Pekan XI
Takjub Simbolik: Beragama
31. Numinus dan Simbol-Simbolnya
Filsafat
berawal dengan ketakjuban. Inilah pandangan Plato yang terungkap dalam
Theaetetus (CDP 155d) dan digemakan oleh banyak filsuf lain
selama berabad-abad. Takjub dalam pengertian ini bukan sekadar bengong
tertegun, melainkan penasaran terhadap sesuatu yang tak dikenal, yang
menggiring kita untuk mencari makna yang mendasar di balik keragaman hayati
kita, yang mendorong kita ke lubuk wawasan dan puncak pengetahuan yang selalu
baru. Saya memilih mengantarkan anda kepada filsafat di matakuliah ini dengan
tidak mengawalinya dengan ketakjuban, tetapi dengan lawanannya, kebebalan.
Itu karena penahapan logis bagian-bagian dari pohon filsafat
berlawanan dengan penahapan kronologis normal pada pengalaman kita
dalam berfilsafat. Di kuliah-kuliah ini saya berupaya menjelaskan
filsafat sedemikian rupa sehingga, dengan menuntaskan matakuliah ini, anda akan
mampu menempuh pengembaraan filosofis anda sendiri. Itu berarti bahwa, walaupun
mungkin cara terbaik untuk belajar filsafat adalah bergerak dari
metafisika melalui logika dan ilmu ke ontologi, cara terbaik untuk berfilsafat
mungkin bergerak dari ketakjuban melalui kealiman dan pemahaman ke pengakuan
sepenuhnya akan kebebalan anda sendiri.
Ketakjuban
berkaitan terutama dengan kekaguman kita terhadap pengalaman insani yang amat
beragam, khususnya pengalaman yang menelurkan pertanyaan yang tidak terjawab
dengan penalaran logis belaka, tetapi dengan mengalami pengalaman itu
sendiri. Jenis ketakjuban filosofis yang paling dasar ialah ketakjuban tentang makna
kehidupan. Kita tak bisa
memuaskan ketakjuban itu cuma dengan menyusun teori metafisis, mempertajam
keterampilan pemikiran logis kita, atau memperdalam kedalaman dan jangkauan
pengetahuan kita. Alih-alih, makna kehidupan muncul secara bertahap dari kemauan kita untuk
terbuka terhadap jenis-jenis pengalaman “ajaib” yang kita bahas di Bagian Empat
ini. Kendati pembahasan kita tentang pengalaman-pengalaman itu bergantung pada kata-kata sebagaimana dalam kuliah-kuliah
terdahulu, kita harus mengingat-ingat bahwa kita mengalami ketakjuban yang paling berbobot dalam keheningan. Semua jawaban yang kita periksa sebagai
“jawaban” yang bolehjadi terhadap berbagai masalah yang diangkat di Bagian
Empat ini memudar dalam kesepelean bila kita bandingkan dengan jawaban hakiki yang kita terima manakala kita mengalami
ketakjuban lantaran keheningan. Itu karena ketakjuban berkeheningan, lebih dari
kata-kata sebanyak berapa pun, bisa menanamkan timbangan sejati tentang realitas kita sendiri, dan dapat mendorong kita ke
tingkat keutuhan
yang oleh kata-kata belaka tak terungkap, yang memberi makna terdalam bagi
keragaman kata-kata kita.
Karena anda
telah belajar berfilsafat, saya harap anda telah mengalami jenis ketakjuban filosofis
ini. Sesungguhnya, salah satu alasan lain untuk mengawali matakuliah ini dengan
kuliah-kuliah tentang kebebalan adalah bahwa saya rasa, itu merupakan salah satu cara terbaik untuk
membangkitkan ketakjuban pada diri orang-orang yang pandangan kealaman ilmiah
modernnya cenderung memisahkan mereka dari banyak pengalaman yang pada dahulu
kala merupakan bagian alamiah
dari kehidupan setiap orang, sebelum teknologi mendominasi masyarakat. Saya
telah mempertimbangkan untuk mengajar matakuliah ini dengan urutan terbalik,
yang berawal dengan kuliah tentang kematian dan berakhir dengan kuliah tentang
mitos. Meskipun barangkali ini akan membuat matakuliah kita lebih menarik pada
permulaan, dan sehingga lebih cepat menarik anda ke suatu kajian filsafat yang
serius, akan ada bahaya yang berupa menafsiran jenis pengalaman yang dibahas di
sini secara terlalu ilmiah, tanpa mengakui misteri menakjubkan yang
ditunjukkannya. Hari-hari ini, ketika keindahan amat sering terkunci di dalam
kurungan dinding museum, ketika pengalaman keagamaan amat sering diidentifikasi
dengan perbuatan yang “gerejawi”, ketika kematian amat sering terjadi di
bangsal rumahsakit secara anonim, maka kita semua terlalu gampang untuk mengira bahwa kita benar-benar telah mengalami
misteri kehidupan, walau, pada faktanya, yang kita lakukan hanyalah memisahkan
diri dari hal yang hakiki melalui perangkap teknologi. Saya harap, pengakuan kebebalan kita perihal realitas hakiki itu
menggoncang anda dari kepuasan kepada diri sendiri yang membunuh naluri ketakjuban
kita.
Blaise Pascal
(1623-1662) ialah salah satu contoh filsuf terbaik yang menghargai nilai
kejut yang terdapat pada
pengakuan kebebalan manusia, di samping hubungan antara pengakuan semacam itu
dan ketakjuban
filosofis. Kumpulan wawasannya, yang disebut Pensées, dipenuhi dengan pasal-pasal yang
mengungkapkan ketegangan eksistensi manusia, sebagaimana berikut ini:
What a chimera then is man! What a novelty! What a monster, what a chaos, what a contradiction, what a prodigy! Judge of all things, imbecile worm of the earth; depositary of truth, a sink of uncertainty and error; the pride and refuse of the universe!
... Know then, proud man, what a paradox you are to yourself. Humble yourself, weak reason; be silent, foolish nature; learn that man infinitely transcends man, and learn from your Master your true condition, of which you are ignorant. Hear God....
Whence it seems that God, willing to render the difficulty of our existence unintelligible to ourselves, has concealed the knot so high, or better speaking, so low, that we are quite incapable of reaching it; so that it is not by the proud exertions of our reason, but by the simple submissions of reason, that we can truly know ourselves. (PP 434)
(Maka betapa terbelah manusia! Betapa ganjil! Betapa mengerikan, betapa kacau, betapa berlawanan, betapa aneh! Penimbang segala hal, cacing-tanah dungu; penjaga kebenaran, benaman ketidakpastian dan kekeliruan; harga diri dan sampah alam semesta!
... Maka kenalilah, orang nan congkak, alangkah paradoksnya engkau dengan dirimu sendiri. Rendahkanlah dirimu, akal nan lembik; heninglah, alam nan tolol; ketahuilah bahwa manusia melampaui manusia secara tak terbatas, dan ketahuilah dari Tuanmu kondisi sejatimu, yang takkan kauketahui. Simaklah Tuhan. ...
Lantaran itu rupanya Tuhan, yang kepada kita sendiri hendak menganugerahkan kendala eksistensi kita yang tak terpahami, menyembunyikan benang-kusut begitu tinggi atau, dengan kata lain yang lebih baik, begitu rendah, sehingga kita sungguh tak mampu untuk mencapainya; sehingga bukan dengan memutar otak kita yang besar kepala, melainkan dengan menyerahkan akal begitu saja, bahwa kita bisa betul-betul mengenal diri kita sendiri.) (PP 434)
Paradoks-paradoks Pascal membawa kita melampaui cara pandang kealaman kita sehari-hari,
dan memperhadapkan kita dengan kenyataan transenden yang misterinya mengobarkan
ketakjuban yang berkeheningan di lubuk hati kita.
Hari ini saya
akan memperkenalkan salah satu cara untuk mengalami ketakjuban berkeheningan
yang paling umum dan namun berbobot: yakni disiplin yang obyeknya adalah
realitas hakiki yang oleh kebanyakan orang disebut “Tuhan”. Sebagaimana yang
kita lihat pekan lalu, salah satu nama tradisional yang dilekatkan pada tugas
filosofis tentang pemahaman hal itu dan cara-cara untuk mengalami “kesatuan
dalam keragaman” lainnya tentang hal-hal yang eksis ialah “ontologi”—yakni
“studi tentang yang-berada”. Ontologi, studi tentang yang-merupakan, adalah salah satu metode yang digunakan oleh
para filsuf untuk mengendurkan berbagai ketegangan yang tercipta oleh penalaran
filosofis kita. Contohnya, Kant tidak hanya mengakui ketegangan antara
kebebasan dan takdir, sebagaimana yang kita saksikan di Kuliah 22, tetapi juga
mengemukakan bahwa manusia mempunyai “kebutuhan praktis” untuk mencairkannya dalam rangka
menghargai “totalitas” pengalaman dan pengetahuan insani. Kita mengamati di
Kuliah 29 bagaimana ia pada mulanya berupaya mencairkan ketegangan ini dengan
mengambil sesuatu yang menyerupai sudut pandang ontologis dalam catatannya tentang
peran keindahan dan tujuan alam. Di Kuliah 32 dan 33 pekan ini kita akan
memeriksa contoh dari Kant yang paling signifikan tentang bagaimana ketegangan
antara teori dan praktek dicairkan dalam pengalaman.
Studi
ontologis mengenai pengalaman insani tentang yang-transenden (yaitu Tuhan)
acapkali diakui sebagai salah satu tugas cabang filsafat (terapan) yang dikenal
sebagai “filsafat agama”. Akan tetapi, ruang lingkup disiplin ini mestinya
terbatas pada persoalan-persoalan yang lebih berkaitan langsung dengan pengetahuan kita, antara lain: argumen tentang
keberadaan Tuhan, hakikat dan keandalan keyakinan dan bahasa religius, dan
masalah evil
(kenistaan atau kejahatan). Yang bertugas memahami sesuatu yang secara khas
disebut “pengalaman religius” adalah cabang-cabang pohon filsafat selama kita mengajukan
pertanyaan bisakah atau tidak bisakah pengalaman semacam itu memberi kita pengetahuan
tentang Tuhan.
Pengalaman-pengalaman yang apa adanya lebih tepat untuk diperiksa pada daun-daun pohon tersebut. Namun istilah umum
“pengalaman religius” bisa menyesatkan karena bisa diambil untuk menyiratkan
bahwa pengalaman semcam itu hanya bisa terjadi pada orang-orang yang menganut agama yang mapan. Padahal pada faktanya,
sebagian orang yang tidak religius dalam pengertian tradisional benar-benar
mengalami tipe tersebut pada suatu saat dalam kehidupan mereka. Ini menyiratkan
bahwa kita membutuhkan nama baru untuk mengacu pada pengalaman semacam itu tatkala menelaah sifat
ontologisnya.
Rudolf Otto
(1869-1937) ialah seorang teolog Jerman yang mengambil kerangka Kantian dalam
berupaya menyusun interpretasi yang seksama tentang agama dan pengalaman
keagamaan. Penekanannya pada penyelidikan tentang esensi manifestasi
empiris pengalaman religius itu
amat berbeda dengan penekanan Kant pada pondasi rasionalnya. Sekalipun begitu, Otto yakin bahwa
idenya bisa berfungsi sebagai komplemen yang berguna bagi ide Kant. Sesudah
menyelidiki kemiripan antara pengalaman-pengalaman religius orang di banyak
tradisi yang berlainan, khususnya yang biasanya dianggap “mistis”, Otto menulis
sebuah buku, yang berjudul The Idea of the Holy (1917), yang mengajukan suatu deskripsi yang kini
terkenal tentang sifat fundamental pengalaman semacam itu.
Karena tidak
di semua tradisi keagamaan kata “Tuhan” digunakan, dan karena tradisi yang
mengacu pada Tuhan pun pasti memberlakukan nama dan/atau deskripsi yang
berlainan tentang Tuhan, Otto memutuskan untuk menghindari pemakaian kata
“Tuhan” sebisa mungkin. Di samping itu, dalam pemeriksaan fenomena polos pengalaman kita (yaitu ketika kita
hanya berfokus pada yang kita amati), pada aktualnya kita tidak mendapati Tuhan semacam itu. Yang kita jumpai ialah
berbagai tipe pengalaman. Oleh sebab itu, Otto menciptakan kata “numen” dan “numinus” (numinous) untuk mengacu pada “kehadiran” Tuhan.
(Ingatlah, Kant membuat perbedaan antara “fenomena” dan “nomena” dengan cara
serupa (lihat Gambar III.5).) Tentu saja, kebanyakan orang menyebut obyek
tersebut “Tuhan”. Namun tujuan Otto bukan mengusulkan teori mengenai obyek yang
menyebabkan pengalaman semacam itu (yakni apakah itu benar-benar Tuhan, ataukah
alam, ataukah hanya sesuatu yang kita santap dalam perjamuan); alih-alih, ia
hanya ingin menyediakan deskripsi fenomenologis tentang apa yang terjadi. Omong-omong, itulah metode khas yang
diterapkan dalam berontologi. Karena itu, ontologi dan “fenomenologi”—yaitu
pemaparan ciri esensial fenomena yang kita alami—selalu menjadi disiplin yang
cenderung saling berkaitan erat.
Menurut Otto,
perasaan yang-berada dalam kehadiran numen, suatu realitas transenden yang “sepenuhnya tidak
lain” kecuali diri saya sendiri, merupakan pengalaman insani dasar, dan
karenanya harus berfungsi sebagai titik tolak segala ontologi pengalaman
religius. Hasil dari
mengalami kehadiran numinus ini adalah merasa terkesan secara mendalam dengan kebergantungan saya sendiri kepadanya. Ini menimbulkan
suatu hal yang oleh Otto disebut “rasa-kemakhlukan”. Ia mengingatkan, jangan
tergoda untuk menganggap “rasa kebergantungan”
(sebagaimana Schleiermacher menyebutnya) ini sebagai realitas primer,
dan [jangan tergoda untuk] mengira bahwa dari situ kita menyimpulkan keimanan kepada suatu obyek dasar. Otto
justru menyatakan, mula-mula obyek itu muncul sendiri kepada kita secara misterius, dan
perasaan mistisnya hanya mengikutinya sebagai akibat. Tak peduli apa yang kita yakini perihal
Tuhan, kehadiran numinus ini akan muncul kepada kita sebagai sesuatu yang bisa
diperikan dengan menilik ide tentang yang “suci”.
Otto
mengerahkan banyak usaha demi tugas untuk menjelaskan hakikat pengalaman kita
tentang numinus. Ia mengemukakan, obyek “suci” itu “nonrasional” dan sekaligus
“nonmoral”. Ini tidak berarti bahwa [obyek] tersebut irrasional dan immoral, tetapi hanya bahwa pertanyaan
tentang rasionalitas dan moralitasnya tidak relevan bila itu mendatangi
perasaan yang ditimbulkan oleh pengalaman yang semendalam itu. Selanjutnya Otto
menamai perasaan ini “mysterium tremendum” dan mengemukakan bahwa ini mencakup lima “unsur”
yang berbeda: keseganan, kemegahan, urgensi, misteri, dan pesona. Perasaan segan
(awe) mengacu pada sejenis
ketakutan atau kengerian (suatu debaran) dalam kehadiran sesuatu yang misterius. (Kita akan melihat lebih dekat perasaan
ini pada Kuliah 34.) Pengakuan kemegahan (majesty) obyek numinus membangkitkan rasa rendah-hati
(atau “rasa-kemakhlukan”) di dalam diri kita. Fakta bahwa itu merupakan pengalaman nyata yang dialami oleh obyek yang hidup, dan bukan sekadar teori filosofis
abstrak, terungkap dalam “energi” atau urgensi yang kita rasakan manakala kita mempunyai
pengalaman semacam itu. Urgensi ini kadang-kadang bisa menambah rasa ngeri
kita, sebagaimana ketika itu datang dalam bentuk “murka Tuhan”, tetapi itu juga
menimbulkan pengakuan bahwa obbyek ini “sepenuhnya lain” (yakni misterius). Perasaan-perasaan itu agak negatif
sejauh ini, dan mungkin dengan sendirinya menyebabkan kita lari dari obyek
numinus itu; namun perasaan-perasaan tersebut diseimbangkan oleh rasa pesona yang mempertahankan ketertarikan kita
secara mendalam terhadap pengalaman itu dan terhadap obyek yang tak dikenal
itu. Dengan selesainya paparan singkat tentang teori Otto itu, kita dapat
meringkasnya dengan mengkombinasikan dua peta pada Gambar X.1, sebagaimana
dalam Gambar XI.1.
numinus
pengalaman
religius
“numen”
ide tentang
yang suci
pesona,
segan, dsb.
Layak disebut
bahwa Kant sendiri memiliki kesadaran yang berbobot tentang jenis pengalaman
numinus itu. Umpamanya, pasal yang menyimpulkan Critique kedua (yang dikutip di atas, pada akhir
Kuliah 22) mengacu pada “langit berbintang di atas saya” dan “hukum moral di
dalam diri saya” sebagai pengalaman dasar (“Saya melihat keduanya di depan saya”), yang menimbulkan
perasaan “kekaguman dan keseganan”, sebagaimana pada rasa urgensi misterius dan
kebergantungan (“Saya langsung mengasosiasikan keduanya dengan kesadaran akan
eksistensi saya sendiri”): kita hampir tak bisa mengutip contoh deskripsi
ontologis Otto yang lebih baik tentang pengalaman religius! Di samping itu,
Kant di tempat lain memaparkan pengalaman yang sama dengan itu melalui
peristilahan “tangan Tuhan” di alam dan “suara Tuhan” di hati kita. Bagi Kant,
dua jalan yang dimiliki oleh akal dalam memperlihatkan diri kepada manusia ini
mensahihkan sendiri, karena “tangan Tuhan” melambangkan sumber pengetahuan ilmiah kita dan “suara Tuhan”
melambangkan kebaikan moral kita. Secara demikian, keduanya mempersatukan
keragaman tanpa-ujung yang selalu memerikan pengalaman kebenaran dan kebaikan
kita yang aktual. sesungguhnya, inilah alasan mengapa sumber penalaran logis itu sendiri tidak
mungkin logis; begitu pula sumber hukum moral itu sendiri bukan moral. Kant
mengakui (walau sayangnya ia tidak menekankan kenyataan) bahwa “langit
berbintang” (alam) dan “hukum moral” (kebebasan) itu seperti tapal batas yang
kita benturkan dengan kepala jika kita mencoba melewatinya. Ini karena, sebagaimana yang dinyatakan
oleh Otto, sumber tapal batas itu sendiri pasti nonrasional dan nonmoral supaya
mampu mempersatukan keragaman pengalaman rasional dan pengalaman moral kita.
Barangsiapa
memiliki pengalaman numinus semacam itu akan segera mempunyai tanggapan
terhadap Nietzsche, atau terhadap siapa saja yang mengemukakan bahwa Tuhan
telah mati. Kematian Tuhan sebagimana yang diumumkan oleh Nietzsche cukup
nyata; namun itu kematian Tuhan palsu, Tuhan yang diada-adakan oleh akal manusia, bukan
oleh wahyu ilahi. Orang-orang yang telah mengalami Tuhan akan tahu bahwa kita tak dapat memaksa
Tuhan untuk tinggal di dalam tapal batas sistem insani apa pun. Sebagaimana
yang dinyatakan oleh Nierzsche dengan benar, upaya melakukannya berarti
membunuh Tuhan; dan satu-satunya jawaban yang tepat adalah menerobos pola itu dalam rangka memperoleh kembali
kemungkinan untuk mengalami realitas pemberi-kehidupan itu sendiri. Namun hal
ini mengangkat sebuah pertanyaan yang genting: segera sesudah kita mengalami
numinus, bagaimana kita bisa memaparkannya atau memahaminya tanpa memaksanya ke dalam suatu pola yang tidak
alamiah?
Ada banyak
cendekiawan di abad keduapuluh yang menangani pertanyaan ini dengan mengacu
pada daya simbol.
Pada waktu yang tersisa di jam kuliah ini saya akan membahas pandangan seorang
pemikir eksistensialis yang telah kita jumpai di Pekan VI dan X dan akan kita
temui lagi pekan depan. Perihal banyaknya wawasan Paul Tillich yang menarik,
catatannya tentang hakikat iman dan hubungannya dengan simbol merupakan salah satu yang paling penting. Menurut
Tillich, setiap orang memiliki keimanan, karena setiap orang memiliki suatu
“urusan terdalam” (ultimate concern), walaupun mereka tidak menyadarinya. Urusan
terdalam kita adalah benda atau orang atau tujuan yang dituju oleh semua energi
kehidupan kita; inilah faktor penentu dalam semua keputusan kita. Bagi banyak
mahasiswa, “menempuh studi sebaik-baiknya di universitas” merupakan urusan
terdalam mereka—persoalan yang menentukan apa yang mereka lakukan dan kapan
mereka melakukannya pada sebagian besar dari waktu mereka. Akan tetapi, Tillich
mengklaim bahwa beberapa hal tidak layak untuk dimuliakan, karena “penyerahan kepada suatu
urusan yang pada hakikatnya tidak terdalam” adalah “pemberhalaan” dan karenanya
“destruktif” (DF
16,35): “Urusan terdalam kita bisa menghancurkan kita di samping mampu
menyehatkan kita. Namun kita tak pernah tanpa itu.” Obyek urusan terdalam yang
tidak tepat itu berbahaya karena keimanan lebih dari sekadar kepercayaan atau
keyakinan rasional. Sebagaimana tulisan Tillich dalam The Courage to
Be (CB 168):
Faith is not a theoretical affirmation of something uncertain, it is the existential acceptance of something transcending ordinary experience. Faith is not an opinion but a state. It is the state of being grasped by the power of being which transcends everything that is and in which everything that is participates. He who is grasped by this power is able to affirm himself because he knows that he is affirmed by the power of being-itself. In this point mystical experience and personal encounter are identical. In both of them faith is the basis of the courage to be.
(Keimanan bukanlah pembenaran teoretis terhadap sesuatu yang tidak pasti, [melainkan] penerimaan eksistensial terhadap sesuatu yang melampaui pengalaman biasa. Keimanan itu bukan opini, melainkan keadaan, yaitu ketertangkapan oleh daya yang-berada yang melampaui segala hal yang ada dan yang diikutsertai oleh segala hal. Ia yang ditangkap oleh daya tersebut mampu membenarkan dirinya sendiri karena ia tahu bahwa ia dibenarkan oleh daya yang-ada. Dalam hal ini pengalaman mistis dan perpapasan pribadi identik. Pada keduanya keimanan merupakan pangkalan ketabahan-dalam-berada.)
Kita akan
melihat lebih dekat konsep Tillich tentang “ketabahan” pada Kuliah 34.
Masalahnya dalam hal ini adalah bahwa obyek iman yang tepat adalah sesuatu yang oleh Otto disebut
“numinus”—dengan kata lain, ini merupakan obyek misterius pengalaman mendalam
yang tentu namun tak dapat dijelaskan yang kita miliki. Jadi, bagaimana iman
bisa eksis jika obyeknya misterius? Jawaban Tillich adalah bahwa obyek-obyek
yang tidak misterius
dapat membawa kita
ke obyek yang misterius. Obyek yang tidak misterius itu disebut “simbol”.
Dengan demikian, Tillich mendefinisikan bentuk keimanan religius yang spesial
sebagai “penerimaan simbol-simbol yang mengungkapkan urusan terdalam kita
dengan menggunakan tindakan-tindakan ilahi” (DF 48).
Tillich dengan
berhati-hati membuat perbedaan antara “simbol” dan “tanda” (sign).
Tanda adalah obyek yang bisa
diketahui yang dengan melampaui diri hanya menunjuk kepada suatu obyek yang
bisa diketahui lainnya, sedangkan simbol adalah obyek yang bisa diketahui yang dengan
melampaui diri menunjuk kepada suatu realitas tersembunyi, walau, pada saat
yang sama, ikut serta dalam misteri yang diarah olehnya tersebut. Tanda penunjuk jalan mengarahkan
kita ke tempat yang kita tuju, namun ketika kita mencapai tujuan kita, kita
melihat bahwa itu tidak berkaitan dengan tanda penunjuk jalan yang kita ikuti.
Seperti “tangga” Wittgenstein (lihat Gambar V.1), kita dapat mencampakkan tanda
segera sesudah tugasnya terselesaikan. Sebaliknya, kemampuan kita untuk
mengalami realitas yang dibicarakan berkaitan erat dengan simbol. Tanpa simbol,
kita tak mampu mengalami hal yang disimbolkan. Secara demikian, Tillich
mengemukakan, ”bahasa simbolik sendirian mampu mengungkap yang-terdalam. ...
Bahasa iman adalah bahasa simbol” (DF 41, 45). Perbedaan antara tanda dan
simbol, pada kenyataannya, sejajar dengan perbedaan antara logika analitik dan
sintetik. Kita dapat melukiskan perbedaan itu dengan menggunakan peta di Gambar
XI.2, dengan anak-panah berkepala-ganda (yang merupakan kombinasi antara dua
tipe anak panah yang terdapat pada Gambar X.1) yang melambangkan partisipasi.
-A(=A)
realitas
tersembunyi
simbol
obyek yang
bisa diketahui
tanda
Korelasi
antara pertalian tanda-simbol dan pertalian analitik-sintetik bukan kebetulan.
Itu karena bahasa simbolik didasarkan pada logika sintetik, sedangkan
penggunaan harfiah kata-kata kita sehari-hari (sebagai tanda) didasarkan pada
logika analitik. Dengan demikian, sebagaimana yang terdahulu [yaitu bahasa
simbolik], menurut Tillich, berkaitan dengan bahasa iman, yang terkemudian [yaitu kata-kata
harfiah] pun berkaitan dengan bahasa pengetahuan. Seperti yang kita saksikan di Bagian Dua,
penggunaan kata-kata harfiah kita mensyaratkan bahwa “A” tetap “A” dan
karenanya selalu berlawanan dengan “-A”. Akibatnya, “B” yang tidak sama dengan
“A” harus dimasukkan sebagai bagian dari “-A”. (Omong-omong, ini sering diakui
sebagai hukum logika analitik yang ketiga, yang disebut “hukum penolakan
pertengahan”: “B = salah satu dari A dan –A”.) dengan cara ini tanda selalu menunjukkan
kita hal-hal di seputar alam yang diketahui dan yang bisa diketahui. Namun
manakala kita menggunakan kata dengan cara simbolik, simbol asli (“A”) itu
sendiri menyajikan
kepada kita suatu realitas tersembunyi (“-A”) yang bisa kita alami
secara aktual, karena “A” ini turut
serta dalam “-A”, dan begitu
pula sebaliknya. (Oleh karena itu, tentu saja logika sintetik menolak hukum
penolakan pertengahan.) Secara paradoksis, simbol memungkinkan obyek menjadi
(to be) sesuatu yang bukan obyek itu sendiri, sehingga kita takkan
terkejut mendapati beberapa filsuf yang mendasarkan bahasa simbolik pada “hukum
paradoks” atau “hukum partisipasi” (lihat Kuliah 12).
Mari kita
ambil cincin kawin saya untuk contoh sederhana. Jika saya menganggap obbyek ini
semata-mata sebagai tanda status perkawinan saya, maka cincin itu sendiri, sebagai obyek, tidak
begitu penting bagi saya. Saya akan lebih mempedulikan rupanya daripada maknanya bagi saya. Jika saya kehilangan cincin
itu, saya akan sedih terutama lantara nilai moneternya, yang terbuat dari emas.
Namun itu tidak berpengaruh terhadap perkawinan saya, karena saya bisa membeli
cincin baru yang akan menunjukkan status perkawinan saya secara efektif. Akan
tetapi, karena saya menghargai cincin saya sebagai simbol komitmen saya untuk mencintai istri saya
selama kami hidup, cincin itu sendiri pada aktualnya turut serta dalam perkawinan saya. Kehilangan cincin
itu atau bahkan keputusan untuk tidak memakainya akan menjadi tragedi, karena
dengan demikian bagian dari perkawinan saya hilang. Tentu saja saya bisa
membeli cincin lain untuk menggantikannya; namun dibutuhkan waktu yang lama
bagi obyek itu untuk menjadi simbol misteri cinta yang sama berbobotnya dengan
cincin asli saya. Itu karena sebagaimana telah kita perhatikan di pekan lalu,
cinta adalah salah satu tipe pengalaman paling lazim yang mensyaratkan bahwa
kita menafsirkan obyek sebagai simbol.
Karena
kuliah-kuliah pekan ini terutama berkenaan dengan “pengalaman religius”, mari
kita pakai ritual Ekaristi Nasrani sebagai salah satu contoh lain untuk turut
menerangkan bagaimana sebenarnya simbol bekerja. Ketika orang-orang Kristen
makan-minum di Makan Malam Suci, setiap peserta biasanya memakan sepotong roti
dan minum beberapa tetes anggur. Kebermaknaan ritual ini sangat bervariasi,
bergantung pada apakah orang-orang itu memandang obyek biasa “yang bisa
diketahui” itu sebagai tanda ataukah simbol. Dengan dihargai sebagai tanda, roti dan anggur tersebut menandakan suatu
realitas yang bisa diketahui lainnya, semisal tubuh
dan darah aktual
manusia historis yang bernama Yesus Kristus (dalam hal orang Katolik yang
percaya kepada doktrin “transubstantiasi”),[1]
atau menandakan kenangan tentang tokoh itu dan tentang apa yang ia perbuat (sebagaimana dalam
interpretasi khas Protestan). Pada kedua kasus itu obyek-obyek aslinya
kehilangan segi pentingnya sebagai roti dan anggur segera sesudah kita memahami
obyek itu sebagai sesuatu yang dituju oleh obyek itu. Akan tetapi, dengan
dihargai sebagai simbol, obyek-obyek tersebut tidak lagi berkaitan dengan kegaiban atau pun kenangan; alih-alih, obyek-obyek itu diakui
sebagaimana adanya (yakni sebagai roti dan anggur), namun diyakini bahwa
obyek-obyek tersebut turut serta dalam misteri Inkarnasi Allah dalam raga manusia. Oleh sebab
itu, melahap keduanya
merupakan ekspresi yang berbobot dari kemauan diri seseorang sendiri untuk turut serta dalam misteri tersebut.
Dengan mengalami ritual itu secara simbolis, orang ini diangkut oleh
obyek-obyek biasa itu menuju komuni yang mendalam dengan suatu realitas
misterius yang takkan bisa dipahami,[2]
kecuali barangkali dalam ketakjuban berkeheningan yang tak terpahami.
Untuk
menyimpulkan ulasan singkat kita terhadap pandangan Tillich, mari kita pakai
definisi iman menurut dia untuk membuat perbedaan antara metafisika dan
ontologi—dua disiplin yang cenderung ditumpangtindihkan, termasuk oleh
filsuf-filsuf. Metafisika ialah pencarian pengetahuan tentang realitas terdalam, sedangkan ontologi adalah pencarian pengalaman tentang urusan terdalam. Jadi, ketika kita menelaah
berbagai bentuk ontologi di Bagian Empat ini, kita harus senantiasa
memperhatikan bahwa “yang terdalam” [atau “yang hakiki”] itu, yang merupakan
sasaran perhatian kita dengan berbagai simbolnya yang kita jumpai dalam
pengalaman kita, adalah jauh lebih merupakan jalan hidup atau sikap terdalam daripada perangkat dogma atau obyek terdalam. Simbol-simbol semacam itu semuanya
harus dipandang bukan sebagai pemberi pengetahuan metafisis tentang realitas terdalam kepada kita, melainkan hanya
sebagai penyala bara api di dalam diri kita yang berisi perhatian terhadap makna kehidupan dan petunjuk
hakiki. Pada dua kuliah mendatang di pekan ini, kita akan kembali kepada Kant,
dengan harapan bahwa filsafat Kritisnya mungkin mampu memberi kita beberapa
wawasan yang bahkan lebih mendalam mengenai apa yang dimaksud dengan beragama
dengan cara ini.
32. Kenistaan dan Paradoks Kemuliaan
Sejak Kuliah 8
saya lebih memberi penakanan pada ide-ide Immanuel Kant daripada filsuf
lain—bahkan, jauh lebih mendalam daripada yang biasanya dikira tepat untuk
kuliah pengantar semacam ini. Terminologi Kant itu begitu rumit, teorinya
begitu mendalam, dan argumennya begitu kontroversial, sehingga kebanyakan dosen
yang mengajar mahasiswa tingkat awal hanya menyebut beberapa ciri khas teori
moral Kant, dengan barangkali sebagian [dari mereka] yang melewatkan pengacuan
epistemologinya. Namun di matakuliah ini, kita bukan hanya meliput kedua bidang
itu (Kuliah 22 dan 8), melainkan juga pandangan metafisiknya yang sesungguhnya
(Kuliah 9), pembedaan dasarnya perihal logika (Kuliah 11), pembelaannya perihal
prinsip kausalitas ilmu (Kuliah 21), teori politiknya (Kuliah 27), dan teorinya
tentang keindahan (Kuliah 29). Saya mempunyai dua alasan untuk lebih memusatkan
perhatian pada satu filsuf ini. Pertama, saya jauh lebih mengenal
teori-teorinya daripada teori-teori filsuf lain, sehingga saya lebih percaya
diri dalam menawarkan interpretasi yang akurat dan sekaligus maknawi.
Sesungguhnya, ada banyak penelitian saya dan hampir semua terbitan saya berfokus
pada satu tokoh ini. Namun yang jauh lebih signifikan, alasan kedua: saya yakin
Kant membahas serangkaian persoalan filosofis secara lebih seimbang dan lebih
sistematis. Lagipula, pembahasannya hampir selalu berwawasan luas dan biasanya
juga benar!
Satu
pengecualian terhadap kesan umum positif saya tentang pendekatan Kant terhadap
persoalan filosofis muncul ketika saya untuk pertama kalinya membaca bukunya, Religion
within the Bounds of Bare Reason [atau Religion within the Limits of Reason Alone] (1793). Pada waktu itu, saya masih
berada dalam tahap awal pengembangan interpretasi saya sendiri terhadap
bidang-bidang Filsafat Kant lainnya. Selaku seseorang yang berharap untuk
memenuhi kualifikasi penganut Kristen, walau tanpa mengorbankan kebebasan saya untuk
mempertanyakan, meragukan, dan/atau menafsirkan kembali beberapa dogma
tradisional, saya menyambut baik kerendahan hati metafisis Kant: demonstrasi
persuasifnya bahwa keberadaan Tuhan tidak bisa dibuktikan secara teoretis
(argumen-argumen yang perinciannya tidak kita periksa lantaran keterbatasan
waktu) tampaknya merupakan konfirmasi filosofis yang berbobot mengenai
peringatan Bibel terhadap upaya penggempuran langit dengan pengetahuan manusia.
Teori moralnya tampaknya juga jauh lebih sesuai dengan pemikiran Kristiani:
prinsip kebebasan yang dualis dan hukum moralnya menohoh saya sebagai
pernyataan kembali internalisasi etika Yesus yang indah; dan argumen moral Kant
kelihatannya menyerupai cara yang tepat untuk mengungkapkan keyakinan moral
pribadi bahwa Tuhan pasti eksis, kendati kita tak dapat membuktikannya. Bahkan
dalam catatannya tentang keindahan dan tujuan alamiah di Kritik-nya yang ketiga, Kant tampaknya bertekad
menyusun filsafat teosentrik—sesuatu yang mengarahkan pembaca ke suatu
kesadaran yang senantiasa-makin-dalam bahwa Tuhan ialah “semua dalam semua” (1
Korintus 15:28). Namun tatkala saya membaca Religion tersebut untuk pertama kalinya, hati saya
patah: ia agaknya mereduksi kekayaan pengalaman religius menjadi tidak lain
kecuali moralitas secara samar-samar!
Untungnya,
saya memutuskan untuk membaca kembali Religion beberapa tahun kemudian, ketika interpretasi
mawas saya terhadap Sistem Kant telah berkembang dengan lebih seksama. Pada
waktu itulah saya merasa seolah-olah neraca penafsiran tampak di pelupuk mata
saya: suatu pemahaman yang benar-benar baru tentang apa yang hendak ia
tuntaskan menjadi jelas bagi saya. Ketika saya membaca buku itu untuk pertama
kalinya, saya membiarkan diri terjatuh ke interpretasi tradisional, yang
memandang bahwa upaya Kant untuk membela agama, sekurang-kurangnya agama Kristen, tidak
benar-benar serius sama sekali dan hanya berharap untuk mengalihkan orang-orang
yang berpikiran religius ke [moralitas] Kantian pengganti agama. Pada waktu
[pembacaan] kedua, yang saya sadari kira-kira adalah bahwa Religion bukanlah buku mengenai filsafat agama dalam pengertian masa kini yang
biasanya kita kira; alih-alih, buku ini mengenai beragama, suatu interpretasi tentang makna beragama. Bahkan, saya menyadari bahwa
Kant tidak mereduksi agama ke moralitas belaka, tetapi mengangkat moralitas (yang bila sendirian merupakan
harapan ideal yang sia-sia) ke tingkat yang lebih tinggi (dan lebih realistis),
tingkat agama! Demi alasan ini, dan karena saya telah mengkaji buku tersebut
dengan lebih cermat daripada karya Kant lainnya, saya akan memanfaatkan
sebagian besar dari dua kuliah [di pekan ini] untuk menjelaskan isinya.
Apa yang
dimaksud dengan beragama (to be religious)? Apakah “beragama” itu sesuatu yang niscaya
dialami oleh semua orang, atau apakah hanya pilihan yang dipilih oleh sebagian
orang—umpamanya bilamana mereka takut terhadap apa-apa yang akan terjadi pada
mereka selepas kematian mereka? Dan agama manakah, kalau ada, yang terbaik
untuk diikuti? Religion karya Kant merupakan sebuah upaya yang sistematis untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu dan pertanyaan-pertanyaan lain, yang didasarkan pada
pondasi yang terbentang dalam karya-karya sistematisnya yang terdahulu. Ia
membagi buku itu, dengan agak terduga, menjadi empat bagian; masing-masing menggambarkan
sebuah tahap dalam proses penjelasan tentang apa yang membuat agama sedemikian
adanya. Di sini kita akan memeriksa dua tahap pertamanya, dengan meninggalkan
dua tahap lainnya untuk kuliah mendatang. Namun mula-mula, sebuah tinjauan umum
tentang empat tahap itu (lihat Gambar XI.3) akan membantu kita untuk tetap
berada di lintasan kita. Buku Satu mengajukan persoalan tentang apakah manusia
itu pada kodratnya baik
ataukah buruk, dan mempertahankan keduanya dengan sebuah jawaban bersisi-dua
yang menarik, dengan mengemukakan “kenistaan radikal” yang terletak pada akar
kodrat kita. Buku Dua memikirkan bagaimana kita mampu mengatasi masalah yang
tercipta lantaran adanya kenistaan semacam itu di dunia ini, dengan berargumen
bahwa suatu bantuan ajaib dari Tuhan yang pemurah harus diprasyaratkan.
Kemudian Buku Tiga dan Empat berkenaan dengan masalah-masalah baru yang timbul
ketika orang yang berhati-baik bersatu dalam kelompok-kelompok sosial. Buku
Tiga mengemukakan bahwa “kemenangan” akhir terhadap kenistaan bisa terjadi
hanya bila manusia bekerja sama dalam suatu paguyuban keagamaan (yakni
“gereja”). Adapun Buku Empat menetapkan perbedaan antara peribadatan yang
sejati dan yang palsu di gereja.
IV. pelayanan kepada Tuhan
(baik, guyub)
agama
guyub
III. gereja I. kenistaan radikal
(buruk, guyub) (buruk, individual)
agama
individual
II. konversi ke yang baik
(baik, individual)
Menurut Kant,
kenistaan (evil) adalah kondisi pembatas dasar yang membangkitkan kebutuhan akan agama. Bahwa ada kenistaan di dunia yang menurut Kant
bukan persoalan itu terbuka untuk keraguan. Tugas filosofisnya adalah
mengidentifikasi apakah kenistaan itu, mengapakah itu ada di sini, dan dari manakah kedatangannya (yakni bagaimana kemunculannya).
Dalam pembahasan persoalan-persoalan itu, ia secara total mengabaikan suatu
masalah yang disebut “masalah kenistaan” yang kini diakui sebagai salah satu bidang perhatian utama
filsafat agama—yaitu masalah penjelasan bagaimana Tuhan yang baik dan mahakuasa
bisa membolehkan eksistensi penderitaan dan kenistaan yang tidak semestinya.
Upaya yang membenarkan Tuhan berwajah nista itu disebut “teodisi”. Penolakan
total Kant terhadap hal itu mungkin sebagian lantaran fakta bahwa ia telah
menulis sebuah esai terpisah tentang subyek itu secara singkat sebelum mulai
menulis buku Religion. Esai tersebut, yang berjudul “On the failure of all the philosophical
essays in the theodicy” (1791). Mengemukakan bahwa upaya membela Tuhan dengan
cara itu menuju kegagalan. Dengan merujuk langsung ke cerita Bibel tentang
Ayyub (Job, tokoh
Perjanjian Lama yang oleh Tuhan dibiarkan menderita kesengsaraan, hanya sebagai
tes keimanannya), Kant memeriksa sembilan tipe teodisi yang berlainan, dengan
menunjukkan mengapa masing-masing itu pasti gagal. Upaya apa pun yang meramu
dalih rasional perihal putusan Tuhan untuk membiarkan kenistaan eksis itu
menyesatkan, karena pengetahuan tentang misteri-misteri semacam itu di luar
batas pemahaman manusia. Alih-alih, kemisteriusan masalah itu berfungsi untuk
mengangkat signifikansi eksistensial kenistaan dengan memaksa setiap individu
untuk menerima atau menolak Tuhan atas dasar iman.
Buku Satu Religion bermula dengan pengajuan pertanyaan apakah
pada kodratnya
manusia itu baik ataukah buruk. Pertama, Kant menolak kemungkinan bahwa kita
bisa baik dan sekaligus buruk; ini bisa terjadi pada karakter empiris kita (karena hasil tindakan bisa sebagian baik dan sebagian
buruk), tetapi motif di balik tindakan pasti salah satu, baik atau buruk. Kemudian Kant membuat
perbedaan antara “fitrah” (predisposition, kecenderungan universal yang dimiliki oleh semua
manusia pada saat kelahirannya, sebelum terlaksananya tindakan moral apa pun),
“tabiat” (disposition, landasan subyektif mendasar, di dalam lubuk watak kita, yang menentukan
bagaimana kita memilih bertindak pada suatu titik waktu tertentu), dan “nafsu”
(propensity,
kemungkinan kecenderungan seseorang, atau bahkan ras manusia seluruhnya). Lalu Kant
mengemukakan bahwa fitrah kita baik, karena kebinatangan kita, kemanusiaan
kita, dan kepribadian kita semuanya mengandung sifat-sifat yang jelas-jelas dimaksudkan untuk kebaikan; tabiat kita mungkin baik
atau buruk pada suatu waktu tertentu, karena tidak mungkin baik dan
sekaligus buruk; nafsu kita
selalu menuju kenistaan, karena fitrah kita rusak entah bagaimana. Bagaimana
kerusakan ini terjadi itulah pertanyaan yang kata Kant tidak bisa dijawab oleh
akal manusia. Namun sebagai pengingat bahwa itu telah terjadi, ia mengangkat istilah
“kenistaan radikal”, yang menunjukkan bahwa kehendak (atau tabiat) manusia pada
awal-mulanya telah dirusak (“radikal” berarti “pada akarnya”) oleh kekuatan
jahat yang tak terjelaskan yang tidak terdapat pada kodrat orisinal kita
(fitrah kita).
Apa tepatnya
kenistaan (evil)
itu? Kant mendefinisikan kenistaan sebagai kebalikan (reversal) dalam “tatamoral insentif” yang
menentukan kaidah kita (RBBR 31). Anda mungkin ingat lagi dari Kuliah 22 bahwa bagi Kant, suatu pilihan
adalah baik secara moral bilamana kita mematuhi suara hukum moral di hati kita,
dan bahwa orang yang membuat pilihan semacam ini pantas dipuji jika ia sampai
mengorbankan beberapa kebahagiaan pribadinya (atau “cinta-diri”) dalam rangka
melakukan hal yang baik itu. Oleh sebab itu, kenistaan adalah putusan orang
yang membiarkan pementingan perkara cinta-diri di atas perintah hati nurani.
Kant mengemukakan bahwa bukti empiris saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa
manusia di mana-mana memulai kehidupan moral mereka dengan pilihan-pilihan yang
lebih didasarkan pada cinta-diri daripada hukum moral. Ia juga mencoba menyusun
argumen transendental, namun rinciannya tidak begitu terlihat di buku-ajar ini.
Saya merekonstruksi argumen itu sebagai berikut: seorang manusia tidak bisa
membuat pilihan yang benar-benar bermoral sampai ia tahu kenistaan apa, di
samping kebaikan apa, yang tersangkut-paut; karena fitrah kita baik, kita
secara naluriah mengetahui apa yang baik dengan mendengar hati nurani kita;
namun sebelum kita pada aktualnya membuat pilihan yang nista, tidak bisa
dikatakan bahwa kita telah mencapai kebebasan tulen, lantaran kita tidak akan mempunyai
pemahaman yang benar tentang apa yang dipertaruhkan; oleh sebab itu, tindakan
bebas (yakni bermoral) sejati pertama setiap orang adalah pilihan untuk berbuat
nista.
Mengapa ia
memulai buku tentang “agama rasional” dengan klaim bahwa kita semua berawal
dengan pelenyapan kesempatan kita untuk hidup tanpa noda secara moral? Tidakkah
itu mempersoalkan rasionalitas upaya kita untuk mematuhi hukum moral—suatu
upaya yang segi pentingnya telah ditekankan oleh Kant dengan amat tegas di Critique kedua? Memang begitu! Dan hal itu
membingungkan sebagian besar dari filsuf-filsuf seangkatan Kant, yang berkat
Pencerahan menerima kepercayaan kepada dayanalar manusia secara mutlak dan
mengira Kant juga demikian. Goethe, misalnya, berseru bahwa Kant “meneteskan
air liur pada jubah filsufnya” dengan doktrin kenistaan radikal (lihat KCR 129, catatan). Namun Kant sendiri tidak
menjijikkan, karena ia tahu apa yang ia lakukan. Pengalaman kenistaan kita dan
ketidakmampuan kita untuk menjelaskan asal-mula rasionalnya kecuali dengan
mengukuhkan kemisteriusannya (“keradikalannya!”) belaka berfungsi untuk mengisi
kita dengan ketakjuban eksistensial yang memaksa kita untuk beragama.
Sesungguhnya, niat Kant dalam Buku Satu adalah menyajikan kondisi
transendental demi kemungkinan
beragama: agama hanya dimungkinkan dalam suatu alam yang di dalamnya
yang-berada rasional dimaksudkan untuk menjadi baik dan [yang-berada rasional itu] tidak mampu memenuhi
tujuan eksistensial ini. Itulah dunia yang kita tinggali saat ini.
Buku Dua
adalah peralihan yang agak mengejutkan. Dengan telah mengemukakan bahwa manusia
tak pelak lagi berawal dengan tabiat nista sebagai akibat dari pengaruh negatif
kenistaan radikal, Kant meneruskannya dengan klaim bahwa adanya fitrah-baik
kita memberi kita seculi harapan bahwa mungkin ada cara transformasi tabiat yang buruk menjadi yang baik.
Namun bagaimana itu bisa terjadi? Pertama, Kant menyarankan, satu-satunya
harapan bagi siapa saja yang percaya bahwa moralitas merupakan tujuan yang
layak diburu adalah beriman kepada Tuhan yang, entah bagaimana, memberi kita
bantuan yang kita buthkan untuk mengatasi tabiat nista kita. Dalam teologi Kristen
tradisional, bantuan semacam itu berkenaan dengan “kasih” (grace). Pertanyaan utama pada Buku Tiga adalah:
atas dasar apa seorang manusia mempunyai landasan rasional demi harapan bahwa
Tuhan akan menyediakan bantuan semacam itu? Khususnya, adakah sesuatu yang
harus kita lakukan supaya berhak atas Kasih ilahi, ataukah itu merupakan hadiah
gratis dan tanpa hak? Solusi Kant terhadap masalah itu sering dikecam lantaran
paradoksis dan, sebagai akibatnya, tidak jelas. Akan tetapi, saya yakin
paradoks itu disengaja: karena dalam konteks filsafat Kritis Kant, segala upaya
yang menjelaskan bagaimana Tuhan (sang realitas transenden) bisa membantu manusia (yang hidup sebagaimana kita di dunia
fenomenal) pasti paradoksis. Kant mempertahankan bahwa penjelasannya merupakan
refleksi akurat tentang situasi paradoksis belaka.
Buku Dua
berawal dengan pengenalan sesuatu yang oleh Kant disebut “tipe-dasar” kemanusiaan
sempurna (RBBR 54), kemudian menggunakan tamsil biblikal
yang populer untuk memaparkan hakikatnya. Asal tipe-dasar itu ilahi, namun “menurun kepada kita dari langit” untuk tinggal di
dalam setiap orang (54-55). Itu
memberdayakan kita untuk melakukan apa-apa yang pada asalnya mustahil, yakni
menjauh dari tabiat nista (atau yang oleh Kant disebut “hati” nista) dan mulai
hidup dengan prinsip baru. Akan tetapi, supaya perubahan menjadi “hati baik”
itu terjadi, kita harus mempunyai “keimanan praktis” kepada tipe-dasar
tersebut. Maksud Kant, kita harus percaya bahwa jika kita melakukan
semua hal dengan daya kita untuk mematuhi hukum moral, maka Tuhan akan memasok
apa-apa yang kurang. Atas dasar
ini, ada banyak penafsir yang menuduh bahwa Kant membela pola “kebenaran
menurut karya” (righteousness by works), yang dengannya kita harus berhak
mendapat keselamatan kita sendiri.
Namun tidaklah demikian cara Kant sendiri dalam menggambarkan pandangannya.
Alih-alih, ia bersikeras bahwa bantuan ilahi semacam itu bukan hak kita sama
sekali dan, bagaimanapun, tidak bisa dikendalikan atau ditentukan menurut
sesuatu yang kita lakukan atau kita lalaikan. Sesungguhnya, ia juga
mengingatkan bahwa kita mampu melihat tabiat orang (bahkan tabiat kita sendiri!) dengan cukup gamblang untuk mengetahui
secara pasti, apakah [tabiat] ini baik ataukah nista. Ia menyatakan, Tuhan
menilai kita menurut tabiat ini, tetapi lantaran kita bebal perihal hakikatnya
pada titik waktu yang mana pun, satu-satunya landasan yang kita miliki untuk
menimbang status mutakhir kita adalah menilai moralitas tindakan kita. Kalau
kita melihat bukti empiris kemajuan moral, itu merupakan tanda bahwa tabiat
kita mungkin baik. Sekalipun begitu, karena kita semua beranjak dengan tabiat
buruk, situasi kita tak terpulihkan kecuali jika kita yakin bahwa Tuhan akan
mengganti kekurangan kita. Namun supaya agama itu rasional, Tuhan pasti
menggunakan suatu landasan untuk memutuskan siapa yang dibantu dan siapa yang tidak dibantu. Maka
maksud Kant bukan bahwa kita dapat melayakkan diri sendiri untuk diterima oleh
Tuhan (yang menuntut kesempurnaan), melainkan justru bahwa kita dapat
mematutkan diri sendiri untuk dilayakkan oleh Tuhan (to be made
worthy by God).
Karena
tipe-dasar itu mempunyai fungsi yang sama dengan sistem keagamaan rasional Kant
yang dihasilkan oleh Yesus dalam agama Kristen, Buku Dua menghadapi sejumlah
persoalan teologis yang berkaitan dengan sifat dan status Yesus.
Persoalan-persoalan itu meliputi sifat ketuhanan Yesus, sifat kemanusiaannya,
kelahirannya yang dari perawan, kebangkitannya kembali dari kematian, statusnya
sebagai teladan moral, dan berbagai doktrin yang lebih luas seperti persucian,
keamanan nirwaktu, dan pembuktian kebenaran dengan Kasih. Banyak penafsir
mengklaim bahwa Kant berniat untuk menolak nilai nyata apa pun pada kebanyakan,
kalau tidak semua, doktrin tradisional tersebut. Akan tetapi, penafsiran
semacam itu didasarkan pada pembacaan teks secara ceroboh. Sebetulnya strategi
Kant pada masing-masing itu adalah mengemukakan bahwa doktrin-doktrin tersebut
bisa mempunyai makna rasional yang sah asalkan itu berfungsi sebagai tujuan praktis dalam membantu
pemeluk agama untuk mengikuti hukum moral dengan lebih taat-asas. Di setiap
kali, ia mengecam interpretasi apa pun yang berkemungkinan untuk menghasilkan
individu yang moralnya malas. Yang dilalaikan oleh banya penafsir adalah bahwa
ia juga memperingatkan bahaya kebalikannya: menegaskan secara dogmatis bahwa
doktrin-doktrin tertentu tidak mungkin benar, hanya karena tidak bisa dibuktikan secara
teoretis. Kant mengingatkan, doktrin seperti kelahiran dari perawan pun tidak
bisa secara mutlak ditolak, lantaran kemungkinan keajaibannya merupakan
persoalan yang terletak di luar tapal batas akal manusia. Sebagaimana yang
dijelaskan dengan sangat rinci di buku terbaru saya, Kant’s Critical
Religion (2000),[3]
niat sejati argumen Kant adalah menunjukkan kepada kita bagaimana orang yang
hendak percaya bahwa, umpamanya, Yesus ialah Tuhan dalam bentuk manusia, harus menafsirkan doktrin ini dengan tujuan mendukung,
bukan menghambat, inti religius tulen yang terdapat pada keyakinan orang itu.
Kant sendiri tentu saja tidak menyarankan kita untuk mengambil doktrin semacam itu selaku
filsuf; ia tidak menyatakan bahwa kita harus mempercayainya dengan tujuan diterima oleh Tuhan.
Namun ia menunjukkan bahwa kita bisa mempercayainya tanpa mengorbankan rasionalitas
kita dan bahwa melakukannya terkadang bisa sangat mempertebal keimanan religius
kita.
Salah satu
penyebab utama mengapa begitu banyak penafsir yang salah-paham terhadap niat
Kant dalam Religion
adalah bahwa versi baku terjemahan Inggris dari buku ini di hampir sepanjang
abad keduapuluh itu menggunakan terjemahan judul yang amat menyesatkan. Greene
dan Hudson menerjemahkan judul Kant (Die Religion innerhalb der
Grenzen der blossen Vernunft)
sebagai Religion within the Limits of Reason Alone. Padahal di tempat lain, Kant menerangkan
bahwa istilah Grenzen mengacu pada tapal batas yang memisahkan suatu area dari kawasan di sekitarnya, bukan pada batas mutlak yang tak bisa dilampaui [atau
diterobos]. (Untuk [mengacu pada] “batas mutlak”, Kant memakai istilah Schranken.) Selain itu, “blossen” tidak bermakna “alone” (semata-mata), tetapi bermakna “naked” (telanjang) atau “bare” (polos). Pengaruh dua penerjemahan
[istilah] yang keliru itu pasti telah memberi kesan awal kepada pembaca bahwa
buku Kant merupakan upaya untuk menjejalkan agama sepenuhnya ke dalam batas-batas akal yang ketat.
Namun setelah kami baca, ternyata tidak demikian. Alih-alih, strateginya di
keempat Buku itu adalah membuat perbedaan antara apa yang bisa dan yang tidak bisa diberitahukan
oleh akal kepada kita mengenai gerak-hati religius kita.
Di Buku Satu
kita belajar bahwa akal bisa memberitahu kita apakah kenistaan itu, dan bahwa kita semua pasti terjerat oleh hasrat
yang nista; namun akal tidak mampu memberitahu kita sumber fenomena misterius ini, kecuali
menyatakan bahwa itu tidak berakar pada definisi tentang apa yang dimaksud
dengan manusia. Di Buku Dua, kita belajar bahwa akal bisa memberitahu kita
bagaimana konversi berlangsung dan apa yang harus kita lakukan supaya memiliki
landasan rasional demi pengharapan bahwa Tuhan akan menyelamatkan kita; namun akal
tak mampu memberitahu kita apa yang pada hakikatnya baik, atau pun bisakah itu
memberi kita pengetahuan yang pasti tentang siapa yang akan menerima Kasih Allah. Di Kuliah
mendatang kita akan melihat betapa penting perhatian bahwa Kant tidak
mengajukan suatu pandangan yang berat sebelah tentang agama sebagai akal moral
belaka secara samar-samar, tetapi memaparkan dua sisi yang terdapat pada semua agama yang asli:
inti rasional (dan karenanya universal) bersama-sama dengan kulit historis (dan
karenanya tentu non-universal). Seperti yang akan kita saksikan, kedua aspek
agama tersebut harus berjalan seiring supaya pengalaman religius kita asli.
Secara
bersama-sama, kenistaan dan Kasih melambangkan basis lipat-dua demi ketakjuban kala kita merenungkan situasi manusia.
Kasih pada khususnya bukanlah sesuatu yang bisa kita pahami melalui akal
belaka—kecuali jika kita pada aktualnya mengalaminya. Filsafat yang baik itu lebih unggul daripada
teologi tradisional dengan persis sampai batas bahwa filsafat itu tidak
mengklaim pemahaman tentang apa yang pada hakikatnya tak terpahami. Filsafat
hanya mengharapkan
dan menyediakan landasan rasional demi harapan. Namun dalam hal itu, fungsinya
bukan merongrong agama, melainkan justru, menyiapkan kita untuk mengalami buah harapan semacam
itu. Kuliah 33 akan memeriksa bagaimana Kant sendiri menganggap bahwa dua tahap
pertama teorinya menghasilkan pengalaman keagamaan melalui pembentukan paguyuban
yang dibaktikan untuk melayani Tuhan.
33. Paguyuban dan Misteri Penyembahan
Anda
barangkali memperhatikan di kuliah yang lalu bahwa catatan Kant tentang apa
yang dimaksud dengan beragama mengandung kemiripan yang mencolok dengan
kisah-kisah Bibel tentang turunnya Adam [dari surga] di Kejadian 1-3 dan usaha
penyelamatan oleh Yesus di Injil. Begitu dekat kesejajaran itu sehingga
beberapa komentator secara aktual menuduh bahwa Kant hanya menerjemahkan
ide-ide Kristiani ke dalam terminologi rasional. Oleh sebab itu, sebelum kita
meneruskan telaah kita tentang Religion, kita harus memikirkan bagaimana sebaiknya
penafsiran kesejajaran-kesejajaran itu. Pada kenyataannya, itulah bagian yang
krusial dari strategi Kant. Ia menjelaskan, di Pengantar Edisi Kedua, bahwa
buku itu menjalankan dua eksperimen: yang pertama adalah melihat seberapa jauh
filsafat bisa menyingkap unsur-unsur rasional yang terdapat pada semua
agama-asli; yang kedua adalah melihat seberapa baik keimanan dan peribadatan
yang terdapat sebuah “keimanan historis” spesifik bersesuaian dengan ide
rasional ini. Untuk yang kedua ini, Kant memilih agama Kristen, tradisi yang
“telah tersedia” (already at hand) (RBBR 11, 123). Dengan memperhatikan hal itu, kita
jangan menafsirkan adanya kesejajaran itu sebagai kelemahan teori Kant;
alih-alih, semakin rapat kesejajaran itu, semakin berhasil Kant dalam
menunjukkan bahwa agama Kristen mempunyai tingkat kompatibilitas yang tinggi
dengan agama-rasional. Ini karena ia selalu membuktikan kebenaran unsur-unsur
agama-rasional dengan argumen-argumen yang tidak bergantung pada tradisi
Kristen.
Di Buku Satu
dan Dua, Kant membuktikan kebenaran unsur-unsur rasional yang menjadikan agama
suatu urusan-niscaya bagi segenap manusia. Setiap orang beranjak dengan potensi
kebaikan (yang didasarkan pada fitrah mereka), namun mau-tak-mau membiarkan
rusaknya kepolosan orisinal dengan pilihan-pilihan nista. Dengan demikian,
masing-masing individu dihadirkan dengan tantangan tentang bagaimana mengubah
hati nista mereka menjadi hati yang baik—suatu tantangan yang hanya bisa
terwujud bagi orang-orang yang beriman kepada bantuan daya ilahi yang hadir di
dalam diri mereka, dalam bentuk “tipe-dasar” kesempurnaan. Buku Tiga dan Empat
beralih dari fokus pada penyelamatan individual ke pemeriksaan tentang
bagaimana individu-individu yang mengalami transformasi batiniah semacam itu
bisa membentuk paguyuban (community) orang-orang yang berhati-baik dalam rangka
menyenangkan Tuhan melalui tindakan-tindakan mereka. Konsepsi tentang ras
manusia seluruhnya yang menyenangkan Tuhan ini merupakan tujuan hakiki semua
agama-asli. Masalahnya, sebagaimana yang dicatat oleh Kant pada awal Buku Tiga,
adalah bahwa individu-individu—yang berhati-baik sekalipun—tak terhindar dari saling merusak
manakala mereka saling berhubungan dalam kelompok-kelompok:
Envy, the lust for power, greed, and the malignant inclinations bound up with these, besiege his nature, contented within itself, as soon as he is among men. And it is not even necessary to assume that these are men sunk in evil and examples to lead him astray; it suffices that they are at hand, that they surround him, and that they are men, for them mutually to corrupt each other’s predispositions and make one another evil. (RBBR 85)
(Kedengkian, kehausan akan kekuasaan, kerakusan, dan kecenderungan-kecenderungan ganas yang gemar akan hal itu, mengepung kodratnya, yang puas dengan apa adanya, selekas ia ada di antara orang-orang. Dan tidak perlu pula diasumsikan bahwa mereka ialah orang-orang yang tenggelam dalam kenistaan dan panutan-panutan yang membawa dia kepada kesesatan; cukup [dikatakan] bahwa mereka terjangkau, bahwa mereka di sekitar dia, dan bahwa mereka ialah orang-orang, terhadap mereka yang saling merusak fitrah orang lain dan membuat nista satu sama lain.) (RBBR 85)
Solusi
terhadap masalah itu adalah membentuk paguyuban dengan maksud saling mendorong
untuk berbuat baik. Kant menyebut paguyuban semacam ini “persekutuan beretika” (ethical
commonwealth). Ini berbeda
dengan “persekutuan politik” selama yang belakangan ini menyatukan orang-orang
dengan memakai hukum eksternal (“hukum pemaksaan”), sedangkan yang terdahulu harus menggunakan hukum internal (“hukum keluhuran budi”) saja. Beberapa
pembaca Kristen mengadu bahwa paguyuban religius asli pasti jauh lebih baik daripada sekadar
sekelompok orang yang bertemu bersama-sama untuk melakukan amal kebaikan:
organisasi sosial seperti Rotary Club memenuhi kriteria itu tanpa perlu
beragama sama sekali! Namun Kant pada aktualnya mengakui masalah itu. Maka
langkah kedua dalam argumen Buku Tiga adalah bahwa persekutuan beretika itu
menuju kegagalan
dalam upayanya untuk mendorong kebaikan moral jika tidak membayangkan diri
sebagai “Umat Tuhan” di bawah bimbingan ilahi. Tanpa memandang paguyuban itu dari perspektif
ini, takkan ada harapan bahwa pandangan kita yang bermacam-macam tentang apa
yang merupakan “kehidupan luhur” (lihat Kuliah 24) bisa berjalan seiring demi
kebaikan bersama tanpa penerapan paksaan eksternal apa pun.
Argumen yang
dipakai oleh Kant untuk mendukung langkah krusial tersebut singkat dan
terlalaikan oleh praktis semua penafsir masa lalu. Karenanya, mari kita
memandang dengan lebih dekat. Argumen yang tersaji dalam paragraf yang
sederhana pada RBBR
89 bisa diungkap dengan bentuk cermat yang lebih logis sebagai berikut:
1. Kebaikan tertinggi: Tujuan sejati kehidupan manusia di bumi adalah menyadari dan mewujudkan kebaikan tertinggi, dengan berupaya untuk patut berbahagia melalui ketaatan kepada hukum moral. Bergerak menuju tujuan ini merupakan kewajiban manusia.
2. Kenistaan radikal: Manusia di dalam lubuknya tampaknya tak mampu mencapai kebaikan tertinggi, lantaran kerusakan radikal di hati individu masing-masing. Yang bisa kita katakan hanyalah “kita tidak tahu apakah ... itu ada di bawah kekuasaan kita ataukah tidak.”
3. Persekutuan beretika: Tiada organisasi berbasiskan aturan perundang-undangan eksternal (yaitu tiada “persekutuan politik”) yang bisa mencapai tujuan itu, karena hukum moral hanya bisa dijadikan undang-undang internal—yaitu melalui “persekutuan beretika”.
4. “Seharusnya” menyiratkan “dapat”: Apa pun yang diseru oleh akal untuk dilakukan (yakni kewajiban manusia) pasti tidak mustahil; jika itu tampaknya mustahil, kita dibenarkan dalam membuat asumsi yang akan memungkinkan kita untuk memahami ketidakmustahilannya.
5. Bantuan ilahi: Satu-satunya cara untuk memahami organisasi manusia yang berhasil menjadi persekutuan beretika (yakni mengangkat kebaikan tertinggi sebagai “tujuan sosial”) adalah memprasyaratkan bantuan “Yang-berada yang bermoral (moral Being) yang lebih tinggi yang melalui takdir universalnya kekuatan-kekuatan individual yang terpisah, yang di dalam lubuknya tidak memadai, disatukan demi tujuan bersama.” Yang-berada ini memperundang-undangkan hukum moral secara internal kepada semua individu, sehingga menjamin keserasian tindakan mereka yang beraneka-macam.
6. Tuhan eksis: Dalam rangka bergerak menuju pemenuhan kebaikan tertinggi, oleh karena itu, kita harus memprasyaratkan bahwa Tuhan eksis selaku pemberi hukum moral yang pengasih, dan bahwa mematuhi hukum moral adalah demi menyenangkan Tuhan. Artinya, persekutuan beretika bisa berhasil hanya jika bentuknya religius. (KCR 167-168)
Saya menyebut ini “argumen religius” terhadap keberadaan Tuhan. Singkatnya,
dinyatakan bahwa percaya kepada Tuhan yang bermoral menyediakan satu-satunya landasan
rasional yang meyakinkan bahwa kewajiban insani kita bisa dipenuhi.
Istilah teknis
yang dipakai di Buku Tiga untuk “Umat Tuhan” ini ialah gereja. Yang krusial dalam pandangan Kant adalah
menganggap gereja bukan sebagai entitas organisasi-manusia yang bersifat fisik
sepenuhnya, melainkan sebagai realitas spiritual, yang didasarkan pada
prinsip-prinsip yang kebenarannya bisa dibuktikan secara rasional.
Sesungguhnya, dengan mengikuti pola empat kategori utama (lihat Gambar III.9),
Kant menyarankan empat prinsip dasar bagi organisasi segala “gereja sejati” (RBBR 92-93): (1) kuantitasnya adalah “Universalitas, dan karenanya kesatuan numerisnya ...
berkenaan dengan niat fundamentalnya”; (2) kualitasnya adalah “kemurnian, kesatuan tanpa kekuatan motivator selain
yang moral”;
relasinya, baik “antaranggota maupun ... antara gereja dan kekuasaan politik”,
ditentukan oleh “prinsip kebebasan”; dan (4) modalitasnya adalah “ketidakbisaberubahan
konstitusinya”, yakni “prinsip
yang menetap “ tertentu yang “terletak, sebagaimana adanya, di luar kitab
hukum, untuk pedoman”. Maka bentuk gereja (universal) sejati bisa dipetakan
pada salib sebagai berikut:
ketidakbisaberubahan prinsip
(hukum, eksternal)
karakteristik
eksternal
kebebasan hubungan universalitas niat
(kebebasan, eksternal) (kebebasan internal)
karakteristik
internal
kemurnian motivsi
(hukum, internal)
Dua 1LAR yang menghasilkan 2LAR ini bisa diidentifikasi sebagai pembedaan
antara ciri khas yang tersangkut-paut dengan hukum (+) atau kebebasan (-) di
satu sisi, dan antara manifestasinya yang eksternal (+) atau internal (-) di
sisi lain.
Tujuan Buku
Tiga adalah menunjukkan bagaimana persekutuan-beretika di bawah petunjuk Tuhan,
dan didasarkan pada prinsip-prinsip tersebut, mewujudkan “kerajaan Allah” di bumi. Oleh sebab
itu, Buku Tiga banyak tercurah untuk membahas bagaimana gereja dapat memenuhi
tujuan ini dengan lebih efektif. Mula-mula dan terutama, jamaah gereja harus
memperbedakan antara tradisi historis/eklesiastis spesifik (yang disebut “iman”
oleh Kant) dan prinsip-prisip moralitas rasional yang terletak pada intinya
(yang disebut “agama” yang tepat). Kant memikirkan perbedaan ini ketika ia
menyatakan (RBBR
98): “Hanya ada satu agama (sejati); namun bisa ada beberapa jenis iman.” Masalahnya adalah bahwa pemeluk agama cenderung
menganggap iman mereka sebagai sumber keselamatannya yang tiada duanya, bahkan
kadang-kadang dengan menolak mentah-mentah [pandangan] bahwa kebaikan moral
(inti “agama murni” dalam pandangan Kant) memiliki suatu relevansi.
Kecenderungan ini sering menyebabkan mereka memandang kitab suci mereka sebagai
seperangkat kebenaran mutlak yang memberitahu mereka apa yang wajib dipercayai
dan apa yang wajib dilakukan, tanpa mempedulikan isinya. Kant pada aktualnya
setuju bahwa semua keimanan membutuhkan wahyu, sebagaimana yang dilestarikan dengan
sebaik-baiknya di kitab suci seperti Bibel, karena akal sendirian (sebagaimana
yang telah kita perhatikan) tidak mampu menjawab semua pertanyaan kita. Akan
tetapi, ia mengemukakan bahwa orang-orang yang menafsirkan kitab suci harus memanfaatkan moralitas
sebagai petunjuk utama mereka. Untuk menggambarkan bagaimana itu bisa
dilakukan, ia menyarankan interpretasi simbolik terhadap berbagai doktrin dan peribadatan
Kristiani, dengan menunjukkan bagaimana interpretasi yang dengan melampaui
cerita harfiah menunjukkan makna moral yang mendasari pelestarian pesan-pesan
Kristiani yang paling esensial, seraya melindunginya dari penyimpangan yang
mengarah ke propaganda pemberhalaan.
Pertanyaan
intinya di sini adalah: “Bagaimana Tuhan ingin dimuliakan?” (RBBR 95). Pemeluk-pemeluk agama cenderung
menjawab pertanyaan ini dengan salah satu dari dua cara: Tuhan ingin kita
menjadi [orang yang] baik dan menganggap penyembahan sebagai ekstra
opsional, atau Tuhan ingin kita menyembah Dia dan menganggap kebaikan moral itu tak penting
atau bahkan mustahil. Kant mengemukakan bahwa agama sejati mengambil sudut pandang
pertama, sedangkan agama palsu mengambil sudut pandang kedua. Yang kedua ini
palsu karena mensyaratkan kepercayaan kepada dogma, sebagai kewajiban, yang
kebenarannya tidak bisa diketahui oleh akal polos, dengan mengklaim bahwa
orang-orang yang beriman secara membuta akan diberi ganjaran kebaikan moral
tanpa perlu secara aktual melakukan perbuatan baik sama sekali. Sebaliknya, agama
sejati benar-benar mengakui bahwa melakukan kebaikan merupakan kewajiban
universal seluruh manusia (satu-satunya cara untuk menyenangkan Tuhan), dengan
menambahkan bahwa kekurangan moral kita yang tak terelakkan bisa diatasi
melalui keimanan bahwa Kasih Tuhan akan menyediakan ganjaran
suplementer untuk membereskan
kewajiban yang tak bisa kita penuhi. Buku Empat mengembangkan tema ini dengan
cukup rinci, melalui pembedaan antara “pelayanan sejati” dan “pelayanan semu”
kepada Tuhan.
Untuk gambaran
perbedaan antara ibadah sejati dan ibadah palsu, bayangkanlah bahwa kita sedang
memesan santapan panas di restoran favorit kita. Pelayan A memenuhi pesanan
kita dengan makanan yang kita minta, namun tak pernah tersenyum atau pun
berbincang-bincang dengan ramah. Pelayan B selalu tersenyum dan berbicara
panjang-lebar tentang segala sesuatu, namun akhirnya membiarkan makanan
tersebut menjadi dingin dan menghidangkan ke meja kita sesuatu yang tidak kita
pesan. Sikap ramah tentu saja akan menjadi suplemen yang dibolehkan terhadap pelayanan yang
baik, tetapi dengan sendirinya itu tidak memadai. Dalam contoh ini, pelayan A
menunaikan ‘pelayanan sejati’, walaupun
tidak ramah, sedangkan pelayan B menunaikan ‘pelayanan semu’ dengan membiarkan
suplemennya (yakni keramahan) menggantikan penunaian pelayanan yang baik (yakni
penyajian makanan panas ke meja yang benar). Kant kelihatannya memikirkan situasi
semacam itu ketika ia mendefinisikan pelayanan semu sebagai
Persuasion that some one can be served by deeds which in fact frustrate the very ends of him who is being served. This occurs ... when that which is of value only indirectly, as a means of complying with the will of a superior, is proclaimed to be, and is substituted for, what would make us directly well-pleasing to him. (RBBR 141)
(persuasi bahwa sesuatu bisa dilayani dengan perbuatan yang pada kenyataannya membatalkan tapalbatas-kehendak dia yang dilayani. Ini terjadi ... tatkala sesuatu yang nilainya hanya tak langsung itu, sebagai alat kepatuhan kepada kehendak sesuatu yang superior, dimaklumatkan untuk menjadi, dan disubstitusikan dengan, sesuatu yang membuat kita langsung menyenangkan dia dengan sebaik-baiknya.) (RBBR 141)
Apakah
konsepsi Kant tentang pelayanan kepada Tuhan dalam agama sejati itu
mengesampingkan peran penyembahan, doa, dan upaya-upaya lain yang ditujukan
untuk mengalami
Tuhan dalam kehidupan kita sehari-hari? Interpretasi tradisional mengklaim
bahwa ia menolak mentah-mentah semua peribadatan semacam itu karena dianggap
sebagai ilusi yang mengarah ke pelayanan semu. Namun ini mengabaikan salah satu
pembedaan terpentingnya antara cara “langsung” dan “tak langsung” dalam melayani
Tuhan. Kita melayani Tuhan secara langsung dan seketika bilamana kita melakukan
kewajiban moral kita; kita melayani Tuhan secara tak langsung manakala melakukan sesuatu yang
meningkatkan kesadaran kita tentang kewajiban itu, atau mendorong kita untuk mentaatinya. Bersama-sama
dengan baris-baris itu, Kant secara tersurat mengiyakan bahwa peribadatan
seperti doa, pergi ke gereja, pembaptisan, dan komuni bisa memainkan peran yang
signifikan dalam kehidupan beragama-asli: praktek-praktek ini mengemudikan indera
moral kita dan membuat kesadaran kita lebih mendalam tentang apa yang mesti
kita lakukan. Kata-kata negatif Kant mengenai praktek-praktek semacam itu hanya
berlaku pada interpretasi yang keliru terhadap kebermaknaan peribadatan itu, seperti bila seseorang
menafsirkan doa untuk mengatasi masalah keuangan tetangga sebagai pemenuhan
kewajiban religius tanpa mempertimbangkan untuk membantu tetangga itu, atau mengira bahwa
menghadiri acara gereja menyenangkan Tuhan kendati kita sama sekali tidak
mempelajari bagaimana menjalani kehidupan dengan lebih baik, atau menganggap
baptisme sebagai cara memaksa Tuhan untuk menerima orang-orang ke dalam
kerajaan surga, atau memperlakukan ritual komuni sebagai cara gaib yang membuat
orang yang buruk menjadi baik. Penafsiran yang benar di setiap kasus itu pasti
simbolik:[4]
peribadatan semacam itu bagian dari agama asli hanya bila mengarah ke makna
moral dengan melampaui praktek-praktek itu sendiri.
Sebagian dari
kalian mungkin pada saat ini cenderung menyimpulkan bahwa interpretasi
tradisional tersebut benar, bahwa Kant memang berupaya mereduksi agama menuju moralitas. Kita
dapat membereskan persoalan itu sekali ini dengan memeriksa definisi agama
menurut Kant. Seksi pertama di Buku Empat berawal dengan mendefinisikan agama sebagai
“pengakuan bahwa semua kewajiban [moral] merupakan perintah ilahi” (RBBR 142). Interpretasi reduksionis membaca
bahwa itu bermakna “beragama ialah bertindak secara moral”. Namun bukan itu
yang ditulis oleh Kant! Inti utuhnya justru bahwa agama melangkah melampaui moralitas swasembada dengan mendatangi
Tuhan demi bantuan perihal
sesuatu yang diakui sebagai tugas mustahil lain. Teks tersebut berlanjut dengan
memperbedakan antara “agama alamiah” (agama yang bisa diketahui secara
universal melalui akal polos) dan “agama wahyu” (agama yang mensyaratkan akses
ke suatu keimanan historis tertentu). Bagi filsuf, agama alamiah harus
diprioritaskan karena berdasarkan apa-apa yang bisa kita ketahui (yakni
kewajiban insani kita); namun untuk mewujudkan tujuan-akhir agama dan pada
aktualnya menyenangkan Tuhan, agama alamiah harus dilengkapi dengan
agama wahyu. Pengetesan apakah “wahyu” yang diimani itu asli, ataukah tidak,
adalah apakah itu mendorong pemeluk-pemeluknya untuk melakukan kewajiban
[moral] mereka. Namun ini bukan reduksionisme; alih-alih, ini merupakan upaya
bernalar untuk memastikan bahwa iman religius berakar di inti rasional sehingga
bisa ikut ditanggung oleh semua manusia.
Walaupun
sampai sekarang saya belum menekankan pola arsitektonik sistem keagamaan Kant,
kalian mungkin telah memperhatikan bahwa keempat tahap masing-masing bisa
diungkap dengan menggunakan argumen tiga-langkah. Secara demikian, sistem
keagamaannya bisa diringkas dengan memetakan semua langkah tersebut pada sebuah
12CR (bandingkan Gambar III.9) sebagai berikut:
manusia yang
menyenangkan Tuhan
agama wahyu fitrah baik
agama alamiah nafsu nista
pelayanan kenistaan
kepada Tuhan radikal
kerajaan Tuhan di bumi hati nista
penegakan konversi ke
gereja yang baik
prinsip gereja gaib tipe-dasar
persekutuan beretika iman praktis
hati baik
Peta ini
merangkum solusi Kant terhadap yang pertama dari dua eksperimennya. Ia
memandang bahwa duabelas unsur itu memaparkan apa yang ia maksud dengan
beragama, tanpa mempedulikan tradisi yang dimiliki seorang manusia. Maka pertanyaan lainnya adalah
sejauh mana agama Kristen bersesuaian dengan model tersebut.
Di Kata
Pengantar untuk edisi pertama Religion, Kant memperbedakan antara sudut pandang teolog
filosofis dan teolog biblikal: yang filosofis mengambil akal belaka sebagai
pedomannya, sedangkan yang kedua mengakui Alkitab sebagai penguasa utamanya.
Dengan cara ini, ia menyediakan ruang bagi orang-orang Kristen (atau pemeluk
agama-agama lainnya) untuk mempertahankan aspek-aspek keimanan mereka yang
mungkin tidak
mempunyai kandungan moral secara langsung. Sebagaimana yang telah kita
saksikan, yang ia syaratkan hanyalah bahwa keimanan seseorang harus tidak bertentangan dengan moralitas. Kant tak pernah
menyangkal legitimasi sudut pandang khas Kristiani (atau pun segala keimanan
religius lainnya); ia sekadar menunjukkan, bagaimana kita memastikan bahwa iman
kita memelihara karakter religius asli, tanpa jatuh ke dalam takhyul atau pun
fanatikisme belaka. Simpulan Kant sendiri mengenai eksperimennya yang kedua
ternyata justru positif: ia berkali-kali menyebut agama Kristen sebagai
satu-satunya keimanan yang benar-benar bermoral, dengan menyiratkan juga di
satu topik bahwa agama ini mungkin ditakdirkan untuk menjadi “agama universal
manusia” (RBBR 143,
145-151).
Saya harap,
dengan kuliah ini dan kuliah yang lalu, saya telah membuat terang bahwa teori
keagamaan Kant tidak sekadar “filsafat agama” yang meliputi topik-topik yang
sekarang cenderung kita harapkan dari buku-buku tentang bidang studi itu,
sebagaimana teologi filosofis yang mula-mula dan terutama bertujuan menerangkan
apa yang dimaksud dengan beragama, dan selanjutnya mengemukakan bahwa keimanan
Kristiani mempunyai potensi tertinggi di antara semua keimanan semacam itu
untuk mengembangkan agama universal yang memiliki inti moral murni. Bahwa Kant
menulis buku mengenai pengalaman religius (kendati komentator-komentator cenderung meyakini
sebaliknya) barangkali bisa dilihat sebaik-baiknya melalui pemeriksaan bukti
bahwa keseluruhan filsafatnya merupakan upaya untuk menyusun sesuatu yang saya
sebut “mistisisme Kritis”—yakni suatu cara pemahaman tentang bagaimana kita
dapat mengalami
realitas transenden (Tuhan, misalnya) tanpa menafsirkan bahwa itu dalam suatu
hal akan melanggar tapal batas filsafat Kritis.
Buku Kant yang
diterbitkan terakhir sebelum ia mulai menyusun filsafat Kritisnya berjudul Dreams
of a Spirit-Seer, Illustrated by Dreams of Metaphysics (1766). Di dalam karya ini ia memeriksa dan
menafsirkan pengalaman mistis seorang pengkhayal berkebangsaan Swedia, Emanuel
Swedenborg (1688-1772). Seusai memberi penilaian positif dan negatif tentang hakikat
pengalaman semacam itu, Kant mengambil posisi moderat: spekulasi metafisis
mengenai realitas terdalam itu menggagas sensasi pemandangan mistis; di kedua
kasus ini, kita harus menentukan lebih dahulu batas terhadap apa yang bisa
diketahui, dan di luar itu, kita harus mengukuhkan bahwa misteri-misteri itu
sajalah yang mendorong kebaikan moral. Bahwa Kant sendiri mempunyai pengalaman
yang mendalam tentang realitas hakiki merupakan bukti empiris dari begitu
banyak isyarat yang ia berikan di sepanjang tulisan-tulisannya. Namun kita
tidak punya waktu untuk membahas klaim semacam itu di sini; alih-alih, kita
akan memulai pekan depan dengan kuliah tentang seorang filsuf Kristen yang
terbuka, yang sangat dipengaruhi oleh filsafat Kant pada umumnya dan filsafatnya
tentang agama pada khususnya.
Pertanyaan Perambah
1. A.
Bisakah takjub berkegaduhan dialami?
B.
Apa pertalian antara ketakjuban dan kebebalan?
..............................
..............................
2. A.
Apa yang merupakan lawan ontologi?
B.
Bisakah simbol tak suci dialami?
..............................
..............................
3. A.
Mungkinkah kodrat manusia “sebagian”
baik dan “sebagian” nista?
B.
Haruskan seorang manusia bermoral baik
sebelum diterima oleh Tuhan?
..............................
..............................
4. A.
Mungkinkah ada lebih dari satu “gereja gaib”?
B.
Bisakah seorang manusia benar-benar mendengar
suara Tuhan?
..............................
..............................
Bacaan Anjuran
1.
Rudolf Otto,
The Idea of the Holy: An inquiry into the
non-rational factor in the idea of the divine and its relation to the rational2,
terj. J.W. Harvey (New York: Oxford University Press, 1977[1923]), Bab III-VI,
pp. 8-40.
2.
Paul
Tillich, Dynamics of Faith, Bab 3,
“Symbols of Faith” (DF 41-54).
3.
John Hick, An Interpretation of Religion,
(Houndmills, Hampshire: Macmillan Press, 1989), Bab 10, “Religious Meaning and
Experience” (pp. 153-171).
4.
Immanuel
Kant, Religion within the Limits of
Reason Alone, Buku Satu dan “General Observation” pada Buku Empat (RBBR 15-39, 179-190).[5]
5.
Stephen
Palmquist, “Immanuel Kant: A Christian Philosopher?”, Faith and Philosophy 6:1 (Januari 1989), pp. 65-75.
6.
Stephen
Palmquist, Kant’s System of Perspectives,
Bab X, “Religion and God in Perspective” (KSP
313-323).
7.
Christopher
L. Firestone, “Kant and Religion: Conflict or Compromise?”, Religious Studies 35 (1999), pp.
151-171.
8.
Adina
Davidovich, Religion as a Province of
Meaning: The Kantian foundations of modern theology (Minneapolis, Mn.:
Fortress Press, 1993).
Catatan Penerjemah
[1] Transubstantiasi adalah doktrin bahwa dalam Ekaristi, substansi roti dan anggur itu seutuhnya berubah menjadi tubuh dan darah Yesus Kristus, dan hanya aksiden roti dan anggur itu yang tersisa. (Aksiden merupakan atribut yang tidak esensial.)
[2] Komuni di kalimat ini bisa berarti perjamuan suci dan sekaligus hubungan yang paling akrab. Namun di kalimat-kalimat lain, hanya arti pertama yang dipakai.
[3] Saya sedang menyelesaikan proses penerjemahan KCR dan berencana untuk lekas-lekas mempublikasikannya. Adapun judulnya dirancang sebagai Beragama Secara Kritis: Sebuah implikasi dari sistem perspektif Immanuel Kant.
[4] Adapun ritual-ritual Islam bisa ditafsirkan secara harfiah dan sekaligus simbolis. Barangkali ini merupakan salah satu penyebab mengapa masjid (yakni “gereja” Islami) tidak terpecah menjadi masjid “sunni” (agama “wahyu”) dan masjid “falsafi” (agama “alamiah”).
[5] Untuk alternatif, lihat http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/rbbr/rbbr1.html http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/rbbr/rbbr4.html
Send comments (in English)
to: StevePq@hkbu.edu.hk
Back to the Index of Pohon Filsafat.
Back to the English
version of The Tree of Philosophy.
Back to the listing of Steve Palmquist's published
books.
Back to the main map of Steve
Palmquist's web site.
This page was first placed on the web on 27 April 2003.