekitar kita? Bagaimana bisa yang menggaduhkan
bagi orang lain menjadi seperti musik bagi telinga kita? Ini sajakah perbedaan
dasar antara kepribadian-kepribadian manusia, ataukah ada sesuatu yang bisa
kita lakukan untuk meningkatkan kemampuan kita untuk mendengar suara
keheningan?
Mahasiswa
Y. “Saya dapati
bahwa menjauhkan diri dari semua orang dan menyepi selama beberapa saat sering
memberi saya kedamaian batin yang membantu saya menghadapi gangguan yang datang
dari sangkut-paut saya dengan orang lain.”
Jenis
pengalaman yang anda acu tersebut adalah sesuatu yang kadang-kadang disebut
“kesendirian”. Kadang-kadang saya juga menyepi sendiri dengan nikmat; dan saya
sepakat bahwa itu bisa mendorong perkembangan rasa keheningan batiniah. Namun
anehnya, sebagian orang tidak suka menyendiri; mereka terlalu khawatir akan
menjadi kesepian. Maka, apa perbedaan antara “menyepi” dan “kesepian”?
Mahasiswa
Z. “Sebagian orang
mampu menyepi dalam waktu yang lama tanpa merasa kesepian sama sekali;
orang-orang lainnya merasa kesepian kendati bersama sekelompok teman.”
Jadi, apa yang
menyebabkan dua jenis manusia tersebut berbeda sekali?
Mahasiswa
Z. “Orang yang
kesepian tampaknya kehilangan sesuatu di dalamnya. Bisakah kita menyebut [yang
hilang] itu keheningan?”
Itu siratan
yang baik, walaupun kita harus sadar bahwa kini kita bernalar dalam suatu
lingkaran: kesendirian membantu kita dalam mengembangkan keheningan batiniah;
keheningan batiniah membantu kita dalam kesendirian tanpa merasa kesepian.
Jadi, itu masih belum banyak membantu kita jika kita menjadi kesepian
dan/atau kekurangan hening batiniah saat ini. Namun demikian, itu
pandangan yang baik karena menekankan hubungan yang erat antara kesendirian dan
keheningan. Kesendirian dan keheningan biasanya berjalan seiring: kita memiliki
keduanya atau kita tidak memiliki keduanya. Pada faktanya, mengalami yang satu
tanpa mengalami yang lain itu biasanya merupakan tanda disintegrasi mental
dan/atau spiritual: keheningan tanpa kesendirian menangkarkan kengerian;
kesendirian tanpa keheningan menangkarkan kegilaan. Pada Kuliah 34
kita akan melihat lebih dekat wawasan-wawasan paradoksis yang bisa kita peroleh
dari pengalaman insani yang juga umum itu.
Orang yang
banyak mengisi waktunya dengan kesendirian dan keheningan kadang-kadang disebut
“perenung”. Praktis perenung-perenung di semua tradisi agama besar telah
bekerja keras untuk menjelaskan makna kesendirian dan keheningan dan bagaimana
kita bisa merawat potensi pengalaman semacam itu. Di Cina kuno, Lao Tzu
merupakan contoh yang baik tentang perenung semacam itu. Catatan puitisnya
tentang bagaimana mengikuti “Tao” yang “tak-terungkap” penuh dengan nasihat
praktis—walau sering dinyatakan dengan menggunakan logika sintetik—mengenai
bagaimana kita dapat hidup dengan rendah hati, kesendirian, dan keheningan,
termasuk di tengah-tengah kesibukan hidup sehari-hari yang jelas kelihatan.
Buddha, tentu saja, merupakan contoh lain yang baik. Dan banyak yang lain bisa
diambil dari Hindu, Islam,[2]
dan berbagai agama lain.
Tradisi agama
Yahudi dan Nasrani juga mempunyai sederet panjang perenung-perenung semacam
itu. Salah seorang perenung Kristen yang paling berpengaruh di abad keduapuluh
ialah Thomas Merton, yang tulisan-tulisannya mengilhami banyak orang untuk
memperdalam pengalaman batiniah mereka. Suatu kutipan panjang dari buku
kecilnya, Thoughts in Solitude, bisa membantu kita dalam memahami
bagaimana kesendirian dan keheningan bekerja sana dalam pengalaman kita tentang
tentang realitas yang disebut “Tuhan” oleh umat beragama:
As soon as you are really alone you are with God.
Some people live for God, some people live with God, some live in God.
Those who live for God, live with other people and live in the activities of their community. Their life is what they do.
Those who live with God also live for Him, but they do not live in what they do for Him, they live in what they are before Him. Their life is to reflect Him by their own simplicity and by the perfection of His being reflected in their poverty.
Those who live in God do not live with other men or in themselves still less in what they do, for He does all things in them.
Sitting under this tree I can live for God, or with Him, or in Him....
To live with Him it is necessary to refrain constantly from speech and to moderate our desires of communication with men, even about God.
Yet it is not hard to commune with other men and with Him, as long as we find them in Him.
Solitary life--essentially the most simple. Common life prepares for it in so far as we find God in the simplicity of common life--then seek Him more and find Him better in the greater simplicity of solitude.
But if our community life is intensely complicated--(through our own fault)--we are likely to become even more complicated in solitude.
Do not flee to solitude from the community. Find God first in the community, then He will lead you to solitude.
A man cannot understand the true value of silence unless he has a real respect for the validity of language: for the reality which is expressible in language is found, face to face and without any medium, in silence. Nor would we find this reality in itself, that is to say in its own silence, unless we were first brought there by language.
(Seketika seusai kau menyendiri sungguh-sungguh, engkau bersama Tuhan.
Sebagian orang hidup demi Tuhan, sebagian orang hidup dengan Tuhan, sebagian hidup di dalam Tuhan.
Yang hidup demi Tuhan, hidup dengan orang lain dan hidup dalam kegiatan komunitas mereka. Kehidupan mereka adalah apa yang mereka lakukan.
Yang hidup dengan Tuhan juga hidup demi Dia, tapi mereka tidak hidup dalam apa yang mereka lakukan demi Dia, mereka hidup dalam keberadaan mereka di muka Tuhan. Kehidupan mereka adalah untuk mencerminkan Tuhan dengan kesederhanaan mereka sendiri dan dengan kesempurnaan-Nya yang tercermin dalam kemiskinan mereka.
Yang hidup di dalam Tuhan tidak hidup dengan orang lain atau dalam diri mereka sendiri bahkan kurang dalam apa yang mereka lakukan, lantaran Ia melakukan segala hal di dalam mereka.
Dengan duduk di bawah pohon ini aku bisa hidup demi Tuhan, atau dengan Tuhan, atau di dalam Tuhan....
Untuk hidup dengan Dia, kita perlu menghindar terus dari wicara dan melunakkan keinginan menyatu kita dengan orang-orang, bahkan walau mengenai Tuhan.
Namun tidaklah sulit menyatu dengan mereka dan dengan Dia, selama kita dapati mereka di dalam Dia.
Kehidupan menyepi—pada dasarnya yang paling sederhana. Kehidupan bersama menyiapkannya selama kita dapati Tuhan di dalam kesederhanaan hidup bersama—maka carilah Dia lagi dan lebih baik dapati Dia di dalam kesederhanaan yang lebih bersahaja dengan kesendirian.
Tapi jika kehidupan komunitas kita sangat rumit—(melalui kesalahan kita)—kita bahkan mungkin menjadi lebih rumit di dalam kesendirian.
Jangan menyendiri jauh-jauh dari komunitas. Temukan Tuhan mula-mula di komunitas, lalu Ia akan membawamu ke kesendirian
Manusia tak mungkin memahami nilai sejati keheningan kecuali bila ia menaruh penghormatan nyata kepada kesahihan bahasa: karena realitas yang terungkap dalam bahasa terdapat, langsung dan tanpa perantara, dalam keheningan. Takkan kita dapati realitas itu di dalam lubuknya, yang berarti di dalam keheningannya sendiri, kecuali bila kita mula-mula membawa ke sana dengan bahasa.)
Paragraf
terakhir ini mengingatkan kita kepada ide Wittgenstein tentang bahasa sebagai
“tangga” yang harus dibuang bila kita mulai melihat bahwa benda-benda
“memperlihatkan diri” kepada kita (lihat Gambar VI.1). Secara demikian, pasal
ini menjelaskan bahwa kita harus belajar untuk berada dengan
orang-orang sebelum kita memperoleh keuntungan dari menyendiri.
Kesendirian dan keheningan menguntungkan kita hanya pada batas bahwa kita telah
menjumpai realitas yang bersama-sama mempertahankan keragaman
kehidupan kita dalam satu kesatuan yang mendasar.
Contoh lain
dari tradisi Kristen muncul dalam sebuah buku populer yang berjudul Celebration
of Discipline, karya Richard Foster. Buku ini ditulis bagi penganut
Kristiani, sehingga sebagian bahasanya mungkin sulit ditangkap bagi yang
non-Nasrani; sekalipun demikian, saya yakin buku itu mengandung wawasan-wawasan
yang bisa berfaedah bagi siapa saja. Buku itu memaparkan duabelas “disiplin”
khas (yang tertata, secara cukup signifikan, sebagai 12CR sempurna!),
masing-masing bekerjasama untuk mengembangkan kepribadian batiniah yang kita
bahas hari ini. Bab 7-nya, tentang pertalian yang erat antara kesendirian dan
keheningan, pada khususnya relevan dengan pembahasan kita hari ini. Pada bab
itu Foster menetapkan perbedaan yang bermanfaat antara kesendirian dan kesepian
(CD 84): “Kesepian adalah kekosongan batiniah. Kesendirian adalah
pemenuhan batiniah. Kesendirian bukanlah tempat, terutama, melainkan keadaan
akal dan hati.” Dengan cara itu juga, kita bisa menambahkan bahwa “kegaduhan”
adalah kekacauan batiniah, sedangkan “keheningan” adalah “kedamaian batiniah”.
Namun kedamaian dan pemenuhan batiniah semacam itu tak bisa dicapai hanya
dengan memerangi lawan-lawannya (yaitu kekacauan dan kesepian). Alih-alih, Foster
mengemukakan bahwa [kedamaian dan pemenuhan batiniah] itu berkembang sedikit
demi sedikit sebagai hasil dari disiplin-diri yang sinambung. Dengan
demikian, sesudah mengutip pepatah lama, “orang yang membuka mulutnya, menutup
matanya!”, Foster menjelaskan (86): “Tujuan keheningan dan kesendirian adalah
mampu melihat dan mendengar. Kunci keheningan adalah mengendalikan, bukan
meniadakan, kegaduhan.”
Hal-hal yang
menekankan pengendalian kontemplatif terhadap kepribadian batiniah kita semacam
itu kadang-kadang disebut “mistik”. Mistisis ialah orang-orang yang mengalami
suatu daya yang mempersatukan keragaman pengalaman mereka sehari-hari dan,
sebagai tanggapannya, mengubah cara hidup mereka. Dengan demikian,
“visi” (SF 9) para mistisis memandang semua kehidupan sebagai suatu
“hadiah terbesar, sehingga sikap yang paling tepat adalah bersyukur. ...
Mengakui kehidupan sebagai hadiah terbesar adalah mengerti bahwa misteri yang
melandasinya ... adalah dermawan, bagaimanapun. Menerimanya sebagai misteri
adalah menghormati keindahan sifat-tabiatnya.” Kita tidak mempunyai hak
untuk memiliki hadiah, tetapi harus dengan sabar menunggu pemberiannya, dan
kemudian menerima atau menolaknya bilamana [hadiah] itu tiba. Disiplin-disiplin
jalan hidup mistis itu untuk menyiapkan kita untuk menerima kedatangan
hadiah misterius dari keheningan dan kesendirian.
Visi mistik
tersebut juga mampu membantu kita dalam memahami sifat wawasan. Kita bisa mempersiapkan diri untuk menerima wawasan-wawasan;
namun tak dapat mengendalikan dengan pasti, kapan atau bagaimana
wawasan-wawasan itu sampai kepada kita. Yang bisa kita lakukan hanyalah duduk
di bawah pohon, sebagaimana demikianlah adanya, menunggu buah jatuh ke tangan
kita yang terbuka, tepat seperti orang bijak yang terlukis dalam kover buku
ini. Kontrol yang timbul dari disiplin spiritual itu bukanlah pengendalian
terhadap realitas misterius yang memberi kita wawasan; alih-alih, kontrol itu
mengendalikan tangan (dan otak) kita sendiri, yang biasanya terlalu sibuk
(penuh dengan “kegaduhan”) untuk menerima apa-apa yang ditawarkan. Tema
sedemikian itu juga terdapat pada The Giving Tree: karena tangan si bocah lelaki selalu penuh
dengan kepentingan diri-sendiri, ia tak mampu untuk menerima cinta dan
kebahagiaan yang ditawarkan oleh sang pohon. Karena itulah saya meminta anda
untuk meluangkan waktu sejenak untuk bermeditasi dengan tenang sebelum anda pada aktualnya memulai proses
penulisan lembar mawas. Selama menit-menit hening itu kita menyiapkan otak kita
(di samping hati kita)
untuk menerima wawasan-wawasan. Wawasan terpenting mungkin tidak tiba pada
saat-saat hening tersebut; tetapi tanpa masa persiapan itu, perhatian kita akan
terlalu sesak dengan urusan lain untuk menerima wawasan hakiki.
Begitu wawasan
“mendatangi” kita, tentu saja kita jangan membiarkan itu berdebu di situ.
Alih-alih, sebagaimana yang disarankan dalam Kuliah 18, tanggapan yang tepat
adalah mengkritik
wawasan tersebut. Kritisisme sedemikian itu tidak mensyaratkan bahwa kita
menyangkal kesahihan wawasan asli (walau kadang-kadang penyangkalan mungkin
tepat), tetapi harus selalu membantu kita dalam memisahkan hal-hal yang bisa
kebenarannya bisa diketahui dari yang palsu atau yang tak bisa diketahui.
Filsuf yang baik selalu berusaha menyeimbangkan tugas antara wawasan dan kritisisme, sehingga
keduanya bekerjasama: bila wawasan-wawasan baru menerobos ke cara pikir lama,
kita jangan menolak cara lama belaka, tetapi berupaya mensintesis [perspektif]
yang lama dan yang baru, untuk membentuk satu keutuhan yang taat-asas. Lembar
mawas terbaik selalu yang memanfaatkan kedua aktivitas komplementer tersebut, seperti yang
tersirat oleh peta yang ditampilkan pada Gambar VI.5.
Dengan
membandingkan peta itu dengan yang terdapat di Gambar VIII.4 dan IX.4, kita
dapati bahwa pada faktanya ada dua tipe “penerobosan” filosofis yang cukup
berbeda. Yang pertama adalah yang saya paparkan di atas: suatu misteri muncul
sendiri melalui suatu wawasan (lihat Gambar X.1a). Namun asal-mula wawasan
misterius hanya kentara sepenuhnya bila kita berusaha memahaminya dengan
dayakritis kita. Tipe penerobosan kedua dicontohi oleh “transvaluasi nilai” ala
Nietzsche, yang dengannya kita menjangkau kenyataan transendental dengan
menggunakan dayanalar (akal) dan/atau dayamau (kehendak) kita sendiri (lihat
Gambar X.1b). Namun melakukan hal itu menimbulkan pernyataan paradoksis yang
menohok cara pikir lazim kita yang analitik. Karenanya, “misteri” merupakan
kata terbaik untuk memerikan apa yang terjadi bila daya-daya sintetik kita memungkinkan kita untuk mengalami
takjub berkeheningan, sedangkan “paradoks” merupakan kata terbaik untuk
memerikan apa yang terjadi bila kita menggunakan daya-daya analitik kita dengan harapan memahami misteri itu.
Dua tipe penerobosan itu bagaikan dua sisi daun, sebagaimana logika analitik
dan sintetik dalam proses berpikir yang jalin-menjalin secara erat dalam
pengalaman kita: keduanya bekerja bersama sebagai aspek-aspek komplementer dari suatu proses
tunggal. Proses pemerolehan wawasan berawal secara khas sebagai intuisi hening
yang menerobos pikiran kita; wawasan itu akan tetap misterius kecuali jika kita
mengkritiknya. Bila
wawasan terkritik itu menjadi tradisi yang mapan, ketakjuban lanjutannya bisa
menghasilkan penalaran yang membawa kita ke suatu wawasan paradoksis yang
bahkan lebih dalam. Bila kita benar-benar menggenggam paradoks ini di keheningan, keseluruhan
proses itu berulang kembali dari awal! Pada masing-masing dari tiga pekan
terakhir matakuliah ini, kita akan sengaja memisahkan proses itu dengan mula-mula
berfokus pada “paradoks”, kemudian pada “misteri”. Dalam melakukannya, kita
jangan lupa bahwa bentuk penerobosan yang berkebalikan itu selalu berlangsung
dalam suatu jurus daur secara diam-diam.
keheningan
batiniah paradoks
wawasan akal
(atau kehendak)
misteri ketakjuban
kritisisme tradisi
(a) Misteri (b) Paradoks
Kata-kata
seperti “misteri” dan “paradoks” bisa menimbulkan kesan bahwa wawasan yang
muncul dari penerobosan semacam itu tidak terang. Keluhan ini saya dengar beberapa kali dari
mahasiswa-mahasiswa Pengantar Filsafat. Namun tentu saja, ada kemungkinan bahwa
penjelasan saya tentang suatu ide tidak terang, atau bahwa pemahaman mahasiswa tertentu tentang penjelasan
yang terang mungkin tertutupi oleh berbagai hal; kita harus waspada, jangan
sampai kita mengira bahwa niscaya ide-ide filosofis itu sendiri tidak terang. Begitu kita akui perbedaan
antara dua jenis kejelasan, akan kita lihat bahwa pandangan-pandangan filosofis
justru merupakan yang paling terang di antara semua ide!
Simaklah
perbedaan antara mendung dan cerah. Pada cuaca mendung sinar matahari
terhalang, sehingga benda-benda yang kita lihat di bawah cuaca ini tidak
seterang dengan yang di bawah cuaca terang. Meskipun anda tidak pernah melihat
bahwa benda-benda terlihat “lebih kabur” pada cuaca mendung, saya yakin anda
memperhatikan bahwa bayangan benda-benda (kalau ada) tidak bisa dipandang dengan sangat terang, padahal
bayangan-bayangan itu menjadi jelas dan tajam manakala matahari muncul. Ini
sebuah tipe kejelasan. Akan tetapi, bagaimana dengan kemampuan kita memandang matahari
itu sendiri? Pada cuaca cerah
dengan disertai terik sinar matahari, kita sulit menatap matahari—bahkan, jika
kita menatapnya terlalu lama, kita bisa menjadi buta! Sebaliknya, pada cuaca
mendung kita dapat menengadah ke arah matahari dalam waktu yang lama tanpa
kemusykilan. Tipe kejelasan yang kedua ini berbeda dengan yang pertama; pada
tipe yang kedua ini, semakin terang sesuatu, semakin sukar bagi kita untuk mengamatinya. Dengan kata lain, pada hari yang terang, sumber cahaya tidak bisa dilihat lantaran terlalu terang; namun demikian, benda-benda yang
diterangi olehnya bisa dipandang dengan lebih jelas.
Kejelasan
filsafat sering bukan laksana benda-benda yang bisa kita lihat berkat adanya matahari,
melainkan laksana matahari itu sendiri. Wawasan-wawasan kita yang paling
mendalam dan paling berbobot ialah yang menjadi paling terang, dan yang karenanya kepastiannya paling
mustahil untuk diragukan. Namun
bila diminta untuk mengungkapkan wawasan semacam itu dengan kata-kata, kita acapkali tak mampu melakukannya
tanpa kemusykilan luar biasa. Bila wawasan yang mendalam tidak begitu terang dalam benak kita,
wawasan itu pada aktualnya lebih mudah untuk dipaparkan. Oleh sebab itu, tes
sejati tentang kejelasan wawasan yang mendalam bukan seberapa baik kita bisa
mengungkapkan wawasan itu sendiri, melainkan seberapa baik kita menggunakan wawasan itu untuk menerangi aspek-aspek
pikiran dan pengalaman kita lainnya. Contohnya, ambillah gagasan bahwa “pengakuan kebebalan” merupakan
titik-awal semua filsafat. Harapan saya adalah bahwa dalam beberapa hal pada
bagian pertama dari matakuliah ini anda terpukul secara tiba-tiba oleh kebenaran ide tersebut:
sementara barangkali anda tidak memahaminya sebelum menempuh matakuliah ini,
sekarang (dengan asumsi bahwa gagasan itu kini telah menjadi wawasan bagi anda)
anda yakin bahwa ide itu dapat menerangi pemahaman kita tentang apakah filsafat
itu. Namun bila ada orang yang meminta anda dalam hal ini untuk menjelaskan tentang bagaimana mungkin anda mengakui
kebebalan anda, bolehjadi anda
akan diam seribu bahasa. Di satu sisi, anda bisa melihat dengan
jelas hasil-hasil wawasan anda;
namun di sisi lain, anda tak mampu menyatakan dengan pasti tentang apa yang
memungkinkan anda [sampai] memiliki hadiah dari visi itu. Intinya, begitulah
ciri khas ide
filosofis pada umumnya: ide itu begitu terang-benderang sehingga
kebenderangannya sering menyebabkan tiadanya orang yang tahan melihatnya secara
langsung.
29. Finalitas dan Paradoks Keindahan
Saya mulai
saja kuliah ini dengan berbagi pengalaman yang patut dikenang yang saya alami
ketika saya tinggal di Inggris. Pada suatu dinihari di musim dingin bersalju,
putri kecil saya terbangun dan menangis. Saat itu merupakan giliran “tugas malam”
saya, sehingga saya bangkit dari ranjang dan menenangkan di sebaik mungkin. Tak
lama kemudian, ia menjadi tenang dan segera tidur lagi. Biasanya pada kejadian
semacam itu saya begitu lelah sehingga, tanpa kesulitan, saya tidur lagi
setelah tugas terselesaikan. Namun waktu itu, saya beranjak keluar dari kamar.
Walaupun saat itu masih amat gelap, saya memutuskan untuk duduk di ruang tamu,
tidak kembali ke ranjang. Ketika saya memandang keluar melalui jendela
apartemen hangat kami, saya melihat bahwa langit yang gelap mulai agak terang
di sebelah timur. Di dalam atau pun di luar, semuanya sunyi. Tiga tingkat di
bawah, di seberang pohon yang cabangnya hampir menyentuh jendela apartemen
kami, jalan besar yang menuju pusat kota belum dipenuhi dengan keramaian
lalu-lalang penglaju harian. Keindahan pemandangan yang lalu tersingkap di
depan mata saya benar-benar tak terlupakan. Di seberang cabang-cabang pohon
yang meranggas, di atas rumah-rumah di seberang jalan, tampak cahaya
lembayung-tua yang lambat-laun menyorong hitam-langit ke sarangnya di barat.
Sesaat kemudian, lembayung itu memudar menjadi merah-tua, lalu makin pudar
menjadi jingga-muda. Ketika langit diterangi dengan campuran ajaib yang terdiri
dari merah, jingga, dan kuning, seberkas cahaya biru-muda mulai naik,
seakan-akan dari laut yang dalam. Begitu mempesona. Saya terpana, nyaris tak
bisa beranjak.
Sewaktu saya
duduk di sana dalam keheningan, di tapal batas antara malam dan siang, “waktu”
itu sendiri tampaknya masih tetap tak beranjak di tengah-tengah perubahan yang
tak-pernah-berubah yang tersingkap di depan saya. Saya ingat, saya mengira
perubahan yang saya saksikan itu berlangsung selama satu jam atau lebih, namun
ternyata itu terjadi selama kurang dari limabelas menit. Ketika akhirnya saya
sadar, saya memutuskan untuk mencoba menangkap “momen” ini dengan kamera foto
sebelum terlalu terlambat. Dengan cara itu mungkin orang yang pada waktu itu
sedang tidur akhirnya bisa melihat pemandangan menakjubkan yang saya saksikan.
Kamera bisa menjadi alat yang efektif bagi seniman, jika dipakai untuk mengubah pemandangan alam dengan cara sedemikian
rupa sehingga menyingkapkan keindahan dasar yang akan tetap tersembunyi bagi mata telanjang. Akan
tetapi, bila kita mesin tersebut dengan harapan menyalin keindahan pemandangan alam telah terwujud
di depan kita, seringkali hasilnya adalah antitesis keindahan artistik.
Sayangnya, potret yang saya hasilkan pagi itu mungkin lebih menggambarkan
keindahan artistik daripada keindahan alam. (Salinan belaka dari alam sudah cukup
buruk, namun salinan dari salinan tersebut bahkan lebih buruk. Bagaimanapun, saya telah menghasilkan
tiruan foto saya itu dalam warna hitam-putih di sini, dengan harapan memancing
imajinasi pembaca untuk mengisi warna-warnanya.)
Mari kita
bayangkan saja bahwa foto ini sudah cukup baik sehingga [diasumsikan bahwa]
anda bersentuhan dengan keindahan pengalaman-di-tapalbatas yang saya alami di
pagi itu. Mengapa kita menimbang pemandangan semacam itu indah? Apa makna kata “keindahan” manakala kita
menggunakannya dalam proposisi seperti “Terbitnya matahari itu indah”?
Bagaimana penimbangan keindahan berhubungan dengan jenis penimbangan lain?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam ini merupakan tugas bidang filsafat yang
disebut “estetika” (dari kata Yunani, aisthetikos, yang bermakna “pencerapan
inderawi” (sense perception)). Daun-daun pengalaman yang tumbuh di cabang pohon filsafat ini begitu
sehat, dan tak asing bagi kita, sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut lebih
dihadapi dengan menggunakan ontologi (studi tentang “yang-ada”) daripada dengan
menggunakan ilmu. Dengan kata lain, walaupun kita takkan cukup berpengetahuan untuk menyusun ilmu keindahan, kita dapat cukup berpengalaman untuk menyusun ontologi keindahan. Itulah, pada faktanya, yang
dilakukan oleh banyak filsuf ketika menangani pertanyaan-pertanyaan tentang
estetika.
Pertanyaan
estetik yang paling sering ditanyakan dalam lembar mawas mahasiswa adalah
sesuatu seperti: Adakah standar obyektif bagi keindahan? atau Adakah pedoman pasti yang bisa kita
manfaatkan untuk mengetes apakah penimbangan semacam itu benar atau salah? Mahasiswa-mahasiswa
hampir selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan negatif. Namun para
filsuf—terutama filsuf yang baik—tidak buru-buru mengasumsikan bahwa penimbangan estetik didasarkan pada
tidak lebih daripada pendapat pribadi belaka. Upaya apa pun untuk menyusun ontologi keindahan akan mengasumsikan bahwa
keindahan adalah
sesuatu, dan mula-mula dan terutama akan berusaha untuk menemukan hakikat
esensi yang tersembunyi itu. Maka, pada jam ini mari kita melihat salah satu
contoh tentang bagaimana filsuf menjawab pertanyaan semacam itu.
Karena di
beberapa kuliah terdahulu saya telah mengambil ide-ide Kant sebagai teladan
dari filsafat yang “baik”, saya lagi-lagi akan menggunakan pendekatannya untuk
menggambarkan bagaimana pertanyaan estetik bisa dijawab. Walaupun ada banyak
pandangan filsuf lain yang layak untuk dipertimbangkan di sini, pandangan Kant,
sebagaimana dalam banyak bidang penyelidikan filosofis lainnya, melambangkan
titik balik dalam sejarah estetika, dan persoalan-persoalan yang ia geluti
masih relevan dengan persoalan estetika kontemporer. Malahan, pemeriksaan
terhadap pandangan estetiknya akan memungkinkan kita untuk memperoleh pemahaman
yang lebih lengkap tentang sistem filsafat kritisnya secara menyeluruh. Pada
Kuliah 8 kita melihat bagaimana Kritik pertamanya menetapkan sudut pandang teoretis
yang dipengaruhi oleh
“fakultas” (yaitu daya mental) “kognisi” (atau pengetahuan). Pada Kuliah 22 kita memperhatikan
bagaimana Kritik
kedua Kant menentukan sudut pandang praktis khas yang dipengaruhi oleh daya
“hasrat” (atau kehendak). Sekarang mari kita periksa bagaimana Kritik ketiga dan terakhir Kant, Critique
of Judgment (1790) memerikan sebuah
sudut pandang baru yang dipengaruhi oleh daya perasaan.
Karena dua
daya pertama tersebut mengambil sudut pandang yang berlawanan, yakni teori dan praktek, Kant mengklaim
bahwa sudut pandang ketiga dibutuhkan untuk membangun jembatan antara keduanya. Sudut pandang ketiga ini
harus bebas (sebagaimana
dalam penimbangan moral kita) dan, sekalipun begitu, juga harus didasarkan pada
obyek yang inderawi (sensible) (sebagaimana dalam penimbangan kognitif kita). Dalam pengertiannya yang
paling luas, “benda ketiga” dalam Sistem Kant ini selalu berisi pangalaman itu sendiri; namun dalam Kritik ketiga itu, fokus utamanya adalah tipe penimbangan tertentu, sehingga saya menyebut sudut
pandang penengah ini “yudisial”. Sudut pandang yudisial berfokus pada
penimbangan yang kita lakukan mengenai jenis pengalaman yang tidak dapat kita
tafsirkan secara langsung dengan menggunakan pengetahuan ilmiah atau praktek
moral—khususnya, penimbangan yang muncul dari daya kita yang merasa “nikmat atau pedih”. Jadi, jika kita
pikir bahwa Kritik pertama
Kant memandang pengalaman dari perspektif kepala dan Kritik kedua Kant memandang pengalaman dari
perspektif perut, maka bisa kita bayangkan bahwa Kritik ketiga Kant memandang pengalaman dari
perspektif hati, organ
fisik yang biasanya diasosiasikan dengan perasaan kita. Seperti penimbangan
moral yang bersesuaian dengan perut (lihat Kuliah 22), penimbangan estetik pun,
menurut Kant, selalu nonkognitif—yakni tidak menghasilkan pengetahuan, yang dihasilkan oleh penimbangan logis
(teoretis) (lihat antara lain, CJ 228). Dalam penimbangan logis, pemikiran kita mengendalikan imajinasi kita untuk
mengungkap kebenaran, sedangkan dalam penimbangan estetik, imajinasi kita mengendalikan pemikiran kita untuk
mengungkap keindahan. Catatan tentang pertalian antara tiga sistem Kant ini sekarang bisa kita
pakai untuk membangun sintesis yang lebih rinci dari Gambar II.8 dan III.4:
I. Kepala: pengetahuan
(kebenaran yang timbul
dari keinderawian)
III. Hati: perasaan
(keindahan yang timbul
dari imajinasi)
II. Perut: kehendak
(kebaikan yang timbul
dari kebebasan)
Ide utama yang
mempengaruhi Kritik
ketiga Kant adalah “finalitas” atau “kebermaksudan” (dua hasil penerjemahan
kata Jerman, endlichkeit). Istilah ini mengacu pada perasaan yang kita miliki bahwa obyek atau
peristiwa kontingen tertentu niscaya mengarah ke suatu tujuan atau ujung—yakni suatu maksud intrinsik yang harus dipenuhi untuk mewujudkan
alasan final perihal
keberadaan obyek atau peristiwa itu. Setengah bagian pertama dari buku tersebut
berkenaan dengan finalitas “subyektif” yang kita alami manakala kita menimbang
“keindahan” atau “keagungan” sesuatu. Setengah bagian kedua dari buku tersebut
berkenaan dengan finalitas “obyektif” yang kita alami manakala hasil
penimbangan kita adalah bahwa suatu obyek alamiah memiliki maksud atau
rancangan. Pada jam ini kita hanya akan memiliki waktu untuk memeriksa dua
contoh pertama Kant tentang finalitas subyektif.
Teori
penimbangan estetik Kant didasarkan pada suatu 2LAR sempurna, yang menentukan
perbedaan antara empat perasaan “yang menggirangkan” dalam obyek-obyek yang
inderawi. Masing-masing menghasilkan tipe hasil penimbangan estetik yang
berlainan: “suatu obyek diperhitungkan sebagai salah satu dari menyenangkan, indah, agung, dan baik (secara mutlak)” (CJ 266). Kant melihat kesesuaian langsung
antara pembedaan ini, pembagian kategori berlipat-empat (lihat Gambar III.9), dan empat
fakultas utama benak (keinderawian, pemahaman, penimbangan, dan akal):
“yang-menyenangkan” adalah yang “menimbulkan kenikmatan seketika” (208) dan
terutama berhubungan dengan kuantitas penimbangan, sebagaimana yang sepenuhnya
terungkap dalam penginderaan; “yang-indah” mensyaratkan “kualitas” yang juga “bisa dipahami”; yang-agung memposisikan “hubungan” antara “yang inderawi” dan penggunaan
pemahaman “yang mungkin adiinderawi” dalam penimbangan insani; yang-baik berisi “modalitas keniscayaan”, yang mensyaratkan siapa pun
untuk sepakat dengan “penimbangan intelektual murni” (266-267, pemiringan huruf dari saya).
Sementara yang-menyenangkan dan yang-indah keduanya dihasilkan dari “penimbangan
rasa”, yang-agung dan yang-baik berakar di “perasaan intelektual, yang lebih
tinggi” (192). Dengan menganggap bahwa itu menentukan sebutan pertama pada
setiap unsur 2LAR, dengan sebutan kedua ditentukan oleh pertanyaan, “apakah
bentuk kegirangan ini universal?”, kita dapat menyusun peta berikut ini:
Yang-baik
(intelek, universal)
kegirangan
berdasarkan-intelek
yang-agung yang-menyenangkan
(intelek, partikular) (rasa, partikular)
kegirangan
berdasarkan-indera
yang-indah
(rasa, universal)
Dalam upayanya
untuk menjelaskan apa yang unik mengenai penimbangan keindahan, apa yang
membuatnya berbeda dengan semua tipe penimbangan lain yang kita ajukan, Kant
membuat perbedaan antara empat “momen” (atau anasir pokok) penimbangan rasa semacam itu. Itu semua
bersesuaian, seperti lazimnya, dengan pola yang ditentukan oeh empat kategori
yang merupakan perangkat spesialnya. Namun karena keindahan itu sendiri paling
menyerupai kategori kualitas, ia memulai ontologinya tentang keindahan dengan deskripsi mengenai “momen
kualitas” (CJ 203);
ini menetapkan bahwa kegirangan yang dialami di suatu obyek yang dinilai indah
harus tanpa kepentingan. “Kepentingan” adalah “kegirangan yang berhubungan dengan representasi
dari eksistensi nyata kita mengenai suatu obyek” (204). Penimbangan yang
menentukan “yang-menyenangkan dan yang-baik” keduanya “selalu berpasangan
dengan suatu kepentingan di obyek itu” (209): yang terdahulu itu bergantung
pada eksistensi sesuatu “yang kesenangannya ditemukan oleh indera dalam
penginderaaan” (205), dan yang terkemudian itu pada eksistensi sesuatu “yang
direkomendasikan oleh akal dengan konsepnya belaka” (207). Sebaliknya,
peninmbangan keindahan, yang merupakan penimbangan murni terhadap rasa, “tidak bersandar pada
kepentingan” (205n): orang yang membuat penilaian semacam itu harus memiliki
“sikap tak peduli secara total” mengenai “eksistensi benda itu yang nyata”
(205). Kalau tidak, Kant mengingatkan, penimbangan kita terhadap rasa akan
“membias” demi kepentingan kita sendiri, bukannya menaksir apakah perasaan kita
benar-benar dianggap sumber “keindahan” yang terpuji pada obyek itu.
Suatu
ilustrasi akan turut menjernihkan tudingan Kant yang pertama itu, dan
barangkali yang paling penting. Mari kita bayangkan tiga kemungkinan situasi
tatkala seseorang mengacu pada “keindahan” matahari. Pertama, bayangkan bahwa
cuacanya begitu cerah pagi ini sehingga anda memutuskan untuk membolos dan
pergi ke pantai pada hari ini. Dalam kejadian ini, saat ini anda mungkin
berbaring di hamparan pasir dengan sobat karib anda, menyerap kehangatan
matahari. Jika anda menoleh ke kawan anda dan berkata “Matahari terasa indah
saat ini”, maka, menurut Kant, anda menggunakan kata “indah” secara salah. Rasa
nikmat anda ini merupakan hasil langsung dari kepentingan anda dalam keberadaan eksistensi matahari,
yang ditimbulkan oleh penginderaan anda akan kehangatannya pada tubuh anda. Jadi,
dalam situasi semacam itu lebih baik anda mengatakan bahwa matahari terasa
“menyenangkan”. Untuk skenario kedua, bayangkan bahwa sekarang anda sedang
berjalan-jalan dengan guru geografi anda, seraya membicarakan berbagai bentuk
kehidupan di bumi. Tiba-tiba anda sadar bahwa matahari bersinar terang di
sekeliling anda, lalu anda berseru, “Indah bukan, matahari melestarikan kehidupan di bumi?”
Ini juga merupakan penggunaan kata “indah” secara salah. Lagi-lagi, rasa nikmat
anda merupakan hasil langsung dari kepentingan anda dalam keberadaan matahari, namun saat ini
kepentingan anda ditimbulkan oleh penangkapan intelektual anda terhadap kebaikan matahari. Skenario ketiga adalah yang
saya paparkan di awal jam kuliah ini. Hanya jika, ketika saya duduk di sana
menatap matahari yang sedang terbit, kenikmatan yang larut di dalam diri saya tidak
berkaitan dengan keberadaan
obyektif matahari, [dan] hanya
jika penimbangan saya tidak didasarkan pada penginderaan yang menyenangkan saya
(pada aktualnya saya sangat kedinginan pada waktu itu!) atau pun pada
penghargaan saya terhadap faedah matahari ([pada waktu itu] saya terlalu lelah
untuk berpikir dengan jernih!), benarkah seruan saya: “Matahari terbit ini indah!”? Namun jika penimbangan saya tidak
didasarkan pada kepentingan saya sendiri di obyek itu, maka didasarkan pada apa? Kant menjawab pwertanyaan ini dalam
pembahasannya tentang tiga ciri dasar khas lain yang terdapat pada penimbangan
keindahan.
Walaupun
penimbangan keindahan selalu subyektif, dan karenanya “tidak bersinggungan
dengan Obyek” (CJ
215), Kant mengemukakan bahwa “kuantitas” penimbangan semacam itu mensyaratkan
bahwa obyek apa pun “menimbulkan kenikmatan secara universal” (219). Oleh sebab itu, ciri khas kedua adalah jenis universalitas
subyektif yang spesial.
Sebaliknya, penimbangan terhadap yang-menyenangkan mengungkap suatu kegirangan
yang subyektif tetapi tidak universal, dan penimbangan terhadap yang-baik mengungkap suatu kegirangan
yang universal tetapi obyektif. Kriteria universalitas subyektif berarti bahwa seorang manusia harus
menganggap bahwa suatu obyek adalah menggirangkan
as resting on what he may also presuppose in every other person; and therefore he must believe that he has reason for demanding a similar delight from everyone. Accordingly, he will speak of the beautiful as if beauty were a quality of the object and the judgment logical [even though it is not] ... (211).
(bila bergantung pada [sesuatu] yang juga bisa ia prakirakan pada semua orang lain; dan oleh sebab itu, ia pasti yakin bahwa ia mempunyai alasan untuk meminta [anggapan] kegirangan serupa dari semua orang. Secara demikian, ia akan membicarakan keindahan seolah-olah keindahan merupakan kualitas obyek dan [seolah-olah] penimbangannya logis ...) (211).
Tidak seperti penimbangan logis sejati, penimbangan rasa “tidak mendalilkan kesepakatan dari semua orang ...;
[penimbangan] ini hanya mempertalikan kesepakatan ini dengan setiap orang” (216). Kita
berasumsi setiap orang akan setuju bahwa matahari itu baik karena melangsungkan
kehidupan, tetapi kita tidak beranggapan setiap orang akan sepakat bahwa mandi-matahari
merupakan pengalaman yang menyenangkan. Dua jenis penimbangan ini sangat apa
adanya. Namun bila kita menilai bahwa sesuatu itu indah, kita merasa setiap orang mestinya membuat penimbangan yang sama jika
ditempatkan dalam posisi yang sama: kita mengambil “ide” bahwa penimbangan kita
merentang “ke semua subyek, sama apa adanya dengan jika ini merupakan
penimbangan obyektif” (285), walaupun kita mungkin mengetahui lebih baik bahwa,
sebagaimana faktanya, setiap orang tidak sepakat.
Ciri khas semua
penimbangan keindahan yang ketiga adalah mengenai hubungan “ujung-ujung” (CJ 219): obyek penimbangan semacam itu harus
memperlihatkan “bentuk finalitas [yakni, kebermaksudan] ... yang lepas dari representasi suatu ujung [yakni, maksud]” (236). Paradoks ini mensyaratkan bahwa,
dalam menilai bahwa suatu obyek adalah indah, kita mengakui bahwa itu eksis
lantaran suatu alasan, karena kita mencerap kebermaksudan batiniah; sekalipun begitu, tidak ada maksud
eksternal yang bisa didapatkan. Ini bukan ilusi, menurut Kant, melainkan bagian
dari makna sesuatu yang disebut indah: menilai bahwa sesuatu indah berarti
menilai bahwa itu menunjuk kepada diri-sendiri, bukan kepada suatu penginderaan yang
menyenangkan atau keadaan yang baik pada urusan di luar obyek. Karena “landasan
penentu” penimbangan semacam itu “adalah finalitas bentuk saja” (223),
Kegirangan kita dalam sesuatu yang indah hanya didasarkan pada keyakinan bahwa
“keadaan representasi itu sendiri” secara intrinsik selayaknya lestari (222).
Sebaliknya, kegirangan kita dalam mengalami sesuatu yang menyenangkan atau yang
baik itu ditentukan oleh tujuan eksternal yang dituju, seperti penginderaan
yang menyenangkan terhadap rasa
makanan yang tersaji dengan baik, atau kemampuan makanan untuk mengatasi rasa
lapar kita. Dengan kata lain, kegirangan dalam yang-indah berarti kegirangan dalam sesuatu yang tidak
hendak kita habiskan, tetapi kita lestarikan, sebagaimana dalam kejadian “momen nirwaktu” yang saya paparkan di
permulaan kuliah ini.
Ciri khas
keempat dan terakhirnya, “momen” modalitas dalam penimbangan keindahan apa pun, adalah bahwa
pengalaman itu pasti menghasilkan “kegirangan-niscaya” (CJ 240). Kant secara berhati-hati menyatakan
perbedaan antara “keniscayaan” pengetahuan empiris yang “obyektif teoretis”, “keniscayaan
praktis” tindakan moral, dan keniscayaan “yang patut dicontoh” dari penimbangan
estetik (236-237). Pengalaman girang dalam suatu obyek yang indah bisa dianggap
sebagai contoh-niscaya hanya jika kita memprakirakan “eksistensi indera umum” (yaitu cara yang
umum dalam mengindera alam), yang bersesuaian dengan “pemahaman umum” yang memungkinkan kita
untuk sepakat pada penimbangan kognitif (238). (Omong-omong, yang terkemudian
ini lebih dekat dengan gagasan tradisonal tentang “indera umum” daripada yang
terdahulu.) Hampir semua orang skpetis yang paling ekstrim berasumsi bahwa
indera umum ini merupakan “syarat-perlu untuk mengkomunikasikan pengetahuan
kita”, sehingga itu bisa juga berfungsi sebagai norma ideal” yang merupakan
basis bagi keperluan penimbangan estetik kita (239). Kant juga mengacu dengan
cara serupa pada suatu “tipe-dasar rasa” yang berfungsi sebagai “model
tertinggi” bagi penimbangan estetik, namun diperingatkan bahwa kemampuan
orang-orang untuk mengaksesnya sangat
bervariasi; “masing-masing orang memperanakkan [tipe-dasar ini] dalam
kesadarannya sendiri” (232), karena inilah keterampilan yang harus diperoleh.
Kant yakin, yang harus kita akses hanyalah “suara universal” yang memberitahu kita “satu-satunya kemungkinan penimbangan estetik yang bisa ... dinilai
sahih bagi setiap orang” (216).
Nah, dengan
memeriksa catatan Kant yang sering paradoksis tentang empat prinsip yang
mendasar bagi hakikat penimbangan keindahan kita secara ontologis, kita dapat
merangkum teorinya dengan peta ini:
kegirangan niscaya
kebermaksudan universalitas
tanpa maksud subyektif
kegirangan tanpa kepentingan
Perhatikanlah
bahwa dua ciri khas yang dipetakan pada garis datar keduanya diungkapkan dengan
menggunakan logika sintetik, sedangkan yang pada garis tegak keduanya cocok dengan logika analitik.
Dengan
diletakkan bersama-sama, empat ciri khas semua penimbangan keindahan tersebut
menyiratkan bahwa penimbangan semacam itu tidak mengarah ke suatu maksud yang
gamblang, tetapi pada suatu misteri yang tersembunyi sedalam-dalamnya di
dalam obyek-obyek tertentu yang
kita alami: ide-ide estetik kita “meregang di belakang sesuatu yang terletak di
luar tapal batas pengalaman” (CJ 314). Di samping memakai istilah “finalitas” (atau kebermaksudan) untuk memerikan misteri itu, Kant juga
mengklaim bahwa, pada hakikatnya,
“yang-indah adalah simbol yang-baik secara moral” (353). Dengan demikian, ia
tidak bermaksud bahwa pengalaman keindahan bagaimanapun bergantung pada pengalaman kebaikan, tetapi hanya
bahwa, sebagaimana penghormatan kepada hukum moral memberi pijakan dalam kehendak
kepada kebaikan moral,
“analogi” antara keindahan dan moralitas pun memberi pijakan di alam kepada
moralitas. Dalam melakukannya, pengalaman seperti itu bekerja untuk mencairkan
ketegangan antara sudut pandang teoretis dan praktis kita (bandingkan Gambar
VIII.2 dan X.2).
Sekarang
marilah kita selangkah mundur dari teori Kant dan bertanya: Apakah ciri khas
dasar semacam itu menetapkan standar obyektif yang dimiliki oelh keindahan? Ya dan tidak! Di
sati sisi, ciri-ciri tersebut menunjukkan bahwa kita menggunakan kata
“keindahan” dengan tepat pada waktu kita bersikap seolah-olah semua orang lain mestinya setuju. Artinya, penimbangan keindahan
mensyaratkan bahwa kita mengambil sudut pandang “hati sehat” (common
sense) yang universal—atau, sebagaimana kita bisa juga
menyebutnya, sudut pandang penyatuan; melalui sudut pandang ini, keragaman
pengalaman-biasa kita dimiliki bersama-sama dengan suatu perasaan
tingkat-mendalam yang umum. Namun di sisi lain, Kant sepenuhnya mengakui bahwa
perasaan ini subyektif, dan bahwa oleh sebab itu orang-orang pasti tidak
sepakat tentang apa yang mestinya dianggap indah (239). Dalam kasus semacam ini, ia
berargumen, jika kedua pihak itu menimbang secara benar-benar estetis, maka
“keduanya ... menimbang secara benar” (231). Tentu saja, ini dimungkinkan hanya
jika kita menafsirkan pengalaman semacam itu dengan menggunakan logika
sintetik. Jadi, meskipun catatannya tentang empat unsur esensial dalam
penimbangan keindahan tidak memberi kita suatu standar obyektif, dalam pengertian seperangkat kriteria
universal yang dapat dipaksakan secara eksternal pada semua kemungkinan obyek, itu sungguh memberi kita suatu standar universal, dalam pengertian seperangkat kriteria
yang bisa diterapkan secara internal pada semua kemungkinan subyek yang mengharapkan pengalaman keindahan.
Dan ini bukan prestasi kecil!
Artinya,
kemampuan kita untuk mengalami keindahan tidak banyak bergantung pada
karakteristik obyektif obyek-obyek yang kita jumpai setiap hari, tetapi pada
apakah kita mampu mengambil sudut pandang ini tatkala situasi yang sesuai dengan itu muncul
sendiri. Dengan kata lain, sebagaimana semua pengalaman penyatuan yang akan
kita periksa di Bagian Empat ini, pengalaman keindahan itu mungkin “menerpa”
kita hanya bila kita siap secara internal untuk menerima misteri pemberian semacam itu. Oleh karena
itu, bisa saja bahwa orang-orang yang tinggal di dekat saya pada pagi hari di
musim dingin di Inggris tersebut, yang mungkin bangun pada waktu yang sama
dengan saya, memandang keluar melalui jendela, dan memperhatikan bahwa tiada yang indah. Kalau saja saya bertemu
dengan mereka, saya merasa sangat mantap bahwa mereka mestinya memperhatikan keindahan matahari yang
sedang terbit tersebut, dan mereka akan memperhatikannya sekiranya memelihara secara
memadai “hati sehat” yang memberi kita rasa keindahan; sekalipun demikian, saya
tidak bisa memaksa
mereka untuk menyetujui penimbangan saya.
Oleh sebab
itu, ontologi keindahan ala Kant menyiratkan bahwa pepatah lama “rumput
tetangga lebih hijau”[3]
memiliki sedikit-banyak kebenaran. Akan tetapi, pepatah itu akan jelas-jelas
disalahtafsirkan jika kita mengasosiasikannya dengan peribahasa relativistik
seperti “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”,[4]
dan diartikan bahwa “apa yang indah dan apa yang tidak indah menurut pikiran
orang-orang yang berlainan tidak menjadi masalah, karena keindahan itu berbeda
bagi setiap orang”. Dengan asumsi bahwa karena keindahan tidak ilmiah lalu itu
pasti khayalan belaka, pandangan yang terlalu umum ini menyingkirkan keindahan
paradoks yang membuatnya sebegitu adanya. Itu karena, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh Kant, sifat subyektif penimbangan-penimbangan semacam itu
(yaitu fakta bahwa penimbangan-penimbangan itu bergantung terutama pada mata
kita sendiri) tidak
menyiratkan bahwa pengalaman kita perihal keindahan semuanya nisbi belaka; pengalaman semacam itu justru
menempatkan kita ke dalam kontak dengan realitas mutlak, suatu misteri yang dilirik sekilas oleh imajinasi kita
tetapi tidak bisa sepenuhnya ditangkap oleh pikiran kita. Hanya karena
keindahan tidak berada di mata saya pada satu momen tertentu tidak berarti
bahwa itu tidak di situ, [tetapi] menunggu diperhatikan dan dirasakan, hanya jika saya berkehendak
untuk merasakan kehadirannya.
30. Persatuan-Kembali dan Misteri Cinta
Apakah cinta itu?
Menjawab pertanyaan
ini penting, atau sekurang-kurangnya mestinya perlu, bagi semua orang, termasuk orang-orang
yang tidak mengenal filsafat. Itu karena kita masing-masing pernah mengalami cinta beberapa kali di masa lalu, kendati
pada umumnya diakui bahwa kesadaran kita tentang cinta sangat bervariasi.
Sebagian orang merasa bahwa mereka jarang mengalami cinta yang lebih dari
sekilas di sana sini, sedangkan sebagian lainnya merasa bahwa mereka harus
menyembunyikan cinta, agar cinta itu tidak berhamburan seperti banjir bandang
yang menyapu obyek-obyek yang dituju olehnya. Hampir semua orang setuju bahwa
cinta merupakan aspek kehidupan manusia yang penting sekali, dan bahwa tanpa
cinta, kehidupan yang maknawi sulit atau mustahil dijalani. Oleh sebab itu,
tidaklah mengejutkan mendapati bahwa cinta biasanya merupakan salah satu topik
yang paling sering dibahas (di samping kebenaran, keindahan, kematian, dan
makna kehidupan) dalam lembar mawas mahasiswa.
Bilamana
mahasiswa-mahasiswa menulis tentang cinta, biasanya ada kecenderungan untuk
menekankan cinta romantik, dan karenanya memandang cinta terutama sebagai perasaan, yang tertuju secara eksklusif terhadap orang idaman yang dikenal selaku “kekasih”. Namun
tentu saja, sebagaimana yang sering ditunjukkan, terdapat beraneka ragam tipe
cinta. Dan sebagian dari tipe-tipe ini lebih tepat dideskripsikan dengan
peristilahan komitmen, yang tertuju secara inklusif terhadap banyak orang yang bukan
idaman. Salah satu cara yang
paling lazim dalam menjawab pertanyaan tentang hakikat cinta adalah mengaku
bebal, dengan mengemukakan bahwa tak seorang pun bisa mendefinisikan cinta, atau bahwa setiap
orang memiliki definisi sendiri-sendiri, sehingga tidak ada definisi tunggal
yang mencakup semua orang. Dalam satu hal, tiada keraguan bahwa itu benar: di antara semua
pengalaman yang dimiliki oleh manusia, cinta tentu saja merupakan salah satu dari yang paling
misterius; dan karena kita masing-masing pasti bergantung terutama pada
pengalaman kita sendiri, memang ada berbagai ide tentang cinta hampir sebanyak orang yang memberi
dan menerima cinta.
Di manakah hal
itu melalaikan filsuf? Sia-siakah upaya untuk memberi catatan filosofis sejati tentang cinta—yakni yang
memaparkan keserupaan dasar antara semua tipe cinta, dan faktor umum yang dalam semua definisi yang berterima? Begiutlah dalam
suatu pengertian. Sebagaimana yang telah kita lihat pada banyak kesempatan,
beberapa pengalaman tak pernah bisa dipaparkan secara mencukupi, khususnya dengan menggunakan logika
analitik saja; dan dalam kasus semacam itu pada aktualnya kita menemukan bahwa
kadang-kadang kita dapat memahami pengalaman kita secara lebih baik di keheningan daripada di kata-kata. Akan tetapi, dalam pengertian lain,
filsuf tak pernah puas dengan keheningan lengkap, tetapi selalu berpegang harpan bahwa kata-kata
agak bisa digunakan untuk mengungkap hal yang tak bisa terungkap. Inilah maksud
bahasa simbolik, sebagaimana yang akan kita lihat dengan lebih penuh di Kuliah
31, dan dimungkinkan oleh logika sintetik. Asalkan kita tidak berharap untuk mencerap cinta selengkapnya, seolah-olah kita bisa
menyederhanakannya menjadi rumus belaka, tetapi hanya berupaya untuk
mempelajari apa yang dimaksud dengan dicerap oleh cinta, saya tidak melihat alasan mengapa kita
tidak sebaiknya mencari filsafat cinta yang memungkinkan kita untuk memandang keragaman
pengalaman manusiawi sebagai bagian dari suatu keutuhan yang menyatu.
Pada faktanya,
ada banyak filsuf, dari Plato dan Aristoteles hingga saat ini, yang telah menyusun
teori tentang cinta. Karena kita tidak punya waktu untuk memeriksa sejarah
filsafat cinta seutuhnya, mari kita lihat lebih dekat ide seorang filsuf yang agak terkini, yang
pencariannya akan makna cinta membawa dia ke beberapa simpulan yang amat memikat.
Orang yang saya bicarakan ini ialah Paul Tillich, yang idenya tentang keimanan
sebagaimana yang terungkap dengan menggunakan simbol-simbol kepedulian hakiki
akan kita periksa di Kuliah 31. Buku kecilnya yang berwawasan luas, Love,
Power, and Justice (1954),
mencurahkan sebagian besar dari satu babnya untuk menjelaskan “Ontologi Cinta”.
Istilah “ontologi” bisa didefnisikan secara agak sederhana sebagai “studi
tentang yang-ada”.
Sekalipun demikian, mari kita secara singkat melihat dengan lebih mendalam
catatan tentang makna istilah ini yang muncul pada permulaan bab Tillich
tentang cinta.
Catatan
Tillich berawal dengan menyiratkan bahwa kata Yunani untuk “ontologi” sebaiknya
diterjemahkan sebagai mengacu pada “’kata rasional’ [logos] yang mencerap ‘yang-ada saja’ [on]” (LPJ 18). Untuk memahami “kata” ini, ia secara
paradoksis mengklaim, “ontologi mengajukan pertanyaan sederhana dan yang
sulitnya tak terhingga: Apa maksud keberadaannya? Struktur [atau karakteristik] umum apa pada
segala sesuatu yang ... turut serta dalam yang-ada?” (19). Ontologi mengakui
bahwa yang-ada “beranekaragam”, tetapi berupaya untuk mempersatukan keragaman itu dengan memaparkan “tekstur
[yang terdapat pada] yang-ada itu sendiri” (20). Setiap orang yang mempunyai
pengetahuan terlibat dalam ontologi, karena “mengetahui berarti mengakui
sesuatu sebagai ada.” Ia membedakan ontologi dari metafisika dengan jalan
berikut ini:
... ontology is the foundation of metaphysics, but not metaphysics itself. Ontology asks the question of being, i.e. of something that is present to everybody at every moment. ... Ontology is descriptive, not speculative. It tries to find out which the basic structures of being are. And being is given to everybody who is and who therefore participates in being-itself. Ontology, in this sense, is analytical. It analyses the encountered reality, trying to find the structural elements which enable a being to participate in being. (23)
(... ontologi ialah pondasi metafisika, tetapi bukan metafisika itu sendiri. Ontologi mengajukan pertanyaan tentang yang-ada, yakni sesuatu yang muncul pada setiap orang pada setiap saat. ... Ontologi itu deskriptif, bukan spekulatif. [Ontologi] itu berusaha mencari tahu struktur dasar yang dimiliki oleh yang-ada. Adapun yang-ada tersaji pada setiap orang yang ada di dalam yang-ada itu sendiri dan yang karenanya turut serta di dalam yang-ada itu sendiri. Ontologi, dalam pengertian ini, adalah analitis. [Ontologi] itu menganalisis realitas yang dihadapi, dengan berupaya mendapatkan anasir struktural yang memungkinkan suatu yang-ada untuk turut serta di dalam yang-ada.) (23)
Walaupun
Tillich tak pernah secara tersurat mengatakannya, pasal ini terang-terang
menyiratkan bahwa ontologi itu analitik dan sekaligus aposteriori (lihat Gambar IV.4): seperti logika,
ontologi itu “analitik”, namun tidak seperti logika, [ontologi] itu
“deskriptif” (yakni secara aposteriori berfokus pada yang-merupakan
(what is), bukan pada apa yang
kita pikir).
Sebaliknya, metafisika itu sintetik dan apriori (sekurang-kurangnya menurut Kant):
metafisika mengajukan pertanyaan di seputar apa yang niscaya sebelum kita mengalami “yang-merupakan”, tetapi
itu mensyaratkan bahwa kita melangkah keluar dari konsep-konsep analitis kita.
Oleh sebab itu, daripada mengatakan bahwa ontologi adalah “pondasi” metafisika,
akan lebih akurat mengatakan bahwa metafisika dan ontologi merupakan dua tugas
yang bertolak belakang yang bagaimanapun saling bergantung, sebagaimana lawanan antara -- dan ++
saling bergantung, dan sebagaimana antara akar dan daun pohon.
Pasal yang
mengandung deskripsi ontologis Tillich tentang cinta pada aktualnya cukup
singkat. Awalnya adalah deskripsi tentang pertalian antara cinta dan kehidupan
itu sendiri (LPJ
25): “Kehidupan merupakan yang-ada pada aktualnya, dan cinta merupakan
dayapenggiring kehidupan.” Dengan kata lain, bila suatu yang-ada tidak lagi yang-mungkin belaka, dan menjadi aktual, kita dapat
mengatakan bahwa itu “hidup”; dan daya inti yang menggiring yang-ada menuju kehidupan dan melalui
kehidupan disebut “cinta”. Ini berarti yang-ada itu memerlukan cinta untuk menjadi “aktual”, dan melalui
cinta kita mempelajari apa yang merupakan cinta pada kenyataannya. Tentu saja
deskripsi itu begitu luas sehingga tampaknya hampir meliputi segala sesuatu!
Maka Tillich mempersempit pemeriannya dengan suatu ide yang dipinjam langsung
dari Symposium Plato:
Love is the drive towards the unity of the separated. Reunion presupposes separation of that which belongs essentially together.... [But] separation presupposes an original unity.... It is impossible to unite that which is essentially separated.... Therefore love cannot be described as the union of the strange but as the reunion of the estranged. Estrangement presupposes original oneness.
(Cinta merupakan penggiring ke arah kesatuan dari yang-terpisah. Persatuan-kembali memprakirakan pemisahan [hal-hal] yang merupakan kepunyaan bersama pada esensinya. ... (Namun] pemisahan memprakirakan suatu kesatuan orisinal. ... Mustahil disatukan [hal-hal] yang pada esensinya terpisah. ... Oleh karena itu, cinta tidak bisa dideskripsikan sebagai persatuan antara yang-asing, tetapi sebagai persatuan-kembali antara yang-terasing. Pengasingan itu memprakirakan kesatuan orisinal.)
Makna dasar
pasal ini bisa dipahami dengan cukup efektif melalui pemetaan ide-ide kunci
pada pasangan segitiga 1LSR yang terlihat pada Gambar V.7 (bandingkan Gambar
III.7). Peta hasilnya, yang tersaji pada Gambar X.5, menggambarkan bagaimana
pengasingan merupakan sebuah langkah-niscaya dalam proses cinta, proses yang membawa
kembali dua lawanan (+ dan -) terasing, yang pernah melekat bersama dalam suatu
kesatuan orisinal (0) yang misterius, secara bersama-sama ke dalam suatu
“persatuan-kembali” (1). Hampir segala pasang lawanan apa pun bisa dipakai
sebagai contoh proses itu. Namun terdapat contoh yang gambalang manakala
seorang pria (+) dan seorang wanita (-) jatuh cinta. Dua pecinta ini, tatkala
saling menatap, ingin lebih dekat dan ingin semakin dekat, sampai, kalau bisa,
berbaur menjadi satu keberadaan (1). Bilamana mereka bersama-sama, mereka
merasa seolah-olah kembali ke rumah lamanya (0); namun tampaknya selalu ada kendala yang pada
puncaknya membuat mereka terasing. Oleh sebab itu, yang niscaya dalam
pembahasan Tillich adalah bahwa persatuan-kembali itu sendiri bukan cinta,
melainkan sasaran yang dituju oleh cinta. Cinta itu sendiri, yang-ada (being) pada cinta, merupakan daya penggiring
ke arah persatuan-kembali.
Artinya, kelirulah pemikiran bahwa cinta merupakan tujuan; cinta adalah daya
pemersatu suatu pertalian, yang memungkinkan dua yang-ada untuk bergerak menuju
tujuan yang lebih tinggi.
pria (+)
kesatuan puncak
asal pengasingan keterasingan cinta persatuan
(0) kembali (1)
wanita (-)
Tillich
mengingatkan para pembacanya untuk tidak membuat kekeliruan, jangan sampai
mereka mengira bahwa sifat dasar deskripsi ontologisnya tentang cinta yang agak abstrak itu emosi yang sering kita asosiasikan dengan
cinta. Cinta begitu saja bisa terjadi tanpa disertai dengan emosi apa pun. Akan
tetapi, bila emosi menyertai cinta, kata Tillich, ontologi cinta membantu kita
dalam menjelaskan mengapa itu muncul. Karena cinta adalah kemudi menuju persatuan-kembali, tentu saja
dimungkinkan mencintai seseorang tanpa banyak berpikir tentang akan seperti
apakah persatuan-kembali yang merupakan keadaan akhir itu. Jika itu terjadi,
maka akan ada sedikit atau tidak ada emosi yang berhubungan dengan cinta,
karena “cinta sebagai emosi adalah antisipasi terhadap persatuan-kembali” (LPJ
26). Sebaliknya, itu berarti
bahwa seseorang yang sering membayangkan keadaan kesatuan dengan orang lain
yang di masa depan meningkat akan mendapati bahwa begitu banyak emosi yang
menyertai pengalaman pergerakan menuju persatuan-kembali itu (yaitu cinta).
Begitu hal itu
diakui, timbullah suatu paradoks yang menarik ketika kita mempertimbangkan apa yang
terjadi tatkala kita mengalami pemenuhan cinta: “Cinta yang penuh, pada saat yang sama,
adalah kebahagiaan puncak dan akhir kebahagiaan. Pemisahan itu tak berdaya.
Namun tanpa pemisahan tidak ada cinta atau pun kehidupan” (LPJ 27) Gagasan pokok Tillich di sini adalah
bahwa hakikat antisipasi kita terhadap suatu tujuan adalah saat pencapaian
tujuan itu, saat pemuasan yang paling memuaskan ialah saat awal rasa kekosongan
dengan prospek bahwa tiada lagi tujuan yang diperjuangkan setelah itu. Itu
memungkinkan kita untuk memahami mengapa tekanan romantik pada cinta sebagai perasaan bisa amat menyesatkan. Tentu saja,
perasaan adalah penting karena ditimbulkan oleh antisipasi kita terhadap
persatuan-kembali; dan jika kita tak pernah mengantisipasi tujuan ini, cinta kita kurang
berkemungkinan untuk berkembang menuju ujungnya yang tepat. Namun bila cinta
tidak dilandaskan secara lebih mendasar pada suatu komitmen kehendak, maka manakala “ujung kebahagiaan”
tiba—karena tak terelakkan—kita akan terkena tanpa dinyana-nyana, dan bahkan
mungkin mengira cinta kita telah pudar, hanya karena perasaan lama kita lenyap.
Hal itu
mengungkap suatu wawasan yang amat praktis mengenai bagaimana kita mesti
memandang pernikahan. Pecinta-pecinta yang memandang pernikahan sebagai tujuan akhir jalinan
[cinta] mereka mungkin akan sangat terkejut begitu menyadari, biasanya tak lama
seusai hari perkawinan, bahwa pernikahan tidak menyenangkan sama sekali: orang
yang pernah dipandang selaku kekasih ideal pasti berubah menjadi orang biasa yang tak
sempurna. Karenanya cerita cinta Hollywood pada khususnya amat menyesatkan:
saya yakin kalian pernah melihat banyak film dan/atau membaca banyak novel yang
mengisahkan pria dan wanita yang saling jatuh cinta, berusaha mengatasi
berbagai kendala demi pemenuhan cinta mereka, akhirnya menkah, dan kemudian
berangkat ke arah tenggelamnya matahari pada akhir film itu, untuk “hidup
bahagia selamanya”. Pada akhir kisah semacam itu sebagian besar dari kita
berkeinginan “sekiranya aku pun demikian ...”. Namun waspadalah: hal yang utuh tersebut merupakan impian
yang mustahil, karena akhir cerita film tersebut mungkin mengawali perjuangan
hidup kita!
Pelajaran yang
diajarkan kepada kita adalah tetapkanlah tujuan-tujuan yang tinggi dalam penjalinan percintaan (bahkan,
barangkali tujuan-tujuan mutlak), [sedemikian rupa] sehingga setiap langkah kecil di sepanjang jalan itu
(setiap “persatuan-kembali mini”, kalau bisa disebut) bisa membawakan
kebahagiaan luar biasa dan, di samping itu, melengkapi kebahagiaan yang dialami dalam proses
penggiringan menuju langkah itu, tanpa mengikis basis jalinan cintanya. Dengan
kata lain, selalu
ada ruang bagi jalinan apa pun untuk tumbuh menuju tingkat cinta yang lebih
mendalam: kita jangan sampai berharap untuk mencapai “cinta sejati”, karena cinta sejati ialah proses pencapaian menuju suatu tujuan puncak.
Pemenuhan tujuan ini merupakan ujung cinta, dan karenanya hanya bisa tiba pada (atau sesudah) akhir kehidupan. Karena itulah,
sebagaimana yang akan kita saksikan di Pekan XII, kematian merupakan topik yang amat penting dalam
ontologi. Namun sementara itu, kita harus mengakui bahwa masalah kita tak
terpecahkan oleh sekadar pemahaman terhadap hakikat ontologis cinta; proses
pemahaman terhadap yang-merupakan cinta, seperti ontologi itu sendiri, adalah
“suatu tugas tanpa akhir” (LPJ 20).
Seusai
melengkapi paparannya tentang hakikat cinta, Tillich menjelaskan empat jalan
terwujudnya cinta yang berlainan. Cinta itu sendiri merupakan “satu” jalan yang dimiliki oleh
yang-ada (LPJ 27);
itu selalu merupakan kendali menuju persatuan-kembali dari yang-terpisah. Namun
kendali ini muncul
dalam banyak bentuk yang berbeda-beda. Keempat bentuk yang dibahas oleh Tillich
itu bisa dianggap sebagai sebuah 2LAR sempurna, yang tersusun dari dua pertanyaan:
(1) Apakah bentuk cinta itu pribadi? dan (2) Apakah itu timpang (sebagai lawan dari saling
memberi)? Secara demikian,
bentuk-bentuk itu bisa dipetakan pada salibnya dengan cara berikut ini:
agape
(adipribadi, timpang)
eros epitimia
(lintaspribadi, (nirpribadi,
timpang saling memberi)
filia
(pribadi, saling memberi)
Peta ini menunjukkan bagaimana epitimia dan filia itu keduanya sama-sama
mensyaratkan bahwa subyek yang mencintai dan obyek yang dicintai itu merupakan
partisipan yang saling memberi (mutual) dalam jalinan cinta, sedangkan eros dan agape itu
keduanya sama-sama mensyaratkan bahwa kedua pihak memiliki peran yang timpang
(unequal); peta itu pun juga
menunjukkan bagaimana eros dan epitimia sama-sama nirpribadi
(impersonal), sedangkan agape
dan filia sama-sama pribadi (personal). Pengertian bahwa “lintaspribadi” merupakan tipe cinta nirpribadi yang istimewa dan “adipribadi” merupakan tipe cinta pribadi yang istimewa akan menjadi jelas bila
kita lihat dengan lebih dekat catatan Tillich tentang bagaimana tipe cinta
masing-masing itu menggambarkan definisinya tentang esensi cinta.
Menurut
Tillich (LPJ 28-30),
kata Yunani “epithymia” (yang bermakna hasrat) kurang-lebih setara dengan istilah Latin “libido”, sebagaimana yang dipopulerkan oleh
Freud (lihat DW
56-61). Istilah-istilah ini mengacu pada hasrat naluriah dasar yang memberi
ciri khas semua binatang, khususnya kendali seksual. Di dalam lubuknya
(dipandang lepas dari tipe cinta lainnya yang sering menyertainya dalam manusia
yang-ada), epitimia itu nirpribadi secara mengakar. Dorengan seksual manusiawi,
misalnya, pada prinsipnya bisa dipenuhi oleh kurang-lebih siapa saja, tanpa
mempedulikan kepribadian mereka, sebagaimana rasa lapar bisa diatasi oleh tipe
makanan apa pun, tanpa mempedulikan seberapa pahit rasanya. Biasanya,
pihak-pihak yang berada dalam hasrat semacam itu saling memberi untuk memenuhi hasrat pihak lain. Dengan
jalan ini, epitimia menimbulkan kenikmatan inderawi dalam proses penggiringan
dua pihak yang terpisah menuju persatuan fisik. Namun Tillich mengemukakan
bahwa dalam ungkapan yang tepat tentang cinta epitimia, “bukan kenikmatan
semacam itu yang dihasrati, melainkan persatuanlah yang memenuhi hasrat
tersebut.” Artinya, dua pecinta tersebut menghasrati persatuan-kembali, dan persatuan-kembali ini menghasilkan kenikmatan. Karenanya, hasrat hewani dasar tersebut
mempunyai hak yang absah untuk disebut “cinta”, walaupun itu hanya mewakili
tipe dasar cinta yang “paling rendah”.
Bila
“epitimia” itu lebih dari sekadar ekspresi persatuan seksual dan dihaluskan
dalam bentuk suatu kendali yang “menuju persatuan dengan bentuk-bentuk alam dan
kebudayaan” (LPJ
30), itu lebih tepat untuk disebut “eros”. Kata Yunani ini (yang terkait secara agak
menyesatkan dengan kata “erotis”) dipakai oleh Plato dan filsuf-filsuf Yunani
kuno lainnya untuk memerikan pencarian persatuan secara filosofis dengan
ide-ide—terutama dengan kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Secara demikian,
itu mengacu pada bentuk lintaspribadi cinta yang “memperjuangkan persatuan dengan yang
merupakan pembawa nilai-nilai”. Tidak seperti epitimia, bentuk cinta nirpribadi
yang lebih tinggi ini pada dasarnya berat sebelah atau timpang, dalam arti bahwa si “pecinta” berjuang
menuju sesuatu yang tidak perlu menanggapi dengan suatu kendali mutual menuju
kesatuannya sendiri. Kebenaran, kebaikan, dan keindahan acapkali tidak bisa
kita berlakukan ketika kita mencoba menangkapnya. Pernahkah anda tiba-tiba
menyadari bahwa apa yang dulu anda pikir benar pada aktualnya palsu? Pernahkah anda
berusaha melakukan sesuatu yang baik, namun akhirnya perilaku tersebut justru
anda kenal sebagai salah? Atau pernahkah anda ditertawakan lantaran pilihan
anda dalam berbusana, atau dalam sesuatu hal lain yang memerlukan penimbangan
rasa? Jika ya, maka anda telah mengalami perjuangan yang secara tak terelakkan menyertai
kendali eros yang menuju persatuan kembali dengan obyek penilaian yang
berkepala batu.
Tillich
mengacu pada kesalingbergantungan mutual antara eros dan “philia” (kata Yunani untuk persahabatan) sebagai jalinan “kutub” (LPJ 31). Ini tercermin dalam Gambar X.6 oleh
dengan bahwa kedua istilah ini muncul pada posisi “nirmurni” (+- dan -+) salib
(walau saya akan mengacu pada ini sebagai bentuk kesalingbergantungan
“kontradikter”). Sebagai cinta yang benar-benar “personal”, filia merupakan
prasyarat bagi eros, karena orang tak bisa lewat dari yang nirpribadi ke yang melampaui yang pribadi sebelum orang itu mencapai
keadaan-pribadi (personhood). Secara demikian, filia tidak hanya mengacu pada persahabatan
konvensional, tetapi juga pada kendali mutual yang menuju kesatuan yang memberi ciri jalinan
keluarga dan semua jalinan antarindividu lainnya dalam suatu kelompok umum.
Sebagaimana yang diletakkan oleh Tillich (32): “Cinta sebagai filia itu memprakirakan sejumlah familiaritas
dengan obyek cinta. Lantaran alasan inilah Aristoteles menegaskan bahwa filia itu hanya mungkin terjadi di antara
pihak-pihak yang setara.”
Sementara tiga
tipe cinta yang pertama itu berkaitan erat dengan pengalaman manusia, Tillich
mengklaim bahwa tipe keempat, yang dikenal sebagai “agape” (kata Yunani untuk
kasih yang dipakai terutama dalam Perjanjian Baru), berbeda jauh:
One could call agape the depth of love or love in relation to the ground of life [i.e., God]. One could say that in agape ultimate reality manifests itself and transforms life and love. Agape is love cutting into love, just as revelation is reason cutting into reason ... (LPJ 33)
(Kita bisa menyebut agape kedalaman cinta atau cinta dalam hubungannya dengan alas cinta [yaitu Tuhan]. Kita bisa mengatakan bahwa dalam agape, realitas terdalam itu muncul sendiri dan mengubah kehidupan dan cinta. Agape ialah cinta yang menerobos ke dalam cinta, sebagaimana wahyu ialah akal yang menerobos ke dalam akal ...) (LPJ 33)
Tidak seperti eros, yang melampaui filia dengan penggiringan menuju
kesatuan lebih tinggi yang melampaui keadaan-pribadi, agape melampaui filia dengan
penggiringan menuju kesatuan lebih tinggi yang [ada] di dalam keadaan-pribadi. Agape mencapai jenis
cinta adipribadi ini
melalui pembalikan tujuan yang ditetapkan oleh eros. Akan tetapi, agape itu seperti eros, sejauh keduanya memprakirakan suatu
jalinan yang secara mendasar timpang antara yang-mencintai dan obyek cinta: sementara
eros adalah pengendali orang yang kekurangan nilai yang menuju kesatuan dengan obyek yang bernilai secara intrinsik, agape adalah pengendali
orang yang mempunyai nilai yang menuju kesatuan dengan obyek yang di dalam lubuknya tidak
memiliki nilai bagi si pecinta.
Inilah jenis cinta yang menurut orang-orang Nasrani dimiliki oleh Tuhan [yang
diperuntukkan] bagi manusia dan yang mestinya kita miliki terhadap orang-orang
yang secara alamiah takkan kita cintai. Dari sudut pandang ontologis, inilah
tipe cinta yang paling berbobot, khususnya karena mempunyai status aposteriori
analitik yang sama dengan status ontologi itu sendiri (bandingkan Gambar I.1,
IV.4, dan X.7). Status ini diungkapkan dengan menggunakan logika sintetik dalam
perintah Yesus bahwa kita harus mencintai musuh kita.
Untuk menyimpulkan
kajian kita pekan ini tentang perasaan yang bersatu, mari kita memanfatkan
ontologi cinta ala Tillich, dan terutama pandangannya tentang perbedaan antara
agape dan eros, untuk dengan cara lain menyatakan persoalan yang saya kutip
dari Lessing (melalui Kierkegaard) pada awal Kuliah 22. Masih ingatkah kalian
akan pertanyaan itu? Kalau tidak, saya harap anda membuka dan membacanya lagi;
kemudian, melupakannya kembali, kalian harus mencurahkan sedikit waktu untuk
berpikir tentang bagaimana anda akan menanggapinya. Lessing, bersama-sama
dengan Plato dan orang lain yang menekankan pencarian hal ideal yang “surgawi”,
memilih pencarian sepanjang hayat. Menurut kalian, apa yang akan dipilih oleh
Tillich? Begitu kita akui bahwa “pencarian sepanjang hayat” sangat bersesuaian
dengan eros,
sedangkan pemerolehan “semua kebenaran” bersesuaian dengan agape, jelaslah bahwa Tillich akan memandang
keduanya sebagai komplementer. Kalau begitu, ide inti bahwa kita harus memilih salah satu itu merupakan suatu kekeliruan; lantaran
masing-masing mempunyai tempat sendiri yang tepat dalam kehidupan.
Mengaitkan
agape dan eros dengan keindahan dan keagungan bisa dengan tepat menggambarkan
dua bentuk penerobosan (lihat Gambar X.1). Kita mengalami agape manakala Kebenaran tiba-tiba
menerobos cara pikir kita sehari-hari dan meletakkan kita ke dalam suatu
komunikasi dengan Misteri kehidupan. Agape bermula tatkala logika sintetik
menerobos cara pikir kita
sehari-hari, yang analitik, dengan suatu contoh hukum non-identitas yang konkret:
[hukum] ini mengajarkan kita untuk menerima keindahan hal-hal yang kita kira buruk dalam diri
kita sendiri dan dalam orang lain, dan/atau untuk menolak keburukan hal-hal
yang kita kira indah (A=-A). Sebaliknya, kita menerima eros dengan secara aktif
berburu pencarian abadi demi alat penerobosan tapal batas yang secara
tradisional mengikat kita. Eros bermula dengan asumsi logika analitik; namun segera sesudah kita capai
penerobosan, kita sadar bahka kita dapat membicarakan penerobosan ini hanya dengan menggunakan
hukum kontradiksi yang paradoksis: [hukum] ini mengajarkan kita bahwa pencarian
akan kebenaran mensyaratkan
pengakuan luhur bahwa kebenaran bukan Kebenaran (A?A); kita takkan mampu maju
kecuali jika kita memandang pencarian akan kebenaran harfiah sebagai bagian
dari pencarian luhur akan Kebenaran simbolik. Jadi, kita dapat melukiskan
pertalian komplementer antara eros, agape, keindahan, dan keagungan sebagai
berikut:
agape keagungan
(A?A)
misteri paradoks
keindahan eros
(A=-A)
A?-A A=A
(a) Agape dan Keindahan (b) Eros dan Keagungan
Pemeriksaan
kita terhadap keindahan dan cinta pekan ini merupakan contoh bagaimana kita
semua mengalami paradoks dan misteri persatuan perasaan. Pekan depan kita akan melihat bagaimana
beragama pun membawa paradoks dan misteri. Untuk sekarang, biarlah saya
mengulang salah satu pelajaran terpenting yang telah kita pelajari dari
Tillich: bahwa baik kesatuan maupun keragaman, baik keyakinan kepada Kebenaran
“surgawi” yang misterius maupun pencarian terhadap-Nya sepanjang hayat, pasti
eksis secara berdampingan supaya cinta dalam perwujudannya yang paling penuh
itu terus tumbuh dan subur. Oleh sebab itu, seharusnya jelas bahwa tidak ada
jawaban langsung terhadap pertanyaan Lessing, lantaran tersirat bahwa, secara
paradoksis, terus mengajukan pertanyaan itu lebih penting daripada menetapkan salah satu sisi sebagai
jawaban yang benar secara eksklusif.
Pertanyaan Perambah
1. A.
Apakah keheningan memiliki suara?
B.
Bisakah wawasan dikendalikan?
..............................
..............................
2. A.
Apa maksud perkataan bahwa kesatuan ada “dalam
keragaman”?
B.
Mungkinkah orang yang memiliki “semua
kebenaran” masih mencari kebenaran?
..............................
..............................
3. A.
Apakah keindahan hanya berhubungan dengan pencerapan
inderawi?
B.
Bisakah kita mengetahui bahwa obyek
tertentu indah?
..............................
..............................
4. A.
Mungkinkah ada ontologi benci?
B.
Jika tujuan cinta takkan bisa tercapai, apa faedah mencintai?
..............................
..............................
Bacaan Anjuran
1. Richard
Foster, Celebration of Discipline,
Bab 7, “The Discipline of Solitude” (CD
84-85).
2.
James P. Carse, The Silence of
God: Meditations on prayer (New York: Macmillan, 1985).
3.
Max Picard, The World of Silence
(South Bend: Gateway Editions, 1952).
4.
Immanuel Kant, Critique of
Judgement, Bagian I, Critique of
Aesthetic Judgement, §§1-22, “Analytic of the Beautiful” (CJ 203-244).[5]
5.
Erazim Kohák, The Embers and the Stars:
A philosophical inquiry into the moral sense of nature (Chicago: University
of Chicago Press, 1984).
6.
Paul Tillich, Love, Power, and
Justice, Bab II, “Being and Love” (LPJ
18-34).
7.
Erich Fromm, The Art of Loving
(London: George Allen & Unwin, 1957), terutama Bab I-II, “Is Love an Art?”
dan “The Theory of Love”, pp. 9-61.
8.
Stephen Palmquist, Dreams of
Wholeness, Bab X, “Psychology of Love” (DW
211-235).[6]
Catatan Penerjemah
[1] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, kata kata “hening” diartikan sebagai: (1) “jernih; bening; bersih;” dan (2) “diam; sunyi; sepi; lengang.” Tampaknya, arti yang lebih sesuai dengan kepentingan kita di sini adalah yang pertama, bukan yang kedua.
[2] Muhammad Rasulullah memperoleh wahyu pertama setelah melakukan beberapa kali perenungan dalam keheningan di Gua Hira (namun selekas wahyu berikutnya turun, yaitu Surat al-Muddatsir, Muhammad dilarang mengasingkan diri dari masyarakat). Perenungan yang dilakukan oleh Muhammad (dan menurut Al-Qur’an) lebih menonjolkan dzikir (yakni ingat akan Allah). Istilah islami untuk keheningan adalah “kekhusyukan” (yakni tidak memikirkan apa pun kecuali memikirkan Allah).
[3] Saduran dari “beauty is in the eye of the beholder”.
[4] Saduran dari “different strokes for different folks”.
[5] Untuk alternatif, lihat http://www.vt.edu/vt98/academics/books/kant/judgemnt
[6] Buku ini sudah saya terjemahkan dan akan segera terbit dengan judul Bulat Mimpi Bulat Impian: Kuliah Pengantar Psikologi Menuju Kepribadian Religius.
Send comments (in English)
to: StevePq@hkbu.edu.hk
Back to the Index of Pohon Filsafat.
Back to the English
version of The Tree of Philosophy.
Back to the listing of Steve Palmquist's published
books.
Back to the main map of Steve
Palmquist's web site.
This page was first placed on the web on 27 April 2003.