Pekan XII
Makna: Menyambut Kematian
34. Kegentaran dan Paradoks Keberanian
Pertanyaan
ontologis yang paling mendasar adalah: Mengapa ada sesuatu (atau yang-berada)
menggantikan ketiadaan (atau yang-tidak-berada)? Pertanyaan ini
merupakan landasan terdalam semua ketakjuban eksistensial, karena
pertanyaan “Mengapa dunia ada di sini?” langsung menimbulkan
pertanyaan “Mengapa saya ada di sini?” dan dari situ [muncul] sejumlah
besar pertanyaan tentang makna kehidupan. Yang terakhir ini merupakan salah
satu topik yang paling sering dibahas di lembar mawas mahasiswa. Itu terutama
karena kita akui bahwa kebanyakan pertanyaan tentang kematian pun,
sekurang-kurangnya secara tak langsung, merupakan pertanyaan tentang makna
kehidupan. Itu lantaran pertanyaan tentang yang-tidak-berada mula-mula
mengangkat pertanyaan tentang yang-berada; dan secara demikian pula kesadaran
akan kematian mula-mula mengangkat pertanyaan tentang makna kehidupan. Di
Kuliah 35 kita akan memeriksa bagaimana pasti-terjadinya kematian mempengaruhi
misteri yang timbul ketika kita mencari makna kehidupan. Namun pertama-tama,
mari kita berfokus pada sebuah paradoks yang muncul di dalam diri kita sewaktu
kita memilih kehidupan dengan menghadapi kematian.
Menurut kebanyakan
eksistensialis, kapan saja kita berhadapan dengan tidak-mustahilnya ketiadaan
kita sendiri (umpamanya tatkala kita merenungkan ajal yang akhirnya akan
mendatangi kita), kita mempunyai “tanggapan eksistensial” alamiah yang mencakup
sejenis kekhawatiran tertentu. Martin Heidegger (1889-1976), filsuf
eksistensialis Jerman yang, dengan Wittgenstein, pada umumnya dianggap selaku
salah seorang dari dua filsuf abad keduapuluh yang paling berpengaruh (lihat
Pekan VI), memperbedakan antara kekhawatiran eksistensial tertentu itu dan
jenis kekhawatiran umum dengan cara berikut ini. Kekhawatiran umum adalah
tanggapan empiris seorang manusia terhadap obyek yang mengancam [dia] di
dalam dunia: itu biasanya mensyaratkan bahwa kita memerangi obyek
itu dengan harapan menaklukkan ancamannya, atau, alternatif lainnya, melarikan
diri dari obyek itu dengan harapan terlepas dari ancamannya. Di kedua
kasus ini kita dapat mengatakan bahwa orang yang takut akan sesuatu di
dalam dunia menanggapinya
dengan mencoba mendorong sesuatu keluar dari dari dunia—salah satu dari obyek yang
ditakuti dan orang itu sendiri (lihat Gambar XII.1a). Sebaliknya, kekhawatiran
eksistensial adalah tanggapan di dalam lubuk seorang manusia terhadap situasi
manusiawi umum, khususnya bila situasi itu mengungkap dalam beberapa hal di
dalam diri kita akan adanya “ketiadaan” atau yang-tidak-berada. Tanggapan
manusiawi alamiah adalah melarikan diri dari ancaman itu, karena memerangi “ketiadaan” tampaknya mustahil! Namun
dalam hal ini kita melarikan diri bukan dengan berusaha lari dari dunia, melainkan dengan membenamkan diri sedalam-dalamnya ke dalam
obyek-obyek empiris yang terdapat pada pengalaman kita sehari-hari (lihat
Gambar XII.1b). Ini bisa dilakukan dengan banyak cara, seperti menekuni hobi,
menonton televisi, menjadi penggemar fanatik olahraga, atau pun menjadi cendekiawan dan membenamkan diri dalam buku-buku. Maksud Heidegger adalah bahwa cara lazim
(tak sehat) yang berupa lari dari ancaman ketiadaan itu hanya berpura-pura bahwa itu tidak
ada, dengan membenamkan diri dalam yang-berada.
“aman” dari ketiadaan “ancaman” dari ketiadaan
melarikan diri membenamkan diri
dari dunia di dunia
ancaman “aman”
dari yang-berada dari yang-berada
kekhawatiran kekhawatiran
biasa eksistensial
(kegentaran)
(a) Kekhawatiran Empiris Biasa (b) Kekhawatiran Eksistensial
Seusai
menggunakan pembedaan Heidegger sebagai pendahuluan, sekarang mari kita
menengok lagi ide-ide seorang filsuf pendahulu, yang juga banyak berbicara
tentang hakikat dan fungsi kekhawatiran eksistensial. Dialah Søren Kierkegaard
(1813-1855) yang pada umumnya diakui sebagai bapak eksistensialisme teistik
(sebagai lawan dari eksistensialisme ateistik yang dibapaki oleh Nietzsche).
Kierkegaard (yang diucap “Kiirkegaar”,[1]
yang bermakna “halaman gereja”—yaitu makam) ialah seorang filsuf Denmark yang menulis
sendirian duapuluh-satu buku (di samping 8000 halaman makalah yang tak diterbitkan)
selama duabelas tahun saja, dan yang ide-idenya tak pernah diterima dengan baik
semasa hayatnya. Ia menjelaskan ide-ide utama filosofisnya di serangkaian buku
yang ditulis dengan beberapa nama samaran yang berlainan (dengan sebagiannya
saling bertentangan!).
Namun pada beberapa tahun terakhirnya, ia menulis sejumlah buku dengan memakai
namanya sendiri, yang terutama menyerang kerusakan agama Kristen
sepenglihatannya pada masanya. Di antara ide-idenya yang menarik, hanya satu
yang akan kita selidiki di sini mengingat keterbatasan waktu kita, yaitu
penggunaan kata “kegentaran” (kata Denmarknya “angst”) yang mengacu pada sesuatu yang saya
sebut “kekhawatiran eksistensial”.
Walaupun “angst” (kegentaran) kadang-kadang diterjemahkan sebagai “dread” (kegamangan) atau “anxiety” (kecemasan), tidak satu pun dari
kata-kata ini yang menangkap kedalaman makna kekhawatiran eksistensial terhadap
yang-berada sebagaimana yang dimaksudkan oleh Kierkegaard dengan kata tersebut.
Kegamangan terlalu sering diasosiasikan dengan ketidaknyamanan atau kewas-wasan
sewaktu menghadapi suatu ancaman empiris, seperti bila saya mengatakan “Saya gamang berobat ke dokter gigi”. Begitu pula,
kecemasan terlalu sering diasosiasikan dengan “stres” umum, seperti bila mahasiswa
mengatakan “Kami cemas akan kemampuan kami untuk menempuh pengujian”. Dengan tujuan menangkal
godaan untuk mengaitkan kegentaran secara terlalu dekat dengan tipe-tipe
kekhawatiran empiris biasa, sebagian cendekiawan mengambil kebiasaan yang berupa
menggunakan kata asli Denmark saja—suatu praktek yang saya ikuti di hari ini.
bila [nanti] saya beberapa kali menyebut kegamangan atau kecemasan, tentu saja
kita harus mengenalinya sebagai kegentaran, bukan kekhawatiran empiris.
Buku pertama
Kierkegaard, Either-Or (1843), memperbedakan antara dua jalan hidup dasar, tahap estetik dan
tahap etis. Yang pertama itu didasarkan pada perasaan dan berfokus pada
pemuasan kenikmatan hidup; yang kedua itu didasarkan pada kewajiban dan
berfokus pada perbuatan kebaikan. Secara demikian, pembedaan ini bersesuaian
dengan pembedaan yang kita bahas di Kuliah 22, antara utilitarianisme dan
deontologi. Para pembaca-awal buku tersebut berdebat tentang sudut pandang mana
yang didukung oleh penulisnya dari dua sudut pandang yang berlawanan itu. Namun
niat Kierkegaard yang sesungguhnya ialah menunjukkan bahwa pilihan salah
satu (either) dan pilihan atau
(or) itu dengan sendirinya
sama-sama ganjil dan tidak lengkap. Maka kemudian ia menerbitkan buku lain, Stages
on Life’s Way (1845), yang
mengemukakan bahwa tahap estetik dan tahap etis keduanya menuju, dengan
melampaui kedua tahap itu sendiri, ke tahap ketiga, tahap religius, yang mensintesis dan melebihi dua tahap
terdahulu (lihat Gambar XII.2). Ia mendefinisikan jalan hidup religius dengan
peristilahan sikap “kedidalaman” (inwardness) yang melampaui “kediluaran” (outwardness) yang dibutuhkan untuk penalaran teoretis
dan ilmiah.
I. Estetik
(kenikmatan di luar)
nasib
kesiapan
III. Religius
lompatan lompatan (keimanan di dalam)
dosa iman penderitaan
penebusan
kesalahan
II. Etis
(kebaikan di luar)
Dalam The
Concept of Anxiety (1844)
Kierkegaard mengembangkan ide kegentaran dengan menganalisis ide dosa Kristiani. Ia menyatakan, kegentaran
adalah keadaan psikologis yang timbul secara alamiah dari kodrat ontologis
esensial manusia: kebebasan kita memberi kita potensi yang tak terbatas untuk
masa depan; namun kehadiran kita di dalam [dimensi] waktu membuat kita terbatas
dan bebal. Dengan kata lain, kegentaran muncul dari ketegangan antara
keinderawian raga kita (yang berakar sebagaimana adanya di dalam waktu) dan kebebasan jiwa kita (yang berakar
sebagaimana adanya di dalam kekekalan). Kebebalan kita memastikan bahwa pilihan yang
kita tentukan untuk masa depan kita sendiri akhirnya akan menjatuhkan kita ke
dalam dosa, sehingga kegentaran bisa dialami sebagai “kebebasan dalam jeratan”
(entangled freedom)
(CA 320)—yaitu
terjerat-tanpa-batas dalam batas. Kemudian, dosa sebagai keadaan normal spirit
manusia (lihat Gambar XII.3), adalah yang pertama dari dua “lompatan
kualitatif” yang harus kita lalui dalam rangka maju melalui tahap-tahap
kehidupan seperti yang tampak dalam Gambar XII.2. Sesudah lompatan dari
ketakberdosaan ke dosa (seperti dalam kisah Adam dan Hawa), lompatan kedua
adalah dari dosa ke iman (sebagaimana dalam kisah Ibrahim). Lompatan pertama
bersesuaian dengan perubahan dari yang estetik ke yang etis (atau sebaliknya),
sedangkan lompatan kedua bersesuaian dengan perubahan dari pilihan estetik/etis
ke yang religius. Paganisme berakar di tahap estetik, tempat dialaminya
lompatan dosa sebagai nasib (fate) dan lompatan iman sebagai kesiapan
(providence); sebaliknya, agama
Yahudi berakar di tahap etis, tempat dialaminya lompatan dosa sebagai kesalahan
(guilt) dan lompatan iman
sebagai penebusan (atonement). Agama Kristen melampaui keduanya dengan secara aktual berakar di tahap religius dengan tepat yang
berupa keimanan mutlak kepada Allah.[2]
raga sementara:
keinderawian
+
spirit
kegentaran keberanian x spontan:
dosa
-
jiwa kekal:
kebebasan
Analisis
Kierkegaard tentang kegentaran dan dosa menyiratkan bahwa tiadanya rasa gentar merupakan keadaan psikologis
terburuk, karena tanpa kegentaran kita tak pernah bisa maju ke tahap spirit. Dalam keadaan asal yang tanpa dosa,
kegentaran muncul sebagai tanggapan terhadap “ketiadaan” (yakni kebebalan
seseorang) akan masa depan: “kecemasan adalah aktualitas kebebasan sebagai
kemungkinan berkemungkinan” (CA 313). Pengabaian kebebasan ini pada aktualnya merupakan pemberhalaan bila
menyebabkan orang yang dalam tahap kehidupan estetik itu memahami bahwa
ketakberdosaan, kedamaian, kebahagiaan, keindahan, dan sebagainya, itu baik
dengan sendirinya. Memahami seperti ini berarti memisahkan diri sendiri dari
kedalaman spiritual kodrat manusia itu sendiri: “alat yang paling efektif untuk
lari dari kecemasan spiritual adalah menjadi nirspirit” (385). Namun selekas
kebebasan ini dimanfaatkan, suatu kesadaran akan dosa timbul, yang menghasilkan
jenis kegentaran baru, dalam bentuk “kecemasan mengenai kenistaan” (381-386).
[Jenis] ini muncul dalam tiga bentuk: (1) hasrat untuk kembali ke keadaan tak
berdosa; (2) peringatan akan jatuh lebih dalam ke dalam dosa; dan (3) keinginan
bahwa penyesalan belaka sudah cukup untuk menebus dosa. Sayangnya, upaya
sebagian pemeluk agama untuk mengatasi kecemasan semacam itu dengan menggunakan
kebaikan-luar hanya
menimbulkan kecemasan yang lebih parah, dalam bentuk “kecemasan mengenai
kebaikan” (386-420).
Orang religius
sejati beralih dari tujuan estetik dan etis supaya menjadi di dalam. “Kedidalaman” mengacu pada
pemahaman-diri yang aktif (CA 408), yang mensyaratkan keterbukaan diri terhadap yang abadi. Karenanya, beralih menuju
diri sendiri dengan cara ini
identik dengan beralih menuju Tuhan. Hasilnya, itu selalu diawali dengan peningkatan
kesadaran orang tersebut akan kesalahan:
In turning toward himself, [the religious "genius"] eo ipso turns toward God, and ... when the finite spirit would see God, it must begin as guilty. As he turns toward himself, he discovers guilt. The greater the genius, the more profoundly he discovers guilt....
In turning inward he discovers freedom....
To the degree he discovers freedom, to that same degree the anxiety of sin is upon him in the state of possibility.... (376-377)
(Dalam beralih menuju dirinya sendiri, [si “jenius” religius] itu sendiri beralih menuju Tuhan, dan ... bila spirit terbatas itu melihat Tuhan, itu pasti bermula sebagai bersalah. Ketika ia beralih menuju dirinya sendiri, ia menemukan kesalahan. Semakin hebat si jenius itu, semakin berbobot kesalahan yang ia temukan. ...
Dalam beralih ke dalam, ia menemukan kebebasan. ...
Pada tingkat kebebasan yang ia temukan, pada tingkat itulah kecemasan akan dosa ada pada dia dalam keadaan berkemungkinan....) (376-377)
Maka orang
semacam itu akan mengakui bahwa kecemasan itu menuju keimanan di luar kecemasan
itu sendiri:
The only thing that is truly able to disarm the sophistry of sin is faith, courage to believe that the state [of sin] itself is a new sin, courage to renounce anxiety without anxiety, which only faith can do; faith does not thereby annihilate anxiety, but ... extricates itself from anxiety's moment of death. (385)
(Satu-satunya hal yang benar-benar mampu melucuti kelicinan dosa adalah keimanan, keberanian untuk yakin bahwa keadaan [dosa] itu sendiri merupakan dosa baru, keberanian untuk melepaskan kecemasan tanpa kecemasan, yang hanya dapat dilakukan oleh iman; dengan demikian, iman tidak membinasakan kecemasan, tetapi ... melepaskan [kecemasan] itu sendiri dari unsur maut kecemasan.) (385)
Dengan kata lain, tanggapan yang tepat terhadap kecemasan adalah
menghentikan kecemasan terhadap kecemasan, dengan menerimanya dalam keyakinan
bahwa itu eksis demi tujuan yang lebih tinggi. Karenanya, sementara kecemasan
pagan mengungkap sebagian besar [kecemasan] itu sendiri sebagai nasib, dan
kecemasan Yahudi sebagai kesalahan, kecemasan Kristiani sejati (yang menurut
Kierkegaard merupakan pelaksanaan bentuk agama yang paling maju) diungkap dalam
bentuk penderitaan
(lihat Gambar XII.2).
Kierkegaard
mengemukakan bahwa kunci untuk memecahkan masalah kegentaran adalah belajar
menghadapinya dengan berani, dengan perasaan paradoksis antara “antipati
simpatik” dan “simpati antipatik” (CA 313). Barangsiapa yang “belajar cemas dengan cara
yang benar [berarti] mempelajari yang-hakiki” (421). “Kecemasan melalui iman
itu edukatif secara mutlak, lantaran itu menuntaskan semua tujuan-berbatas”
(422). Oleh sebab itu, kendati karakternya tampaknya negatif, penderitaan yang
disebabkan oleh kegentaran itu sangat mendasar bagi pertumbuhan spiritual kita:
“semakin cemas dia, semakin hebat orang itu” (421). Kierkegaard memiliki banyak
wawasan filosofis lain, bukan saja mengenai pengalaman kecemasan manusia,
melainkan juga tentang beragam topik lain, seperti hubungan paradoksis antara
sejarah (yang-terbatas) dan subyektivitas (yang-tak-terbatas), dan hakikat iman
Kristiani yang mensyaratkan kemauan subyektif untuk meninggal dunia. Akan tetapi, di sini kita tidak bisa
mengulas topik-topik semenarik itu.
Alih-alih,
saya ingin menunjukkan bahwa, dengan adanya analisis Kierkegaard tentang
kegentaran, hubungan antara kegamangan dan kematian itu sejalan dengan hubungan
antara cinta dan kehidupan: sebagaimana cinta merupakan daya penggerak
kehidupan, kegamangan pun merupakan daya penggerak kematian. Sementara cinta
adalah daya keberadaan, yang menggerakkan kita menuju kesatuan lawanan-lawanan, kegamangan ialah daya ketiadaan, yang menggiring kita menuju keragaman lawanan-lawanan. Dengan kata lain,
kegamangan merupakan daya pendorong “kerenggangan” yang oleh Tillich dipandang
sebagai prasyarat-perlu untuk cinta (lihat Gambar X.5). Pergulatan antara dua
daya itulah yang sesungguhnya membuat kita tetap hidup, walau selain itu
memberi kita penglihatan sekilas tentang kekekalan kita di tengah-tengah
keterbatasan kita. Dengan kata lain, kegamangan, walau merupakan pengalaman
negatif, mengingatkan kita akan kemampuan kita untuk melampaui-diri. Di sisi
lain, daya cinta dan kegamangan Secara bersama-sama mengingatkan kita bahwa rumah
kita tidak di dunia ini, dan
sekalipun demikian, di sisi lain, kita juga bukan orang-luar sama sekali. Pengakuan terhadap paradoks
ini bisa membantu kita dalam menanggapi pengalaman kegentaran yang nyata sedemikian rupa sehingga itu
tepat bagi dimensi kekal kehidupan kita.
Kegagalan untuk menyeimbangkan daya kekekalan (cinta) dan kefanaan (kematian) dalam
kehidupan kita biasanya menghasikan beberapa tipe gangguan psikologis, dan
akhirnya bahkan bisa menuju kegilaan. Kegilaan tidak berasal dari perhatian yang
terlalu banyak terhadap paradoks-paradoks pengalaman manusia; alih-alih, itu
dihasilkan dari upaya untuk lari dari paradoks-paradoks menuju jaminan salah satu dari yang-terbatas dan
yang-terbatas sendirian. Selama dua daya itu bertempur di dalam diri kita, kesehatan mental kita
akan awet. Namun kehilangan salah satu dari kekekalan dan kefanaan bisa mendorong
kegilaan orang: kekekalan membatasi kita pada penerapkan logika analitik, yang menyebabkan kita melihat dunia
sebagai keragaman tak tertanggungkan yang terpencar-pencar, sedangkan kefanaan
membatasi kita pada penerapan logika sintetik, yang menyebabkan kita melihat dunia sebagai
kesatuan yang meluap, tanpa diskrit dan bagian-bagian yang mudah dipahami. Yang
pertama itu memaparkan bentuk kegilaan yang berasal dari penekanan yang
berlebihan terhadap akal di atas imajinasi, seperti ketika penderita
skizofrenik paranoid menafsirkan pengalaman mereka dengan sebidang sempit
batas-batas (umpamanya, “semua orang melawan saya”); yang kedua itu memaparkan
bentuk kegilaan yang merupakan akibat dari terlampau menekankan imajinasi di
atas akal, seperti ketika manula kehilangan diri mereka sendiri dalam terbatasnya
keuzuran.
Tillich
mengemukakan bahwa kita semua bersalah lantaran kehilangan keabadian sampai batas tertentu. Ia
menyatakan, penjelasan terbaik terhadap kegentaran yang kita rasakan ketika
kita berpikiran jujur mengenai kematian kita sendiri adalah bahwa kita semua
tahu secara mendalam bahwa kita berhak untuk meninggal, lantaran ketidakotentikan jalan
hidup kita. Terlalu sering, tanggapan orang-orang terhadap kesalahan itu adalah
hanya melarikan diri dari itu ke dalam keamanan argumen filosofis akan keabadian
atau harapan religius akan kehidupan abadi. Namun [argumen] tersebut hanya
menambah kebergantungan yang berlebihan kepada penalaran logis, sedangkan
[harapan] tersebut hanya menambah kebergantungan yang berlebihan kepada
imajinasi religius. dengan kata lain, “solusi-solusi” umum itu, walau di dalam
lubuk masing-masing tidak salah, kadang-kadang bisa menjadi bumerang dengan menguatnya kehilangan
keabadian yang berasal dari penyangkalan salah satu sisi paradoks tersebut.
Menurut
Tillich, satu-satunya tanggapan yang tepat terhadap hilangnya keabadian yang terungkap dalam
pengalaman kegentaran eksistensial kita itu adalah menghadapi ancaman ketiadaan
dengan keberanian untuk berada secara eksistensial. Dalam bukunya, The Courage to Be (1952), ia memerikan tanggapan ini dengan
cara sebagai berikut:
Courage is the self-affirmation of being in spite of the fact of non-being. It is the act of the individual self in taking the anxiety of non-being upon itself by affirming itself ... Courage always includes a risk, it is always threatened by non-being ... Courage needs the power of being, a power transcending the non-being which is experienced in the anxiety of fate and death, ... in the anxiety of emptiness and meaninglessness, ... [and] in the anxiety of guilt and condemnation. The courage which takes this threefold anxiety into itself must be rooted in a power of being that is greater than the power of oneself and the power of one's world.... There are no exceptions to this rule; and this means that every courage to be has openly or covertly a religious root. For religion is the state of being grasped by the power of being itself. (CB 152-153)
(Keberanian adalah pengiyaan keberadaan diri kendati ternyata tidak berada. Inilah perbuatan diri individu dalam menerima kecemasan-akan-ketiadaan lantaran itu sendiri dengan mengiyakan itu sendiri ... Keberanian selalu berisiko, selalu terancam oleh ketiadaan ... Keberanian membutuhkan daya keberadaan, daya yang melampaui ketiadaan yang dialami dalam kecemasan akan nasib dan kematian, ... dalam kecemasan akan kehampaan dan ketidakbermaknaan, ... [dan] dalam kecemasan akan kesalahan dan hukuman. Keberanian yang membawa kecemasan berlipat-tiga ini ke dalam itu sendiri pasti berakar dalam suatu daya keberadaan yang lebih besar daripada daya orang itu sendiri dan daya dunia orang itu. ... Tiada pengecualian terhadap aturan ini; dan ini berarti bahwa setiap keberanian-untuk-berada mempunyai akar religius secara terbuka atau pun tersembunyi. [Hal ini] karena agama merupakan keadaan keberadaan yang digenggam oleh daya keberadaan itu sendiri.) (CB 152-153)
Oleh sebab itu, seperti halnya Kierkegaard, Tillich memandang ancaman
ketiadaan sebagai masalah eksistensial yang solusi mujarabnya hanya yang pada
dasarnya religius.
Kata “religius” ini jangan disalahpahami sebagai mengacu pada peribadatan, seperti pergi ke gereja. Menyanyikan
nyanyian pujian, dan sebagainya. Sebagaimana yang telah kita lihat di Kuliah
33, hal-hal semacam itu bisa disalahgunakan untuk menjauhkan kita dari keberanian
religius sejati. Alih-alih, intinya di sini adalah bahwa beragama berarti
terbuka untuk mengalami Yang-Berada yang, dengan melampaui pembedaan antara
yang-berada dan yang-tidak-berada, sendirian bisa memasok
keberanian-untuk-berada untuk kita.
Pengalaman
dasar dalam menerima berkah dari keberanian-untuk-berada itu, menurut Tillich,
berkaitan erat dengan pengalaman berpartisipasi di dalam Tuhan secara mistis dan juga dengan
pengalaman yang lebih umum yang berupa pertemuan pribadi antara manusia dan Tuhan. Pengalaman
semacam itu berakar di dalam pengakuan bahwa adanya ketiadaan di dalam diri
kita mengasingkan
kita dari kodrat sejati kita, dan bahwa masalah ini hanya dapat dipecahkan jika
kita berkehendak untuk “digenggam oleh daya keberadaan itu sendiri” (CB 153). Hanya bila kita “turut serta dalam
sesuatu yang melampaui diri” (161), kita akan siap untuk mengalami manifestasi
keberanian-untuk-berada yang paling berbobot, dalam bentuk “keberanian untuk
menerima penerimaan” (159-166). Pengiyaan keberanian diri itu bukan sekadar
“keberanian-untuk-berada secara eksistensialis sebagai diri itu sendiri. Itu
adalah perbuatan paradoksis yang di dalamnya seseorang diterima oleh yang
secara tak terbatas melampaui diri individu orang itu.” Penerimaan terdalam itu
pun tidak mensyaratkan penyangkalan kita terhadap kesalahan kita, karena “bukan
yang baik atau yang alim atau yang saleh yang berhak atas keberanian untuk
menerima penerimaan, melainkan orang yang kekurangan semua kualitas itu dan
sadar [bahwa dirinya] tak bisa diterima” (160-161).
Pada awal
proses menerima penerimaan, kita mengalami keberanian-untuk-berada sebagai
“keberanian untuk berputus asa [kegentaran]” (CB 170):
the acceptance of despair is in itself faith on the boundary line of the courage to be. In this situation the meaning of life is reduced to despair about the meaning of life. But as long as this despair is an act of life it is positive in its negativity.
(penerimaan keputusasaan di dalam lubuknya merupakan iman kepada garis tapal batas keberanian-untuk-berada. Dalam situasi ini, makna kehidupan dilengser menjadi keputusasaan akan makna kehidupan. Namun selama keputusasaan ini merupakan tindak kehidupan, itu positif dalam kenegatifannya.)
Dengan menjalani kehidupan kita dengan daya keberanian-untuk-berada yang
paradoksis, akhirnya kita akan siap untuk menyambut kematian itu sendiri bukan
sebagai konfirmasi tragis perihal kegentaran, melainkan sebagai langkah akhir
dalam proses kehidupan-panjang ini. Bersama-sama dengan baris-baris itu,
Tillich menyatakan bahwa argumen Plato mengenai keabadian jiwa merupakan “upaya
untuk menafsirkan keberanian Sokrates”, yang jelas mengakui bahwa “keberanian
untuk mati merupakan tes keberanian-untuk-berada” (164). Kita akan menyaksikan
pengalaman kematian itu sendiri dengan lebih lengkap di kuliah mendatang. Namun
untuk sekarang, meringkas teori keberanian Tillich dengan peta berikut ini
sudah memadai:
yang-berada
kegentaran
yang-tiada kesalahan keberanian yang-ada
(0) untuk-berada (1)
yang-tidak-berada
Landasan
religius penerimaan kehidupan secara berani dalam menghadapi kematian,
penerimaan keberadaan kendati ada prospek ketidakberadaan, tersurat dalam
gagasan biblikal “takut akan Allah”. Penyebutan takut akan Allah di dalam Perjanjian Lama
terlalu sering disiramkan ke tempat yang di situ maknanya tidak lebih dari
kehati-hatian untuk mematuhi Hukum kalau-kalau kita dihukum. Namun hal itu jauh
labih mengacu pada fakta bahwa Tuhan Perjanjian Lama, selaku Yang-Berada yang
memeluk semua yang-berada dengan tangan-Nya, merupakan sumber hakiki kehidupan dan
kematian; secara demikian,
barangsiapa cukup berani untuk mendekati Yang-Berada ini harus melakukannya
dengan takzim dan takjub. Sebagaimana kata Mitchell: “Takut akan Allah ialah
yang-berada dalam ketakjuban, kesadaran akan kehadiran Tuhan yang hening dan
menggetarkan” (IPW
75)—suatu komentar yang mengingatkan kita kepada gagasan Otto tentang
keterpesonaan dalam kehadiran numinus (lihat Kuliah 31). Di keseluruhan Bibel,
kekhawatiran nirduniawi yang mendasar ini digambarkan sebagai tanggapan
eksistensial terhadap situasi manusia yang, bila kita menerimanya, akan memberi kita kekuatan yang bukan
tak bisa diperoleh untuk menghadapi situasi menakutkan yang timbul di dunia
sehari-hari. Ini bahkan bisa dianggap sebagai pesan dasar Mazmur dan Amsal;
“Takut akan Allah adalah awal hikmat” (umpamanya Mazmur 111:10; Amsal 1:7)
berarti bahwa kita akan belajar dengan sebaik-baiknya tentang bagaimana
menanggapi ancaman-ancaman yang terdapat di dalam dunia hanya ketika kita menanggapi ancaman dari
luar dunia secara berani.
Dengan kata lain, kegentaran dan kealiman sebaiknya dianggap, secara
paradoksis, sebagai dua sisi sekeping koin.
Jika kita
tidak begitu saja melalaikan pertanyaan dasar yang diangkat di awal kuliah ini,
maka tampaknya kita memiliki satu pilihan saja antara dua kemungkinan jawaban:
[1] eksistensi dunia ini tidak maknawi dan keberanian-untuk-berada tidak
berdasar, atau [2] ada Tuhan yang secara paradoksis melampaui pembedaan antara
sesuatu dan bukan-sesuatu, sehingga merupakan landasan hakiki keimanan, dan
begitu pula perihal keberanian-untuk-berada. Namun sebagaimana yang ditunjukkan
oleh Kant, Kierkegaard, Tillich, dan banyak filsuf religius lainnya, Tuhan ini
tidak mungkin meminjamkan makna hanya dengan beradanya doktrin yang dipaksakan kepada kita oleh tekanan
sosial paguyuban religius; alih-alih, kita harus mengalami Tuhan sebagai realitas yang memberi kita
daya untuk menghadapi paradoks kehidupan, yang menyediakan iman dalam
menghadapi keraguan, kedamaian dalam menghadapi kekalutan, penerimaan dalam
menghadapi kesalahan, dan keberanian dalam menghadapi kegamangan.
35. Kematian dan Misteri Kehidupan
Salah seorang
mahasiswa saya pernah mendefinisikan keheningan sebagai keadaan yang tidak lagi
membutuhkan
pengajuan pertanyaan sama sekali. Ini menyiratkan suatu paradoks yang menarik
dalam klaim bahwa tujuan final filsafat adalah mengalami keheningan batiniah,
karena salah satu tugas utama filsafat adalah mengangkat pertanyaan-pertanyaan yang
jawaban-jawabannya biasanya tidak segera terlihat. Sekalipun begitu, saya yakin
bahwa [definisi] itu mengungkap wawasan yang mendalam menuju hakikat dan tujuan
berfilsafat. Jika keheningan pada aktualnya merupakan keadaan yang tanpa
pertanyaan, maka apakah kita telah menghambur-hamburkan waktu begitu saja
dengan mengangkat begitu banyak pertanyaan filosofis yang musykil di Bagian Empat
ini dan di semua bagian lainnya? Sama sekali tidak! Pertanyaan semacam itu harus diangkat; kalau tidak, tingkat keheningan
yang lebih dalam takkan bisa dinikmati: pertanyaan-pertanyaan seperti itu di
dalam diri kita mengendalikan ketakjuban yang menarik kita keluar melampaui
kegaduhan dunia untuk menemui makna dunia. Wittgenstein mengungkap paradoks ini
dengan mengatakan bahwa makna kehidupan terdapat di luar kehidupan, yang
karenanya, sekeyakinannya, kita tak bisa membicarakan makna itu. Akan tetapi, ketidakmampuan
kita untuk memberi jawaban yang bisa diverifikasi secara ilmiah terhadap
kebanyakan pertanyaan filosofis tidak berarti bahwa pertanyaan-pertanyaan (atau jawaban yang kita upayakan) itu sia-sia.
Ini karena tujuan akhirnya bukan untuk dijawab dengan kata-kata—entah bisa entah tak bisa—melainkan untuk
membantu agar kita menemukan makna kehidupan dan makna dunia dalam keheningan yang cenderung dipancing oleh
pertanyaan-pertanyaan semacam itu.
Di kuliah yang
lalu kita belajar mengenai paradoks keberanian dalam menghadapi kegamangan akan
yang-tidak-berada. Ini membawa kita langsung ke pertanyaan filosofis terdalam,
lantaran tak terelakkannya ketidakberadaan kita sendiri—yakni kematian kita sendiri—mengangkat pertanyaan
tentang makna kehidupan; adapun pertanyaan ini sendiri mengarahkan perhatian
kita menuju keheningan hakiki di luar kehidupan. Selama kita dapat menilai
dengan hal-hal yang bisa kita amati ketika seseorang meninggal, kematian
menandai tamatnya kemampuan kita untuk menggunakan kata-kata, dan karenanya
para pelayat yang berada dalam suatu keheningan yang berbeda dengan apa saja
yang biasanya kita alami semasa hidup. Misteri tentang apa yang terjadi sesudah
kita mati, kalau ada, merupakan salah satu sumber utama “kegentaran” yang kita
alami dari waktu ke waktu (Ini, sebagaimana yang telah kita lihat, merupakan
salah satu urusan utama filsuf eksistensialis). Oleh sebab itu, kegentaran ini
menggerakkan orang-orang awam—termasuk orang-orang yang tidak tahu tentang
filsafat—untuk mengusulkan berbagai ide mengenai apa yang terjadi selepas kematian.
Adakah
kehidupan selepas kematian? Kalau ada, seperti apakah? Ada empat cara dasar
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, walau tentu saja, masing-masing memiliki
banyak variasi. Kita dapat menganalisis empat cara untuk membayangkan
pengalaman “sesudah kematian” itu dengan mengajukan dua pertanyaan: (1) Apakah kesadaran kita akan identitas diri kita berlanjut
setelah kita meninggal? dan (2) Apakah kita akan memperoleh tubuh
baru setelah tubuh kita saat
ini mati? Dengan mempertimbangkan kedua pertanyaan ini, kita dapat memetakan
empat jawaban tradisional terhadap pertanyaan tentang kehidupan selepas
kematian pada salib 2LAR, seperti yang terlihat di Gambar XII.5. Ini barangkali
bukan sebuah 2LAR yang “sempurna”, karena sangat mustahil bahwa keempat kemungkinan jawaban itu memaparkan apa
yang pada aktualnya
terjadi seusai kematian. Walau dua atau tiga di antaranya bisa benar secara
serempak dengan cara yang berlainan, kebanyakan orang merasa harus memilih satu saja sebagai hipotesis terbaik. Jadi,
mari kita bandingkan keempat kemungkinan itu dengan agak lebih rinci.
kebangkitan kembali
(kesadaran, tubuh baru)
penjelmaan kembali kepunahan
(tiada kesadaran, (tiada kesadaran,
tubuh baru) tiada tubuh baru)
keabadian
(kesadaran, tiada tubuh baru)
Teori-teori
tentang kepunahan (extinction) dan penjelmaan-kembali (reincarnation) keduanya sepakat bahwa bagian dari saya yang
memungkinkan saya untuk mengingat siapa saya (yang sering disebut “benak” atau
“jiwa”) tidak akan ada lagi bila saya mati; namun keduanya tidak sepakat
mengenai apakah saya akan memperoleh tubuh baru ataukah tidak. Jika tidak, maka
saya akan tidak eksis lagi begitu saja (--); individualitas saya pun terputus
juga—meskipun dalam beberapa versi teori kepunahan, seperti aplikasi mistis
“percikan ilahi” Aristoteles (lihat Kuliah 6, terutama Gambar II.9), sesuatu
yang bukan badan atau pun benak [akan] terus eksis. Sebaliknya, jika saya
memperoleh tubuh baru, maka saya akan tampil kembali sebagai orang
lain (-+), yang memorinya tidak
meneruskan memori saya saat ini. Orang-orang yang percaya kepada
penjelmaan-kembali sering mengklaim bahwa kita belajar menyadari memori-memori
dari “kehdupan terdahulu” kita. Kita harus belajar bagaimana cara mendapatkan
kembali memori-memori semacam
itu secara sama persis karena pada normalnya tidak ada kesinambungan kesadaran antarjelmaan, kendati mungkin ada suatu
“inti” spiritual yang lebih dalam yang menghubungkan kehidupan-kehidupan orang
yang tampak berbeda itu.
Orang-orang
yang, seperti Plato, percaya kepada keabadian jiwa lebih dekat pada aktualnya
dengan orang-orang yang percaya kepada kepunahan daripada dengan orang-orang
yang percaya kepada penjelmaan-kembali. Hal ini karena meskipun teori keabadian
tidak sepakat dengan kedua teori itu dengan mengklaim bahwa kita memiliki jiwa
(yaitu kapasitas memori kesadaran yang sinambung) yang tetap hidup ketika raga
kita mati (+-), ini pada aktualnya sepakat dengan klaim teori kepunahan bahwa
tubuh kita yang mati tidak akan digantikan oleh yang baru, seperti yang
diyakini oleh teori penjelmaan-kembali. Ini mungkin tampak agak mengejutkan,
khususnya bagi orang yang memandang bahwa keyakinan Plato kepada keabadian itu
merupakan paham Yunani kuno yang sepadan dengan keyakinan Nasrani kepada
kehidupan selepas kematian. Akan tetapi, yang terakhir ini tidak didasarkan
pada argumen logis
apa pun perihal niscayanya keabadian (immortality) jiwa, tetapi pada harapan religius bahwa orang-orang akan
diselamatkan dari kepunahan melalui intervensi ilahi dalam bentuk kebangkitan-kembali
(resurrection).
Teori
kebangkitan-kembali harus diperbedakan dengan jelas dari tiga teori lainnya.
Kepunahan, sebagai lawanan langsung terhadap kebangkitan-kembali, dipandang
dengan tepat sebagai nasib alamiah kita oleh orang-orang yang percaya kepada
kebangkitan-kembali, jika kebangkitan-kembali tidak terjadi. Sebaliknya, dua
teori lainnya mempunyai faktor yang sama dengan teori kebangkitan-kembali,
yaitu bahwa ada sesuatu yang mengungguli perbedaan mereka. Sebagaimana teori
keabadian, teori kebangkitan menganggap bahwa daya kesadaran seorang manusia
akan bersinambung, sedikit-banyak tak tersela, hingga sesudah kematian; dan
sebagaimana teori penjelmaan-kembali, teori kebangkitan-kembali menganggap
bahwa seorang manusia akan memiliki tubuh baru setelah tubuh yang ada [dunia
ini] mati. Namun berlawanan dengan Plato, teori kebangkitan-kembali terutama
berfokus pada badan, dengan berasumsi seperti Aristoteles bahwa tanpa raga yang dibangkitkan kembali, jiwa itu sendiri
pun akan mati; dan berlawanan dengan teori penjelmaan-kembali, teori
kebangkitan-kembali memandang badan baru sebagai jenis baru, bukan hanya badan lain dengan jenis yang sama. Gambar-gambar
yang kadang-kadang terlihat di literatur keagamaan, tentang badan-badan yang
mengambang keluar dari makam mereka naik ke langit, salah dalam menggambarkan
makna sejati kebangkitan kembali. Dalam Perjanjian Baru, raga duniawi seorang
manusia dipaparkan sebagai “biji” belaka bila dibandingkan dengan “raga
spiritual” matang yang akan diberikan selepas kematian (lihat 1 Korintus
15:35-44).[3]
Artinya, kehidupan berkesadaran kita dalam raga yang sekarang ini akan
disatukan, entah bagaimana, dengan cara yang sinambung dengan raga spiritual baru ini (++),
sehingga semua potensi yang terwujud dalam kehidupan ini akan mekar dan berbuah
di kehidupan mendatang itu.
Walaupun pada
aktualnya kita tidak mengalami kematian kita sendiri di dalam kehidupan kita
saat ini, kita benar-benar mengalami kematian orang-orang lain sebagai titik
akhir kehidupan mereka
sepengetahuan kita. Akibatnya, tak seorang pun dari kita yang bisa mengetahui
dengan pasti, apa yang terletak di “sisi lain” yang dideksripsikan dengan
sebaik-baiknya oleh keempat pandangan itu, sampai sesudah kita meninggal. Barangkali lantaran
itulah para filsuf sering kurang berminat terhadap pertanyaan yang diangkat
mengenai kemungkinan alam baka daripada pertanyaan yang diangkat mengenai kehidupan itu
sendiri. Plato, misalnya,
bersikeras bahwa kekhawatiran akan kematian hanya tepat bagi orang-orang yang
masih terbelenggu di dalam “gua” (bandingkan Gambar II.7). Melampaui
kekhawatiran ini dengan dengan “belajar cara mati” merupakan salah satu tugas
dasar yang harus ditunaikan oleh filsuf yang baik. Saya yakin, di sini Plato
mengacu pada tugas belajar seumur hidup tentang bagaimana kita hidup dengan
yang-tak-diketahui yang gelap, bahkan sebelum kita mati; karena bila kita
melakukannya, kita dapati bahwa misteri yang mutlak-nyata ini secara paradoksis
memancarkan sinar tentang bagaimana seharusnya kita hidup. Dengan kata lain,
kematian pun, dengan mengangkat pertanyaan tentang makna kehidupan, mengarahkan kita secara
langsung menuju kebutuhan untuk menjalani kehidupan yang oleh kalangan
eksistensialis disebut otentik.
Psikolog
Abraham Maslow menyebut bahwa kehidupan sejati atau otentik manusia merupakan
kehidupan yang mencapai “aktualisasi-diri”. Istilah yang kini umum ini sering
dikecam dan disalahpahami sebagai penyubur sikap mementingkan diri-sendiri,
gaya hidup “kerjakan urusanmu sendiri” yang membiarkan pengabaian kebutuhan
orang lain. Akan tetapi, itu merupakan kesalahpahaman total. Maslow dan
lain-lain telah berhati-hati dalam menunjukkan bahwa aktualisasi-diri
orang-orang yang berfokus di dalam itu tidak berarti bahwa mereka hanya mempedulikan
kepentingan egoistik mereka sendiri, tetapi bahwa mereka ialah orang-orang yang
melampaui-diri,
bahwa pemahaman mereka tentang mereka sendiri membuat mereka mencapai yang di
luar menuju orang-orang lain
dengan cinta dan belas kasih. Menariknya, salah satu sumber kesalahpahaman
terhadap istilah semacam itu adalah bahwa kehidupan yang mengaktualisasi-diri
itu sendiri pada dasarnya paradoksis. Semakin [dalam] Maslow mempelajari
orang-orang yang mengaktualisasi-diri, semakin yakin ia bahwa mereka ialah
orang-orang yang dapat memecahkan paradoks di dalam diri mereka sendiri: mereka
bukan mementingkan diri sendiri atau mementingkan orang lain, melainkan mementingkan keduanya (lihat umpamanya TPB 139). Ungkapan terkenal Plato, “kenalilah
dirimu sendiri”, pada dasarnya membawa pesan yang sama: kita mengenal diri
sendiri bukan untuk menjadi solipsis yang menutup-diri, melainkan untuk menjadi
orang saleh yang membaktikan-diri. Semakin kenal kita kepada diri kita sendiri (yaitu semakin terlihat kita mementingkan
diri sendiri), semakin mampu kita mengenal orang-orang lain (yaitu semakin bisa kita mementingkan
orang lain).
Belajar untuk
melampaui diri kita sendiri dengan cara itu akan menyiapkan kita untuk menerima
kematian dengan tangan terbuka sebagai suatu berkah. Kita dapat memandang kematian sebagai
hadiah tertinggi
hanya jika kita telah belajar untuk hidup dengan kematian—yakni hidup dengan ketidakberadaan kita
sendiri melalui perbuatan-perbuatan semacam pelampauan-diri itu—walau kita
masih hidup. Seperti yang kita lihat di kuliah yang lalu, pentingnya pengakuan
ketidakberadaan dalam semua yang-berada itu merupakan salah satu wawasan
eksistensialis pokok. Lao Tzu, seorang filsuf Cina, mengungkap wawasan serupa
tatkala ia menyatakan bahwa yang-tidak-berada pada aktualnya lebih berfaedah daripada yang-berada (TTC 11). Contohnya, jendela takkan bisa digunakan
sebagai media pandang jika tidak ada ruang kosong antara ujung-ujung kerangkanya. Gelas pun takkan
bisa dipakai untuk menampung air bila tidak ada cekungan di dalamnya. Contoh-contoh semacam itu
menunjukkan bahwa yang berada itu sering tak mampu untuk memenuhi fungsinya dengan tepat jika tidak
memanfaatkan yang tidak berada. Secara demikian, orang-orang harus memandang kematian mereka sendiri
sebagai bagian alamiah dari proses kehidupan.
Kedua cara
pemaparan realitas transenden itu, sebagai “yang-ada” atau sebagai “yang-tiada”
(lihat Gambar VI.2), menyiratkan dua cara yang bersesuaian dalam memandang
hubungan “alamiah” antara kehidupan dan kematian. Saya menebak bahwa hampir
semua dari kita lebih cenderung menganut salah satu dari dua pandangan ini.
Menurut Lao Tzu, orang yang memperlakukan kematian sebagai bagian alamiah dari
kehidupan tidak perlu lagi mencari “kehidupan yang abadi”, atau “yang tak
terbatas”. Dengan memandang kematian sebagai akhir hakiki semua kehidupan, ia
yakin bahwa pencarian semacam itu menuju kegagalan, yang hanya akan
menghasilkan kecemasan (lihat Gambar XII.6a). Namun kecemasan yang kita rasakan
terhadap prospek kematian kita sendiri tidak perlu menghentikan pencarian
ketakterbatasan kita, asalkan kita memandang kematian sebagai tapal
batas, dengan obyek atau tujuan pencarian yang terletak pada sisi lain
(lihat Gambar XII.6b). Hanya dalam pengertian terakhir ini masuk-akallah
anggapan bahwa kematian merupakan berkah yang benar-benar bisa disahkan sebagai bagian
alamiah dari kehidupan. Jika tidak ada apa-apa setelah kehidupan selain
kematian dan kepunahan, maka menganggap kematian sebagai bagian alamiah dari kehidupan tidak lebih
masuk-akal daripada menganggap dinding sebagai bagian dari jendela, atau ruang di
luar gelas sebagai bagian dari
gelas. Tapal batas adalah bagian dari sesuatu yang dibatasinya; namun ruang di luar tapal batas itu lain
sama sekali.
kematian alam baka
(yang-tidak-berada) (yang-ada)
pencarian
pencarian
ketakterbatasan ketakterbatasan
kehidupan kehidupan
kecemasan kematian
(a) Kecemasan sebagai Tapal Batas (b) Kematian sebagai Tapal Batas
Apa pun
pandangan tentang kematian yang benar, persoalan yang diangkat oleh Lao Tzu
menyoroti paradoks sentral kehidupan itu sendiri: bagian esensial dari tugas
manusia adalah mengejar yang-tak-terbatas, namun pencarian ini menuju kegagalan
karena kematian menyebabkan terbatasnya kehidupan itu sendiri. Namun pencarian
itu “gagal” hanya jika keberhasilan diukur dengan menggunakan logika analitik.
Jika kita membenarkan paradoks itu, jika kita membenarkan (dengan Lao Tzu)
adanya yang-tidak-berada di dalam semua yang-berada, jika kita membenarkan
(dengan para eksistensialis) keterbatasan kita dalam proses pencarian sesuatu
yang-tak-terbatas, maka kita mempunyai landasan untuk berharap bahwa makna [kehidupan] akan menerobos di
tengah-tengah perjuangan kita. Bahkan jika penerobosan ini hanya terjadi
setelah kita mati, itu pun melegitimasi pencariannya di dalam kehidupan ini.
Sesungguhnya, gagasan inti Lao Tzu bukan bahwa pencarian itu sendiri salah, melainkan bahwa kita jangan berharap
menemukan sesuatu yang-tak-terbatas dalam bentuk yang dapat kita pahami di dalam dunia ini.
Oleh sebab
itu, kita harus selalu berhati-hati untuk tidak mengira bahwa kita dapat
memecahkan paradoks kehidupan dengan menetapkan sesuatu yang bukan tak-terbatas
sebagai sumber makna kehidupan kita. Contohnya, saya tidak bisa menghitung
jumlah mahasiswa penulis lembar mawas yang mengklaim bahwa “kebahagiaan”, atau
barangkali “kepuasan”, merupakan tujuan yang mestinya dituju dalam kehidupan
orang-orang. Sekalipun begitu, masalahnya adalah bahwa, seperti yang kita
pelajari dari Tillich di Kuliah 30, sekali kebahagiaan tercapai, selesailah [sudah perjuangannya]. Mereka yang
menjalani kehidupan demi memenuhi hasrat-hasrat mereka sendiri tentu berakhir dengan
kehampaan dan kesia-siaan, walaupun mereka cukup beruntung lantaran terpenuhinya
hasrat-hasrat itu. Kepuasan pada hakikatnya tidak memuaskan. Jadi, paradoks itu
terutama mengenai persoalan absurditas jika kita mengarahkan kehidupan kita
menuju tujuan yang terbatas. Nasihat Lao Tzu, yang berasal dari orang yang
pesan dasarnya adalah bahwa kita harus berada dalam kehadiran “Tao” yang
misterius (yakni tak terbatas), jangan disiratkan bahwa tidak ada yang-tak-terbatas yang layak dicari;
alih-alih, itu menyiratkan bahwa tujuan hakiki pencarian sesuatu yang tak-terbatas itu
adalah mengajarkan kita bahwa itu hadir sekarang di tengah-tengah keterbatasan kita, sehingga kita
dapat menghentikan pencarian
dalam rangka beristirahat dalam kehadiran itu.
Dengan kata
lain, pelajaran yang kita pelajari dari menghadapi paradoks kematian adalah
bahwa pencarian sesuatu yang-tak-terbatas harus dilakukan dalam konteks
pengakuan terbatasnya
kehidupan sebagaimana kita mengetahuinya. Kebutuhan akan pengakuan keterbatasan
manusia dan juga konteks abadi di luar kehidupan manusia merupakan wawasan yang
diakui oleh kebanyakan agama. Contohnya, salah satu dari sekian banyak ungkapan
Bibel tentang paradoks ini muncul dalam Yesaya 40:6-8:[4]
... All flesh is grass, and all its loveliness is like the flower of the field.
The grass withers, the flower fades,
When the breath of the Lord blows upon it;
Surely the people are grass.
The grass withers, the flower fades,
But the word of the Lord stands forever.
(... Seluruh umat manusia adalah seperti rumput, dan semua semaraknya seperti bunga di padang.
Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu,
Bila Tuhan menghembusnya dengan nafas-Nya;
Sesungguhnyalah bangsa itu seperti rumput.
Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu,
Tetapi firman Tuhan itu tetap untuk selamanya.
“Firman” ini
di sini adalah kata yang sama dengan yang dibicarakan oleh Yohanes pada
permulaan Injilnya; dan itu, secara paradoksis, merupakan kata yang hanya bisa
didengar di dalam keheningan: “’Pada mulanya adalah Firman....’ Kata itu tidak
muncul menjadi berada, tetapi itu ada lebih dahulu. Itu tidak memecah keheningan, tetapi itu
lebih dahulu daripada keheningan dan keheningan terbuat dari itu” (HMD 90-91).
Kutipan
terakhir ini menyiratkan bahwa kehidupan terhadap kematian itu seperti
kata-kata terhadap keheningan. Begitu pula, sebagaimana kehidupan berakhir
dengan kematian namun menarik maknanya dari misteri yang tertutupi oleh
kematian, pertanyaan-pertanyaan filsafat pun, sebagaimana yang saya sebut di
awal kuliah ini, berakhir dalam keheningan bahwa tidak ada lagi yang perlu
ditanyakan. Sesungguhnya, kehidupan ini penuh dengan misteri dan paradoks
semacam itu. Kalau saja waktu kita lebih banyak, kita bisa melihat dengan lebih
rinci beberapa aspek kehidupan kita yang gelap dan menarik lainnya. Akan
tetapi, saya mencurahkan sebuah matakuliah tersendiri untuk bidang interpretasi
mimpi dan aspek bawah-sadar pengenalan-diri (lihat DW). Jadi, sebagai ganti atas pengembangan
topik itu lebih lanjut di sini, di kuliah terakhir kita akan kembali ke
pertanyaan yang memulai matakuliah ini, dengan tujuan memeriksa bagaimana hal
itu juga menyingkap misteri paradoksis di inti pengalaman manusia.
36. Apakah Filsafat Itu?
Matakuliah ini
berawal dengan diskusi tentang “Apakah filsafat itu?” Sebagian dari kalian menawarkan
beberapa jawaban yang menarik, yang menunjukkan bahwa sebelum mengambil
matakuliah ini pun kalian telah memiliki beberapa ide yang baik mengenai apakah
filsafat itu. Barangkali itu karena semua manusia yang berpikir mempunyai filsafat tentang
sesuatu, meskipun banyak yang tak mau repot-repot melakukannya dengan
secermat-cermatnya. Masalahnya adalah bahwa kebanyakan orang tak pernah
melampaui tahap “filsafat saya”. Dengan kata lain, walaupun banyak, kalau bukan kebanyakan, orang telah
membangun sudut pandang filosofis khas bagi mereka sendiri, sangat sedikit orang yang
sungguh-sungguh berusaha memperluas sudut pandang pribadi sedemikian rupa
sehingga bisa diakui telah memiliki jangkauan penerapan yang sah yang
melampaui opini pribadi mereka.
Namun tahap ini amat penting jika kita pernah memahami hakikat filsafat. Filsafat saya harus melampaui tahap
“filsafat saya” dan
harus menjadi filsafat sebelum saya bisa dengan benar berkata “Saya seorang filsuf”. Tahap
krusial itu merupakan tahap yang saya harap telah mulai anda tempuh seraya
mengikuti matakuliah ini.
Di Kuliah 1
saya berkata bahwa saya berharap hingga akhir matakuliah ini anda akan
mengetahui lebih sedikit mengenai filsafat daripada sewaktu di awal matakuliah. Sebagian dari
kalian tertawa terhadap harapan ini. Beberapa dari kalian tampaknya bingung.
Sebagian lainnya mengira saya bingung. Sebagian besar dari kalian mungkin mengira itu hanya kelakar.
Namun sesungguhnya, saya amat serius. Dalam beberapa kesempatan sepanjang
matakuliah ini saya telah menentang versi naif relativisme, atas dasar bahwa
tapal batas tertentu adalah mutlak. Versi relativisme yang lebih memadai selalu mengakui bahwa
ketidakmustahilan “relativitas” bergantung pada sesuatu yang, menurut
perbandingan, “mutlak”. Di Fisika, misalnya, teori relativitas bisa mengakui
sifat nisbi
peristiwa-peristiwa di dunia berwaktu-ruang kita hanya setelah para fisikawan
sepakat untuk memperlakukan kecepatan cahaya sebagai “konstan” (yakni sebagai mutlak). Sekarang saya ingin menambahkan bahwa
tujuan hakiki semua penyelidikan filosofis adalah menjadi semakin sadar akan
kemutlakan semacam itu; karena semakin kita sadar, semakin bisa kita
mengapresiai keindahan “misteri” yang telah banyak kita bahas di Bagian Empat
ini. Bahkan, paradoks ontologis terakhirnya adalah bahwa misteri itu
mengenalkan diri mula-mula sebagai filsafat saya, tetapi secara bertahap mengungkap sendiri bahwa
itu merupakan sumber filsafat itu sendiri. Dengan kata lain, itu mutlak dan, namun
demikian, sekaligus sumber segala relativitas.
Untuk
menjelaskan bagaimana itu bisa terjadi, saya akan membandingkan filsafat dengan
permata besar dengan banyak sisi yang terpahat di dalamnya. Mulanya, yang saya
sadari hanyalah bahwa perspektif saya sendiri, sisi yang bisa saya lihat dengan
paling jelas, itu benar. Ketika saya selangkah mundur, saya akui bahwa
sisi-sisi lain di permata itu—perspektif-perspektif sah lainnya—sama-sama
benar. Hal itu tampaknya mengesahkan keyakinan kepada relativisme: sisi anda
benar bagi anda dan sisi saya benar bagi saya. Akan tetapi, tatkala saya mundur
cukup jauh untuk melihat permata itu keseluruhannya, tiba-tiba saya mengakui
bahwa ada suatu pola: setiap sisi terkait sedemikian rupa sehingga yang-menyeluruh itu sesungguhnya menampilkan suatu desain
mutlak (tetap), walaupun ada banyak keragaman sisi masing-masing. Orang-orang
yang terus memandang filsafat sebagai bahan opini subyektif seluruhnya, dan lalai untuk melihat potensinya
untuk membawa kita ke suatu kebenaran obyektif, hanya membelenggu diri mereka sendiri
dengan sisi khas mereka pada permata itu, sebagaimana para narapidana di gua
Plato yang tidak melihat apa-apa kecuali bayangan di bagian khas dinding
mereka. Namun bila anda mulai melangkah dari filsafat yang menyesuaikan anda
dengan filsafat yang bisa benar
bagi setiap orang,
maka saya pikir anda telah mempelajari sekurang-kurangnya sesuatu tentang
pentingnya prinsip pengakuan kebebalan anda: kita takkan bisa melihat semua sisi permata seketika, tak peduli sejauh
mana anda mundur! Bila anda telah mulai memperbedakan antara “filsafat saya” dan “filsafat”, dan ketika anda mulai mengubah
“filsafat saya”
menjadi “filsafat”,
maka anda akan siap untuk mulai menyusun jawaban yang benar-benar filosofis
terhadap pertanyaan “Apakah filsafat itu?”
Anda mungkin
telah memperhatikan bahwa keseluruhan matakuliah ini, sampai batas tertentu,
merupakan upaya untuk menjawab pertanyaan dasar tersebut. Dengan demikian,
biarlah saya sarankan sebuah jawaban terakhir. Bilamana kita mempertimbangkan
bagaimana filsafat berbeda dengan disiplin akademik lain, muncullah urusannya
yang sedikit-banyak tiada henti dengan pendefinisian-diri, yang menyiratkan
bahwa filsafat bisa didefinisikan sebagai “disiplin yang tujuannya
mendefinisikan [filsafat] itu sendiri”—atau yang lebih sederhana, “filsafat
ialah disiplin yang mendefinisikan sendiri.” Bila disiplin lain mengajukan
pertanyaan tentang hakikatnya sendiri, itu terpeleset ke dalam bidang filsafat.
Bila dosen sejarah meminta mahasiswanya untuk memikirkan hakikat sejarah, maka
ia berfilsafat, bukan ber-sejarah. Namun di keseluruhan matakuliah ini kita
telah mendapati bahwa titik fokus sebagian besar dari (kalau bukan semua)
filsuf yang baik adalah tepatnya pertanyaan ini: apa yang saya
lakukan ketika saya berfilsafat? Tentu saja, definisi filsafat sebagai disiplin yang mendefinisikan
sendiri hanya berkaitan dengan bentuknya; isinya (yaitu rincian tentang bagaimana
filsafat pada aktualnya mengusahakan pendefinisian [filsafat] itu sendiri)
merupakan topik keseluruhan matakuliah ini.
Setelah
sekarang menuntaskan upaya saya untuk memperkenalkan filsafat kepada anda
sedemikian rupa sehingga anda dapat mulai berpartisipasi dalam pendefinisiannya
sendiri, saya akan mengambil kesempatan ini untuk merangkum keseluruhan
matakuliah ini dengan mengaitkan mitos pohon filsafat dengan catatan misteri
yang diberikan di Bagian Empat ini. Kita memulai matakuliah ini dengan
memperlakukan metafisika sebagai akar pohon filsafat; dalam melakukannya kita dapati di
Bagian Satu bahwa untuk menelaah akar-akar ini tanpa mematikan pohon, kita
harus mengakui kebebalan kita. Tanpa penetapan bidang kebebalan-niscaya, tidak ada yang misterius, karena segala sesuatu
akan harus dianggap sebagai “obyek yang bisa diketahui”. Takkan ada yang
tersembunyi. Tiada akar. Dalam keadaan semacam itu kita mungkin mengira bahwa kita memahami kata-kata yang kita
pakai, tetapi kita tentu melakukan salah satu dari dua kesalahan: kita
menyimpulkan bahwa semua misteri tak masuk akal (sebagaimana kalangan skeptis), atau menyimpulkan
bahwa pada aktualnya kita bisa (atau telah) mencapai pengetahuan tentang misteri itu (sebagaimana kalangan
dogmatis).
Baik
skeptisisme maupun dogmatisisme dihasilkan dari kegagalan untuk memperoleh
pemahaman yang tepat tentang batang logis dan cabang ilmiah pohon filsafat. Padahal seperti yang kita
pelajari di Bagian Dua, logika mengajarkan kita bahwa, alih-alih memperlakukan
misteri sebagai tidak bermakna atau sebagai bisa diketahui, misteri itu sendiri
mempunyai jenis logikanya sendiri. Setelah memperbedakan antara pengetahuan dan
kebebalan, kita belajar tentang bagaimana menggunakan logika analitik untuk
memahami kata-kata yang memerikan pengetahuan dan logika sintetik untuk memahami
kata-kata yang memerikan kebebalan. Dengan cara ini kita menentukan tapal batas
secara jelas antara pengetahuan dan kebebalan. Sebagaimana cabang pohon
menunjukkan kepada kita, sebagaimana adanya, tujuan alamiah atau implikasi dari
batang, logika pun tetap abstrak dan nirmaknawi kecuali jika kita
menggunakannya untuk mendapatkan pengetahuan (“ilmu”); dalam melakukannya, seperti yang kita
dapati di Bagian Tiga, kita dapat menemukan beberapa implikasi dari misteri menuju apa-apa yang tidak
misterius. Yang terakhir ini merupakan tugas kealiman, dan hanya bisa dipenuhi jika kita
mengetahui di mana menempatkan garis-garis tapal batas di sekitar jenis-jenis pengetahuan yang
beragam, dan kapan tepatnya menerobos garis-garis tapal batas itu. Dengan kata lain,
hanya dengan belajar untuk mencintai kealiman kita bisa menghargai misteri tentang
untuk apakah ini, walau pada saat yang sama membiarkannya menerangi apa-apa
yang tidak perlu misterius.
Akhirnya,
dengan memperlakukan pengalaman-pengalaman kita yang berisi-makna sebagai daun-daun pohon filsafat, kita belajar di Bagian
Empat tentang bagaimana pada aktualnya kita dapat sampai berkenalan
secara pribadi dengan misteri
ini, melalui pembukaan diri kita untuk mengalami ketakjuban berkeheningan.
Dengan membiarkan misteri itu menduduki kita dan bukan mencoba merebutnya secara
menggemparkan, dengan membiarkan misteri itu menggengam dan memiliki kita dan
bukan mencoba menggenggam dan memilikinya, keragaman pengetahuan kita bisa
dipersatukan dengan kekuatan misteri itu. Maka paradoks kehidupan tidak lagi
merepotkan. Itu masih tetap paradoks, karena realitas kebebalan kita tidak
dikurangi tetapi ditambah melalui pengalaman misteri itu. Perbedaannya adalah
bahwa sekarang di dalam diri kita, kita memiliki urusan hakiki yang
memungkinkan kita untuk menghadapi fakta bahwa ada beberapa hal yang takkan bisa kita
ketahui. Kant dengan tepat mengungkap kemampuan untuk menghadapi kebebalan ini
ketika ia menulis (CPrR 148): “kealiman gaib yang merupakan sarana eksistensi kita itu lebih layak
dihormati mengenai apa yang disangkal daripada [mengenai] apa yang diberikan
olehnya kepada kita.”
Kendati ada,
atau bahkan lantaran, kebebalan kita, kapasitas untuk takjub itu pada aktualnya merupakan salah satu
karakteristik utama yang memperbedakan antara filsuf yang baik dan yang buruk.
Bahwa takjub itu kekanak-kanakan mungkin merupakan alasan mengapa sebagian filsuf, yang ingin terlihat
“dewasa”, menghindari godaan ketakjuban. Lantaran itu pula anak-anak amat
sering membuat pernyataan filosofis yang sangat berbobot. Perbedaan antara
anak-anak dan filsuf dewasa yang seperti kanak-kanak adalah bahwa filsuf itu telah
menambahkan kesadaran-diri pada naluri-dasar ketakjuban: kesadaran-diri itu
betah dengan kebebalan dalam pencariannya terhadap kesatuan “saya”, sedangkan
ketakjuban ingin mencapai pengetahuan dalam menanggapi penangkapannya terhadap
keragaman alam. Para filsuf yang buruk, sebagaimana telah kita saksikan,
membatasi tugas filsafat hanya pada salah satu dari dua tujuan yang berlawanan
ini. Sebaliknya, filsuf-filsuf yang baik akan terus mencari cara terbaik untuk
mencairkan (atau sekurang-kurangnya menghadapi) ketegangan antara dua kekuatan itu. Saya yakin,
salah satu cara terbaik dalam melakukannya adalah mengarahkan kesadaran-diri
kita ke tujuan yang lebih tinggi, yakni pemahaman-diri. Ini karena tugas yang tiada henti untuk
“mengenali diri sendiri”, yang diakui dengan benar oleh Sokrates sebagai tujuan
hakiki berfilsafat, mensyaratkan bahwa kita mencapai tingkat kesadaran-diri dan
sekaligus ketakjuban yang
senantiasa meningkat.
Dengan
mengingat akan hal itu, saya ingin kita membahas sebuah pasal dari buku yang
mendorong kita untuk mendengar ketakjuban berkeheningan di sepanjang kesibukan
hidup kita sehari-hari. Buku kecil Anne Morrow Lindbergh, Gift from
the Sea, merupakan serangkaian
meditasi pada hari-hari liburnya di pantai suatu pulau, yang terutama berfokus
pada simbolisme aktivitas pengumpulan kerang laut. Dalam mempertimbangkan
ikhtisar berikut ini dari renungannya terhadap prospek pulang ke rumah (GS 113-116, 119-120), mari kita menafsirkan
“pulau” sebagai metafora untuk berstudi filsafat, dan “kerang” sebagai metafora
untuk berwawasan.
Ketika ia
mengemasi barang-barangnya untuk meninggalkan pulau itu, Lindbergh bertanya
kepada diri sendiri, apa yang ia peroleh dari semua upaya meditatifnya:
“Jawaban atau solusi apakah yang telah saya temukan untuk kehidupan saya? Saya
mendapat beberapa gelintir kerang dalam kantong, sedikit petunjuk, sedikit
sekali.” Ia mengingat-ingat hari pertamanya di pulau itu, dan menyadari betapa
rakusnya ia mengumpulkan kerang pada mulanya: “Kantong-kantong saya menggembung
dengan kerang-kerang basah ... Di pantai ini terhampar kerang-kerang indah dan
saya tidak membiarkan satu pun lolos dari perhatian saya. Saya bahkan tak bisa
berjalan dengan kepala tegak seraya memandang lepas ke laut, karena khawatir
akan melewatkan sesuatu yang amat berharga di kaki saya.” Masalahnya dengan
cara pengumpulan kerang (atau berwawasan) ini adalah bahwa “naluri keserakahan
itu tidak selaras dengan apresiasi sejati terhadap keindahan.” Namun setelah
kantong-kantongnya mulur sampai batas peregangannya dengan kerang-kerang basah,
ia mendapati perlunya kekurangserakahan: “Saya mulai membongkar barang-barang
saya, untuk diseleksi.” Kemudian ia sadar bahwa mustahil menghimpun semua
kerang indah yang ia lihat: “Kita bisa mengoleksi sedikit saja, dan yang
sedikit tersebut lebih indah.” Bisakah kita mengasosiasikannya dengan wawasan
filosofis? Barangkali bisa, karena Lindbergh sendiri menggeneralisasikan
pelajaran yang ia peroleh dengan mengatakan “hanya dengan terbingkai dalam
ruanglah keindahan itu mekar. Hanya dalam ruanglah peristiwa, obyek, dan
manusia itu unik dan signifikan—dan karenanya indah.”
Wawasan ini,
bahwa keindahan membutuhkan ruang dan selektivitas, mendorong Lindbergh untuk
mempertimbangkan kembali alasan-alasan mengapa kehidupannya di rumah cenderung
kekurangan kualitas signifikansi dan keindahan, begitu pula yang ia alami di
pulau itu. Barangkali kehidupan tampaknya tidak bermakna bukan karena kosong,
melainkan karena terlalu penuh: “sedikit sekali ruang yang kosong. ... Terlalu
banyak aktivitas yang berharga, hal yang bernilai, dan orang yang menarik. ...
Kita bisa mempunyai ... kantong-kantong yang penuh sesak, yang di dalamnya
terdapat satu atau dua hal yang akan signifikan.” Akan tetapi, berada di pulau
itu memberi dia ruang dan waktu untuk melihat kehidupan dengan cara
baru—sebagaimana saya berharap bahwa kelas filsafat ini melakukan hal yang sama
untuk kalian. “Secara paradoksis, ... ruang dipaksakan pada saya. ... Di sini
ada waktu; waktu untuk tenang; waktu untuk bekerja tanpa tekanan; waktu untuk
berpikir ... waktu untuk melihat bintang ... bahkan, waktu untuk tidak berbicara.” Masalahnya sepulang ke
rumahnya adalah bahwa bagaimanapun, pulau itu telah menyeleksi apa yang
signifikan bagi dia
(sebagaimana matakuliah ini bagi anda) dengan “lebih baik daripada bila saya
kerjakan sendiri di rumah.” Oleh sebab itu, ia bertanya kepada diri sendiri:
“Bila saya pulang, akankah saya tenggelam lagi ...? ... Nilai-nilai berbobot
dalam kuantitas, bukan kualitas; dalam kecepatan, bukan ketenangan; dalam
kegaduhan, bukan keheningan; dalam kata-kata, bukan pikiran; dalam keserakahan,
bukan keindahan. Bagaimana saya akan bertahan di pembantaian itu?” Ia menjawab
dengan menyarankan bahwa, untuk menggantikan selektivitas alamiah pulau itu,
kita perlu mengambil “selektivitas kesadaran yang didasarkan pada serangkaian
nilai-nilai lain—pengertian tentang nilai yang semakin saya sadari di sini. ...
Kesederhanaan hidup ... Ruang untuk kebermaknaan dan keindahan. Waktu untuk
menyendiri dan berbagi ... . Beberapa gelintir kerang.”
Akhirnya,
Lindbergh membuang sebagian besar dari kerang yang telah ia kumpulkan semasa
berlibur di pulau itu, dan hanya mengambil beberapa gelintir yang paling
istimewa. Ia menjelaskan, pengalamannya di pulau itu kini berfungsi sebagai
“lensa” yang bisa ia bawa pulang untuk dijadikan alat untuk memeriksa
kehidupannya sendiri dengan lebih efektif: “Saya harus ingat untuk melihat
dengan mata pulau. Kerang-kerang itu akan mengingatkan saya; kerang-kerang itu
harus menjadi mata pulau.” Dengan jalan yang sama, saya harap matakuliah ini
memberi anda suatu cara baru dalam memandang diri anda sendiri dan dalam
memandang alam. Alasan hakiki mengapa universitas mensyaratkan bahwa anda
menempuh matakuliah filsafat bukanlah melatih anda untuk turut serta dalam
perdebatan akademik tentang persoalan-persoalan teknis, namun memperluas
kapasitas anda untuk mengalami keindahan hidup yang menyatu—yakni untuk memungkinkan anda untuk “melihat
dengan mata pulau”, juga ketika ujian telah beralu dan anda kembali ke rumah,
ke alam urusan pribadi sehari-hari yang keragamannya tak terbatas.
Dalam cerita
Shel Silverstein, The Giving Tree, si bocah kecil tidak memperoleh pelajaran
tersebut sampai di pengujung kehidupannya. Selama hayatnya ia melupakan semua
hal tentang masa riang kanak-kanaknya, ketika sang pohon hampir menyerupai
bagian dari dirinya sendiri. Alih-alih, ia berlalu sendirian, dalam mencari
kebahagiaan dan keberuntungan. Bocah itu mengabaikan begitu saja jeritan hening
pohon itu ketika pohon itu membiarkan diri terkoyak menjadi serpihan-serpihan
oleh hasrat si bocah yang mementingkan diri sendiri. Baru sewaktu bocah itu
mejadi tua, ia kembali mampu duduk dan bersandar ke pohon itu, dengan menikmati
ketakjuban berkeheningan bersamanya. Sampai batas tertentu, proses meninggalkan
pohon, berkelana sendirian, dan kembali ke pohon itu pada akhirnya, itu
menggambarkan langkah-langkah paradoksis yang pasti dilalui oleh kita
masing-masing dalam pencarian filsafat kehidupan yang semestinya. Tragedi
cerita itu adalah, tidak seperti kisah tentang Jonathan Livingston si burung
camar, bahwa tokoh utamanya praktis meluluhlantakkan sumber kealimannya dalam
proses pencarian makna kehidupannya, dengan hanya menyisakan tunggul pohon di
akhir cerita. Harapan saya adalah bahwa matakuliah ini memasok “beberapa
gelintir kerang” kepada anda sekalian untuk membantu anda dalam menghindari
nasib semacam itu. Dengan berbekal ini, saya harap masing-masing dari kalian,
bahkan juga anda yang takkan mengkaji filsafat lagi dengan jalan formal, akan
mampu hidup dengan kesadaran tersembunyi yang sinambung akan pohon filsafat
yang misterius dan akan senantiasa menunggu dengan hormat untuk menerima berkah
dari pasokan tiada henti yang ditawarkan oleh pohon filsafat itu.
Pertanyaan Perambah
1. A.
Tidak mustahilkah memilih jalan hidup yang estetik dan sekaligus etis?
B.
Apakah manusia niscaya berdosa?
..............................
..............................
2. A.
Apakah kegentaran itu pada aktualnya membantu
kita dalam menghadapi kekhawatiran empiris sehari-hari?
B.
Mungkinkah kebangkitan-kembali dan penjelmaan-kembali keduanya benar?
..............................
..............................
3. A.
Seperti apakah “raga spiritual” itu?
B.
Bisakah orang yang tak berbahagia
menjalani kehidupan yang maknawi?
..............................
..............................
4. A.
Bagaimana filsafat menyerupai pohon?
B.
Apakah filsafat itu?
..............................
..............................
Bacaan Anjuran
1. Søren
Kierkegaard, The Concept of Anxiety,
§5, “The Concept of Anxiety” (CA
313-316).
2. Paul
Tillich, The Courage to Be, Bab VI,
“Courage and Transcendence” (CB
152-183).
3. Abraham
H. Maslow, Toward a Psychology of Being
2nd Edition, Bab 10, “Creativity in Self-Actualizing People” (TPB 135-145).
4. Lao
Tzu, Tao Te Ching.[5]
5. Plato,
Phaedo dan Buku X Republic (CDP 40-98, 819-844).[6]
6. John
Hick, The Fifth Dimension: An exploration
of the spiritual realm (Oxford: Oneworld Publications, 1999), Bab 26,
“Death and Beyond”, pp. 241-252.
7. Shel
Silverstein, The Giving Tree (New
York: Harper & Row, 1964).
8. Stephen
Palmquist, The Tree of Philosophy 4th
Edition (Hong Kong: Philopsychy Press, 2000[1992]).[7]
[1] Atau, dalam teks Inggrisnya, “Keerkagore”.
[2] Al-Qur’an mungkin mempunyai teori lain. Di dalam Yuunus (10): 19 dan al-Baqarah (2): 213, misalnya, justru tersirat bahwa kehidupan manusia (dan jin) mengikuti pola 1LSR “sempurna” (lihat Gambar V.7), bukan hanya “sintesis akhir”, yang tampaknya tidak bersesuaian dengan teori itu. Menurut kedua ayat tersebut, “tahap” keberagamaan pada garis besarnya ada empat: (1) kesatuan-asal (religius), (2) perselisihan (“dereligionisasi”), (3) peringatan (“religionisasi”), dan (4) persatuan-kembali (religius).
[3] Adapun dalam Al-Qur’an tersurat: “Kami turunkan dari langit air yang membawa berkah, dan dengan itu Kami tumbuhkan kebun-kebun dan biji-bijian yang dapat dipanen ... sebagai rezeki bagi para hamba, dan dengan itu Kami hidupkan kembali tanah yang sudah mati; demikian jugalah kebangkitan kembali.” (Qaaf (50): 9-11)
[4] Bandingkan dengan ungkapan Qur’ani tentang paradoks itu yang muncul dalam al-Hadiid (57): 20:
... Kehidupan dunia hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan.
Saling bermegah-megah dan berbangga-bangga kalian,
dalam kekayaan dan keturunan, bagai hujan (dari langit)
yang tanamannya menakjubkan para petani.
(Tetapi) kemudian tanaman itu menjadi layu
dan kau lihat menguning, lalu kering dan rontok.
Dan di akhirat ada azab yang keras, serta ampunan dan keridaan Allah (untuk selamanya). ...
[5] Untuk alternatif, lihat http://www.clas.ufl.edu/users/gthursby/taoism/ttcstan3.htm
[6] Untuk alternatif, lihat http://plato.evansville.edu/texts/jowett/phaedo.htm http://plato.evansville.edu/texts/jowett/republic.htm (Pada Bagian V-VI)
[7] Buku edisi asli itu bisa dibeli secara online melalui http://www.hkbu.edu.hk/~ppp/ppp/PPPform.html atau melalui pos dengan alamat: Philopsychy Press, P.O. Box 1224, Shatin Central, N.T., Hong Kong SAR, CHINA. Kedua cara itu berlaku pula untuk buku-buku karya Stephen Palmquist lainnya.
Send comments (in English)
to: StevePq@hkbu.edu.hk
Back to the Index of Pohon Filsafat.
Back to the English
version of The Tree of Philosophy.
Back to the listing of Steve Palmquist's published
books.
Back to the main map of Steve
Palmquist's web site.
This page was first placed on the web on 27 April 2003.